Kamis, 23 Januari 2014

CERITA KELAHIRAN BHATARA KALA

KELAHIRAN BHATARA KALA


Dalam Lontar Tattwa Kala, diceritakan pada suatu hari ketika Bhatara Siwa sedang jalan-jalan dengan Saktinya Dewi Uma ditepi laut. Karena ulah Bhatara Maruta (Hyang Bayu), yang terus menerus berhembus, kain Bhatari Umi sering terangkat agak keatas, sehingga betisnya yang “iwir pudak anggrawit” sering terlihat oleh Bhatara Siwa Trinetra. Menyaksikan betis Bhatari Uma yang “iwir pudak anggrawit” itu, nafsu Sang Bhatara menjadi bangkit. Bhatara Siwa lalu memohon kepada Saktinya agar mau melayaninya untuk melakukan patemon, tetapi ditolak, karena prilaku yang demikian tidak sesuai dengan prilaku Dewa-Dewi di Kahyangan. Karena tidak dapat menahan nafsu akhirnya tidak terasa air maninya sampai meleleh dan berjatuhan. Karena ajakannya ditolak oleh Sang Bhatari, Bhatara Siwa dengan Saktinya kembali ke Kahyangan (Siwa Loka).
Air Mani Bhatara Siwa yang melelehitu sampai menetes ke laut, kemudian dijumpai oleh Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu, lalu dibinanya dan dirawatnya terus dipuja dengan japa mantra. Karena demikian benih itu kemudian lahir menjadi Raksasa yang hebat, dan terus menggeram-geram menanyakan siapa ayahnya dan siapa ibunya. Kemudian oleh Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu, Sang Raksasa yang maha hebat dan maha Sakti itu diberi tahu, ayahnya adalah Bhatara Siwa dan ibunya Bhatari Uma, dan meminta agar diakui sebagai putranya dan memohon Waranugraha, apa yang pantas dimakannya. Sebelum diakui sebagai putranya dan sebelum dianugrahi, Bhatara Siwa meminta agar taringnya yang panjang itu dipotong terlebih dahulu, agar dapat melihat wujud ayah dan ibunya, yang seutuhnya. Petunjuk Bhatara Siwa diakui oleh Raksasa itu. Setelah taringnya itu dipotong barulah Raksasa itu dapat melihat wujud Bhatara Siwa dan Bhatari Uma yang seutuhnya.
Sejak itulah Raksasa itu diberi gelar Bhatara Kala, dan tidak ada kesaktian dan kekuasaan yang menghalanginya dan oleh Bhatara Siwa diberi anugrah, bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada Tumpek Wayang. Anugrah itu diberikan adalah untuk memperingati hari lahirnya Bhatara Kala sendiri. Kebetulan Bhatara Rare Kumara adalah Putra Bhatara Siwa, yang sama-sama lahir pada hari Tumpek Wayang. Karena lahirnya disamai oleh adiknya sendiri. Bhatara Kala menjadi sangat marah. Sesuai dengan anugrah Bhatara Siwa kepadanya, Bhatara Kala kemudian memohon untuk memakan adiknya Bhatara Kumara.
Tetapi Bhatara Siwa masih bertangguh, karena adiknya masih kecil. Kelak kalau sudah besar, baru boleh dimakan. Hampir setiap waktu Bhatara Kala, memohon untuk melindungi Bhatara Rare Kumara, akhirnya Bhatara Siwa memastu, agar Bhatara Rare Kumara tetap menjadi anak-anak (rare) dan sejak itu bertugas menjaga, melindungi dan mendidik para bayi. Akal Bhatara Siwa untuk melindungi Bhatara Rare Kumara itu, akhirnya diketahui oleh Bhatara Kala. Ia tidak sabar lagi, dengan sikap buas, Bhatara Rare Kumara dikejarnya. Dalam pengejaran itu pada suatu hari, kebetulan Bhatara Siwa dengan Saktinya Bhatari Uma, dijumpai sedang mengendarai lembu putih jantan. Kebetulan pada saat pengejaran Bhatara Rare Kumara itu Bhatara Siwa dijumpai ditengah jalan, tepat pada saat tengah hari pada waktu hari Tumpek Wayang. Bhatara Kala berkehandak memakan Bhatara Siwa dengan Saktinya, karena berjalan-jalan pada tengah hari bertepatan pula dengan hari Tumpek Wayang.
Bhatara Siwa rela dimakan oleh puteranya sendiri, asalkan dapat memecahkan atau menjawab teka-teki yang akan ditemukan oleh ayahnya. Bhatara Kala menyanggupi. Maka Bhatara Siwa pun pada waktu itu mengemukakan teka-tekinya sebagai berikut:
“Om Asta Pada Sad Lungayan Catur Puto Dwi Purusa, Eka Bhagamukka enggul, Dwi Srenggi”. Kemudian bhatara Kala, segera menterjemahkan teka-teki yang berbentuk sloka itu, yang berarti; Bhatara Siwa berkeadaan berkaki delapan yaitu kaki Bhatara Siwa Dua Buah, Kaki Bhatara Uma dua buah, kaki lembu empat buah, bertangan enam, yaitu Bhatara Siwa bertangan empat, Bhatari Uma bertangan dua, buah pelirnya empat; yakni Bhatara Siwa buah pelirnya dua. Lembu buah pelirnya dua; berpalus dua, yakni palus Bhatara Siwa satu, palus lembu putih jantan satu; satu bhaga (vagina) yakni Vaginanya Bhatari Uma, berekor satu yaitu ekor lembu, bertanduk dua, yakni tanduk lembu, Sapta Locanam (tujuh mata), yakni mata Bhatari Uma dua, mata lembu dua, mata Bhatara Siwa yang nyata kelihatan dua. Kemudian Bhatara Kala diam, tidak bisa menjawab karena tidak dapat melihat mata Bhatara Siwa yang gaid satu, pada waktu itulah Bhatara Siwa menjelaskan bahwa mata yang satu lagi adalah yang terletak dibawah “Cuda Mani”, yang dapat melihat semua keadaan Tri Bhuana ini dan Siwa pada waktu itu disebut sebagai Bhatara Trinetra (Dewa yang bermata tiga), akhirnya Bhatara Kala kalah. Dan matahari sudah condong ke barat, sehingga Bhatara Kala tidak boleh memakan ayah ibunya, karena sudah lewat waktu. Kemudian Bhatara Kala meninggalkan Bhatara Siwa dan terus mengejar Bhatara Rare Kumara. Dalam pengejaran itu segala sesuatu yang melindungi Bhatara Rare Kumara dalam pelariannya terus dikutuk oleh Bhatara Kala, seperti sejak itu pohon kelapa tidak lurus: tidak boleh menumpuk kayu api dan ilalang pada waktu masih basah terikat dengan talinya, pada waktu itu menanak nasi didapur, harus menutup lubang dapur yang ketiga atau yang keempat, tidak boleh menggeletakkan dandang dan sebagainya. Dalam pengejaran itu, Bhatara Rare Kumara selalu dapat meloloskan diri. Akhirnya pada suatu ketika bhatara Kala tiba juga disana dalam keadaan terengah-engah serta didera oleh kehausan dan kelaparan. Kebetulan diasagan (tempat banten) diatas Sang Amangku Dalam ngwayang itu, ada berbagai jenis banten (upakara), yang langsung dimakan oleh Bhatara Kala. Prilaku Bhatara Kala itu dilihat oleh para penabuh gender dan melaporkan kepada Sang Amangku Dalang. Kemudian terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar semua upakara (banten) yang telah dimakan oleh Bhatara Kala, dikembalikan. Tetapi Bhatara Kala tidak dapat memenuhi permintaan Sang Amangku Dalang itu, karena semua banten yang telah habis masuk keperutnya yang sangat lapar dan kehausan dalam usaha mengejar Bhatara Rare Kumara. Sebagai gantianya Bhatara Kala memberikan Waranugraha kepada Sang Amangku Dalang, untuk melaksanakan dan melakukan; “Pengelukatan” mempergelarkan wayang ”Sapu Leger”, bagi semua orang yang lahir pada waktu Tumpek Wayang, orang tuanya selalu berusaha untuk dapat menanggap Wayang Sapu Leger. Dan kalau ada wanita yang sedang hamil dilingkungannya, pada hari Tumpek Wayang, selalu diusahakan untuk dapat “Melukat”, pada Ida Pedanda dan Sang Amangku Dalang agar kandungan itu terbebas dari gangguan Bhatara Kala.          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar