SAIVA
VISISTADVAITA
Pada abad ke-11
Masehi terdapat usaha-usaha yang dikonsentrasikan dalam menjembatani jurang
yang memisahkan Saivisme dan Vaisnavaisme dengan Brahmanisme. Srikantha
dan Ramanuja, adalah 2 orang sarjana
besar yang mengusahakan tugas ini seperti yang ditunjukkan dalam 2 ulasan
mengenai Vedanta Sutra, yaitu 1). Brahma-mimamsa bhasya dan 2). Sribhasya.
Dalam rangkaian penafsirannya tentang Pasupatadikarana,
yang menurut Sankara, menyalahkan
filsafat Saiva Pasupata. Srikantha mengemukakan bahwa tak ada
pertentangan antara Veda dengan Saivagama dan keduanya sama-sama
berwewenang. Keduanya telah bertindak dari sumber terakhir dari segala sesuatu,
yaitu Brahman atau Para Siva, dan oleh karena itu layak
untuk membicarakan Veda juga sebagai “Saivagama”.
Ia
menegaskan bahwa cara-cara ritual dan pelaksanaan keagamaan dari Saiva, seperti melumuri badan dengan abu
dan mengenakan tanda Tripunda,
dinyatakan dalam kitab-kitab Upanisad,
seperti Atharvasirah, Kalagnirudra,
dan Brhajjabala.
Akhirnya
dalam ulasan Brahma Sutra, ia
memperlihatkan bahwa sistem yang dinyatakan itu merupakan Monistik bersyarat, seperti
yang dinyatakan oleh Upanisad dan Saivagama Monistik bersyarat, baik Saivaitik maupun Vaisnavaitik didasarkan pada agama
nya masing-masing, yang merupakan suatu akibat langsung dari Monistik yang
Dualistik (Bhedabhedavada). Sebelum
munculnya Vaisnava Monistik Terbatas,
2 orang yang berwewenang telah membicarakan tentang Bhedabheda; yang seorang Yadava Prakasa, yang merupakan guru dari
Ramanuja sendiri, dan yang lainnya, Bhaskara yang merupakan seorang yang
netral, pada abad ke-9 Masehi. Demikian pula kepustakaan Saivagama, secara terbuka mengemukakan Bhedabheda, dan sistem Lakulisa
Pasupata, menyatakan hal yang sama sebelum munculnya Visistadvaita Saivaisme dari Srikantha,
yang muncul pada abad ke-11 Masehi. Terdapat bukti-bukti yang terbatas dalam
menopang pandangan ini, karena ia mengutip dari Isvara Pratiyabhijna Karika-nya Utpalacarya,
yaitu “CIDATMAIVA HI DEVONTAH”.
Srikantha berbeda dengan Abhivagupta dalam penafsiranya tentang
kutipan sloka di atas dan berpendapat bahwa “kebebasan dari penyebab material”
(nirupadanam) bukan berarti tanpa
suatu penyebab material, tetapi hanya tanpa suatu penyebab material yang diluar
Tuhan.
Ia merupakan seorang
pengikut dari aliran Saiva Siddhanta
yang menerima 28 buah Saivagama, di
mana yang 18 buah memperuntukkan filsafat Bhedabheda.
Ia mengambil dasar pemikiran filosofis dari Saiva
Siddhanta Dualis, dan mengakui (1) bahwa terdapat 3 kategori awal yaitu: Pati, Pasu, dan Pasa. (2) bahwa dari titik pandang lain, ada 36 katagori dan ini
tampaknya diakibatkan oleh pengaruh Saiva
Monistik dari Kasmir, seperti yang
kita ketahui dari pernyataan ulasannya Appayya
Diksita. (3) bahwa ada 3 ketidak murnian, yaitu: Pasutva, Karma dan Mayiya,
yang berupa material seperti kehitam-hitaman pada tembaga. (4) bahwa Moksa (pembebasan) merupakan pencapaian
kesamaan (samya) dengan Siva. (5) bahwa subyek pribadi memiliki
sifat maha tahu dan maha kuasa, tetapi daya-daya ini terselubungi oleh ketidak
murnian, sehingga apabila ia memperoleh pembebasan darinya daya-dayanya yang
tersembunyi menjadi berwujud dan ia menjadi sama dengan Tuhan. (6) bahwa Para Siva mengatasi semua katagori dan
memiliki daya (sakti) yang ada
didalam diri-Nya dan menyusun sifat-sifat (guna)
utama-Nya.
Suatu perbandingan yang
seksama tentang konsepsi Tuhan, daya (sakti)-Nya,
dan kaitan antara keduanya, seperti yang dinyatakan dalam Lakulisa Pasupata, dengan yang diketemukan dalam ulasan iikantha
tentang Vedanta Sutra, seperti yang
ditafsirkan oleh Appayya Diksita,
meninggalkan sedikit keragu-raguan tentang kenyataan bahwa Srikantha telah mengambil pandangan Monistik Dualis dari Lakulisa Pasupata.
Srikantha
secara
terbuka menyatakan bahwa ia ditentang oleh Bhedabheda
dan ia mengakui bahwa terdapat naskah Veda
yang membicarakan tentang identitas dari dunia obyektif dan realitas terakhir,
seperti yang dinyatakan oleh; “tadananya
tvam arambha nasabdadibhyah” dan
ada juga naskah yang membicarakan tentang perbedaan keduanya, misalnya seperti;
“adhikantu bhedanirdesa”. Tetapi ia
menyatakan bahwa hal ini bukan berarti bahwa kedua pernyataan itu dalam kaitan Saiva dengan alam dunia memiliki
keabsahan yang sama, dan karena itu Bhedabheda
hanyalah suara filsafat, karena pandangan yang demikian itu tidak logis, sebab
ia membuat pernyataan yang bertentangan mengenai yang satu dan sama. Menurutnya
dunia obyektif tidak ada secara bebas dan terpisah dari Brahman, mereka itu sama sekali tidak identik karena pandangan
semacam itu bertentangan dengan naskah lain yang membicarakan tentang perbedaan
Brahman atau Siva dengan dunia obyektif, karena perbedaan sifat yang ada padanya
dari keduanya dan Dvaitadvaita adalah
tidak logis.
Dalam hal ini harus
secara hati-hati dipahami bahwa disini Srikantha
secara terang-terangan mencela Bhedabheda
dari macam tertentu. Karena sistem Bhedabheda
mengartikan bahwa penyamaan dan perbedaan ada pada tingkatan yang sama dan
bahwa mereka ada bersama-sama serta sama-sama pentingnya. Berlawanan dengan Bhedabheda seperti yang dikemukakan
diatas, ia mengemukakan filsafat Visistadvaita
Saiva. Bahwa hubungan antara obyektif dengan Brahman atau Siva sesuai
dengan yang kita jumpai antara badan dengan roh, dimana yang satu bergantung
dengan yang lainnya.
Ia juga menolak Monisme
murni, Dualis murni, Dualis yang monistik dan juga pandangan yang menganggap
sukar untuk menyatakan secara tepat, baik Monisme maupun Dualis. Ia menyatakan
bahwa dua hal akan tetap ada bersama-sama, dimana yang satu tak dapat ada tanpa
yang lainnya demikian pula dengan masalah Brahman
dan kejamakan empiris; karena menurutnya kejamakn memiliki keberadaan
potensial dalam daya (sakti) dari Brahman dan kejamakan empiris tiada lain
adalah bentuk badan kasar dari apa yang ada dalam bentuk halus dalam daya Brahman. Maka daya merupakan atribut
dari Brahman dan akhirnya kejamakan
empiris juga merupakan atribut-Nya yang secara potensial ada dalam daya-Nya dan
tidak berada bebas dari pada-Nya walaupun ketika ia mengenakan wujud kasar.
Oleh karena itu Srikantha menyatakan bahwa
teorinya tentang Monisme terbatas merupakan penyesuaian yang sempurna dengan
naskah-naskah suci yang membicarakan tentang penyamaan dan perbedaan.
Kenyataan terakhir
tentang Brahman atau Siva bebas dari pembatasan sementara,
sebagian dan formal, sehingga tiada bandingannya. Dia memiliki daya tertinggi (parama sakti) yang memungkinkan memunculkan segenap kejamakan empiris,
termasuk yang berjiwa dan tidak, dan dunia obyektif ini tiada lain adalah badan
kasarnya dari suatu keadaan yang halus dalam daya-Nya. Kejamakan itu adalah
nyata bukan khayalan saja.
Hal ini hanya untuk
menyatakan bahwa semuanya perlu dalam penggunaan kata Brahman untuk Siva, yang
merupakan pribadi agung seperti Puspadanta,
raja para Gandharva, dalam Mahimna Rtotra, yang menunujukkan Siva dalam 8 kata sebagai pengganti
atribut utamanya, yaitu; (1) Bhava,
ia disebut Bhava karena ia merupakan
sumber alam semesta dan pemikiran ini dijumpai dalam Taittiriya Aranyaka, yaitu Bhaodbhavaya.
(2) Sarva, ia disebut Sarva karena ia menghancurkan alam
semesta pada saat peleburan. (3) Siva,
ia disebut Siva karena ia memiliki
atribut yang baik. (4) Pasupati, ia
disebut Pasupati karena ia
mengendalikan roh-roh dalam belenggu. (5) Paramesvara,
ia disebut Paramesvara karena ia
menguasai segenap alam semesta. (6) Mahadeva,
ia disebut Mahadeva karena ia
bersandar pada kebahagiaan transendental-Nya sendiri. (7) Rudra, ia disebut Rudra
karena ia membebaskan yang terbelenggu dari ikatan keberadaan yang
berpindah-pindah. (8) Sambhu, ia
disebut Sambu karena ia memberikan
kesejahteraan dan kebahagiaan pada segenap ciptaan.
Kesatuan Brahman atau Siva merupakan kesatuan yang sama dengan pengalaman aestetika,
karena keselaran penyatuan dari segala isinya, demikian pula Siva merupakan satu kesatuan, karena semua
yang ada didalam-Nya membentuk satu kesatuan yang sama dengan yang dibentuk
oleh berbagai bahan dari Panaka Rasa,
sehingga ia bukan merupakan kesatuan yang murni tapi kesatuan dalam kejamakan dan
ia tidak ada tanpa atribut (nirvisesa),
karena daya untuk menghasilkan kejamakan kasar merupakan sifat alamiah-Nya.
Dunia obyektif dengan
segala kejamakannya tidak berbeda dengan Siva,
bagaimanapun hal ini bukan berarti Siva
berubah atau berkembang karena evolusi bukan pada giva tetapi dalam Daya (sakti) yang digerakkan untuk bekerja
oleh kehendak-Nya. Tetapi bagaimana Siva
dapat dipertahankan untuk tak berubah kewika Daya-Nya, yang identik dan tidak
berbeda dengan-Nya, diakui berkembang. Dalam menjawab pertanyaan ini Visistadvaita Saivaisme menyatakan bahwa
penyamaan dan perbedaan dapat dikatakan apabila ada Dualitas dari apa yang
dipersamakan dan yang dengan apa dipersamakan, demikian pula ketidak berbedaan
dapat terjadi hanya apabilaterdapat yang dibedakan dan dari mana perbedaan itu.
Oleh karena itu dalam kontek ini ketidak berbedaab bukan berarti kesatuan
mutlak atau pun perbedaan mutlak.
Bahkan pada keadaan
penghancuran alam semesta, dimana matahari dan bulan, waktu dan ruang sebagai
kondisi terbatas, serta nama dan rupa lenyap sepenuhnya, sedang diri pribadi
dan penyebab meterial (pasu dan pasa)
tetap tidak berhenti adanya. Kegiatan penciptaan didorong oleh belas kasih-Nya
guna roh-roh yang terbelenggu. Keaneka ragaman yang kita jumpai dalam dunia obyektif
ini bukan disebabkan oleh tingkahnya saja, ia dipandu dalam menghasilkan
keanekaragaman ini oleh tujuan pemberian nasib yang beraneka ragam terhadap
roh-roh dalam belenggu untuk dapat mengalami buah dari timbunan akibat
perbuatan-perbuatan baik dan berdosa, sehingga mendapatkan pembebasan dari
belenggu Karma. Oleh karena itu ia
tak dapat dikatakan kejam, karena dari penciptaan perubahan bentuk yang buruk
dan penuh dosa, disebabkan oleh dorongan pribadi terhadap-Nya.
Pasu
adalah katagori kedua dari katagori utama, yang memiliki 3 ketidak murnian yang
tanpa awal, yaitu; (1) Pasutva, (2) Karma dan (3) Mayiya. Disebabkan oleh ketidak murnian (mala) yang pertama, yaitu Pasutvamala
atau Anavamala, ia
mempersembahkan dirinya dengan badan, udara vital atau kecerdasan, sehingga ia
mengalami berbagai pengalaman, sesuai dengan kegiatannya, dalam badan yang
berbeda-beda, yang ia peroleh atau ia tinggalakan sesuai dengan Karma-Nya. Ia tidak bebas (asvatantra) tetapi abadi dan bukan
suatu hasil dari Siva. Semua naskah
yang membicarakan tentang asal mulanya dari Siva
atau kehadirannya berhubungan dengan Siva
sebagai percikan api, hanya menunjukan pada kemunculan nama dan wujud yang
berkaitan dengannya.
Ia adalah yang
mengetahui (jnata) dalam dirinya
sendiri yakni ketidak bebasan dari suatu kondisi luar. Dalam kenyataannya, daya
pengetahuan dan kegiatannya tak terbatas, tetapi tampak terbatas, karena
ketidak murnian yang tanpa awal itu, sehingga sehingga apabila ketidak murnian
itu dilepaskan, maka daya pengetahuan dan kegiatan yang ada bersamanya menjadi
berwujud dan ia mencapai kesamaan dengan Siva
(sivasamya). Tetapi dalam keadaan terbelenggu, ia merupakan yang mengalami
kesenangnan dan kesedihan, karena hubungannya dengan Manas empiris (prakrtamanah
sambandhat).
Ia juga adalah si
pelaku (karta), karena hanya suatu
pengakuan yang demikian sajalah yang dapat membenarkan keberadaan dari
naskah-naskah yang sifatnya memrintah dan melarang. Menjadikannya seorang
pelaku juga diartikan oleh naskah-naskah semacam itu sebagai pembicaraan
tentang pengambilan maknanya. Dalam kenyataannya, konsepsi tentang indra dalam
sebagai cara dari pengetahuan mengartikan keberadaan dari si pelaku, yang
mempergunakannya dan menolak bahwa Prakrti
(buddhi) sebagai si pelaku.
Hubungan antara Pati atau Siva dan subyek pribadi, digambarkan pada analogi dari hubungan
antara seorang raja dengan pembantunya. Roh-roh pribadi berbuat sesuai dengan
kematangan dari akibat perbuatan, yang dilakukan pada masa lalu (karmaparipakavasena), tetapi bukan
tanpa ijin Tuhan dan Tuhan merupakan si pendorong dari pribadi untuk berbuat
sesuai dengan karma-Nya
masing-masing. Subyek pribadi tidak identik dengan sang diri universal, seperti
pendapat dari para Vedantin yang
mengatakan bahwa diri universal tampak sebagai pribadi, karena keterbatasannya,
persis seperti ether universal (akasa)
yang tampak terbatas karena batasan dari obyek dari sebuah kendi.
Visistadvaita
Saivaisme mengakui pentingnya pelaksaan upacara, pengurbanan
dsb. Yang diakui oleh Brahmanisme,
dalam pencapaian kebebasan, sedemikian jauh sehingga mereka dapat membebaskan
diri pribadinya dari dosa-dosa sehingga membuatnya pantas untuk mengikuti jalan
pembebasan, tetapi ia menyatakan bahwa semuanya itu akhirnya bergantung kepada
anugrah Tuhan. Visistadvaita Saivaisme
menyatakan bahwa walaupun pada pembebasan pribadi yang dibeda-bedakan secara
pribadi, memiliki keberadaan yang terpisah dengan Brahman atau Siva dan
tidak memiliki kesadaran tentang kejamakan empirls dan ia melihat tiada lain
dari Brahman, dengan mana segenap
kejamakan ini dipersatukan.
Visistadvaita
Saivaisme mengakui bahwa Parama
Siva melampati segala sesuatu dan
berbeda dengan Pasu, walaupun mereka
telah bebas. Karena itu akan muncul pertanyaan, “bagaimana Mahavakya Tattvamasi dapat dijelaskan, berkenan dengan penyamaan
pribadi dengan yang semesta?”. Jawabannya adalah bahwa penyamaan yang
dinyatakan oleh naskah suci tersebut, menyatakan tentang penyamaan seperti yang
dijumpai dalam penyamaan seniman dengan titik pusat situasi, yaitu pahlawan,
pada tingkatan yang mengharukan. Seperti seorang pribadi yang merenungkan
tentang Siva, memperoleh penyamaan
dengan-Nya, tanpa kehilangan kesatuannya sendiri.
Akhirnya Srikantha menyatakan bahwa didalam
naskah-naskah semacam itu, dimana kata-kata seperti, “Seseorang yang mengetahui
Brahman menjadi Brahman” (brahmaveda brahmaiva bhavanti), artinya bahwa
seseorang yang mengetahui Brahman
menjadi seperti Brahman, dan kata “eva” dipergunakan dalam pengertian “iva”, sehingga naskah tersebut bukan
berarti bahwa sang pribadi hilang dalam yang universal, sama seperti hilangnya
ether yang dibatasi dalam sebuah kendi, dalam ether universal, ketika kendi
tersebut dipecahkan Ia mempertahankan pendapatnya bahwa kesamaan selalu
termasuk perbedaan dan naskah suci yang dikaji bersama-sama, mengartikan bahwa
pembebasan menjadi sama dengan dan bukan secara penuh jadi satu dengan Brahman atau Siva. Jadi perkataan Sayujya menurut
Visistadvaita Saivaisme bukan berarti
“penyatuan penetrasi”, tetapi kesamaan (samya)
saja. Penghancuran universal tidak berakibat terhadap yang bebas, karena mereka
itu tanpa akhir. Ia menjadi bagian yang pertama dari 36 katagori, yaitu Siva, karena ia berbeda dengan Pasu dan Pasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Maswinara,
I Wayan. 2006. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha).
Surabaya: Paramita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar