Kamis, 23 Januari 2014

DHARMA WACANA SISTEM PERKAWINAN HINDU DI BALI

Pawiwahan
Sistem Perkawinan Hindu di Bali

1. Pendahuluan
Manusia itu lahir di Bhuvana Alit dan terus lahir lahir di Bhuvana Agung. Bhuava Alit itu adalah kandungan ibunya. Di dalam kandungan ibunya manusia yang masih berbentuk janin itu oleh alam melalui Catur Sanaknya seperti darah, yeh nyom, lamas dan Ari-ari. Lewat Catur Sanak itulah janin itu semakin dimanusiakan dalam kandungan ibunya. Setelah ia lahir ke dunia atau Bhuvana Agung ia dimanusiakan oleh lingkungannya baik itu lingkungan alam aupun oleh lingkungan sesama manusia. Manusia itu dimanusiakan dengan berbagai jalan. Salah satu jalan yang ditempuh adalah ritual Agama. Ritual Agama dalam tradisi Hindu di Bali disebut Upacara Manusa Yajna. Dari bayi itu baru lahir sampai ia melangsungkan upacara perkawinan (Wiana, 2002:239).
Manusa yadnya adalah suatu korban suci atau pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaan upacara manusa yadnya masalah tempat, keadaan dan waktu sangat penting. Secara umum upacara itu dilaksanakan  pada saat anak mengalami masa peralihan, hal ini dilatar belakangi oleh adanya suatu anggapan bahwa pada saat-saat itulah seorang anak dalam keadaaan kritis, sehingga perlu dilaksanakan suatu upacara atau keselamatan. Dalam menyenglenggarakan segala usaha serta kegiatan dalam bentuk yang lain nyata demi kemajuan pendidikan, kesehatan dan lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan sehari-hari. Demikianlah pengertian manusa yajna jika dilihat secara umum.
Namun dalam konsep Sastra Agamanya rumusan Manusa yajña agak berbeda dengan pengertian secara umum dewasa ini di Bali. Sumber sastra agama yang berbahasa sansekerta maupun bahasa kawi merumuskan manusa yajña itu adalah sebagai ritual untuk melayani Atithi Yajña dan menjamu masyarakat dengan makanan dan minuman sesuai dengan kemampuan. Di dalam kitab Sathapata Brahman dari Rg weda bahwa “manusa Yajña itu adalah persembahan berupa makanan kepada orang lain”. Di dalam kitab (Manawa Dharmasastra III. 70) Manusa Yajña bahwa “dengan istilah Nara Yajña yang penerimaan tamu dengan ramah tamah atau Atihti Puja. Nara Yajña Atithi pujanam”. Sedangkan dalam sloka 81 disebutkan bahwa “Nara Yajña itu adalah mempersembahkan makanan kepada masyarakat”. Pengertian manusa yajna di dalam sumber bahasa sansekerta itu sejalan dengan pengertian Manusa Yajna yang dirumuskan dalam sumber-sumber Sastra Agama yang berbahasa Jawa kuna. Didalam kitab Korawa Asrama yang berbahasa jawa kuan manusa Yajna itu disebutkan bahwa “memberikan makanan kepeda masyarakat”. Didalam lontar Agastia Parwa juga berbahasa jawa kuna disebutkan bahwa “Manusa Yajna itu adalah mempersembahkan makanan kepada masyarakat”. 
Nampaknya mempersembahkan makanan inilah wujud Manusa Yajna sebagaimana dirumuskan dalam sastra agama yang ada. Sedangkan upacara untuk menyucikan manusia dari ia baru lahir sampai ia kawin dalam sumber sastra agama disebut Sarira Samskara atau disebut Samskara saja. Hal ini ditegaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra II, 26. Dalam sloka – sloka diuraikan nama dan tata penyelenggaraan upacara Sarira Samskara tersebut. Proses penyucian inilah dalam tradisi Hindu di Bali disebut manusa yajna. Kalau kita renungkan landasan filosofinya tidaklah salah kalau upacara Sarira Samskara itu disebut Manusa Yajna. Upacara Manusa Yajna itu menganisiasi manusia dari satu tahapan hidup sampai menuju tingkatan yang lebih tinggi status kesuciannya begitu juga Sarira Samskara (Wiana :2002 :240). 
Upacara dengan upakara manusa yadnya memvisualisasikan secara ritual agama cita-cita menyucikan manusia agar menjadi manusia sebagai manusia sebagaiman mestinya. Manusia dalam hidupnya perlu disucikan dari tiga bentuk kekotoran. Setiap gerakan alam dan manusia selalu menimbulkan dua aspek, yaitu aspek yang positif dan negatif. Usaha-usaha manusia tentunya harus berusaha untuk menanggulangi akibat negatif tersebut agar pengaruhnya sekecil mungkin (Tinggen, 2002:3).

2. Pembahasan
1). Pengertian Upacara Perkawinan (Wiwaha) Hindu di Bali
Upacara perkawinan merupakan persaksian, baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai suami-istri dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Di samping itu upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap “sukla swanita” (bibit) serta lahir bathinnya. Hal ini dimaksud agar bibit dari kedua mempelai bebas dari pengaruh-pengaruh buruk (gangguan Bhuta Kala), sehingga kalau keduanya bertemu (terjadi pembuahan) akan terbentuklah sebuah “Manik” yang sudah bersih, sehat dan selamat.
Dengan demikian diharapkan agar “Roh” yang akan menjiwai Manik itu adalah Roh yang baik/suci dan kemudian akan lahirlah seorang anak yang berguna dimasyarakat (yang menjadi idaman orang tuanya). Lain daripada itu, dengan adanya upacara perkawinan secara Agama Hindu, berarti pula bahwa kedua mempelai telah memilih Agama Hindu sebagai pegangan hidup di dalam membina rumah tangganya. Selanjutnya menurut beberapa lontar seperti Kuno Dresthi, Eka Pertama dan lain-lainnya, dikemukakan bahwa hubungan sex (di dalam suatu perkawinan) yang tidak didahului dengan upakara “pedengen-dengenan” (pekala-kalaan) di anggap tidak baik dan disebut “Kamakeparagan”. Kalau kedua kama itu bertemu atau terjadi pembuahan, maka lahirlah anak yang disebut “Rare-diadiu”, yang tidak mau mendengarkan nasehat orang tua atau ajaran-ajaran Agama. Hal ini mungkin ditujukan kepada perkawinan yang direstui/disetujui oleh kedua belah pihak (pihak orang tua si gadis dan pihak orang tua si pemuda).
Tetapi di Bali masih sering terjadi perkawinan secara “Ngerorod”, sehingga kemungkinan sekali segala upacara akan ditunda sampai tercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak. Dan hubungan sex yang mungkin terjadi dalam hal ini, kiranya tidaklah dapat dianggap sebagai “Kamakeparagan”, karena perbuatannya dilakukan dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab atas segala akibatnya. Sebagai contoh dapatlah dikemukakan perkawinan antara Dewi Sakuntala dengan Prabu Duswanta, di mana menurut ceritanya perkawinan itu tidak disertai dengan sesuatu upakara/ upacara apapun.

2). Tujuan Upacara Perkawinan (Wiwaha) Hindu di Bali
Menurut ajaran agama Hindu, tujuan perkawinan adalah sebagai berikut :
(1).Menurut Manu dalam kitab Manawa Dharma Sastra disebutkan “Perkawinan itu akan Dharma dan diabadikan berdasarkan Veda dan merupakan salah satu sarira samkara atau penyucian badan melalui perkawinan”.
(2).Untuk memperoleh keturunan (anak) yang dapat dipandang sebagai jalan untuk menebus hutang (Rna) dan juga untuk melepaskan derita orang tuanya, diwaktu mereka meninggal nanti.
(3).Kawin dan mempunyai anak adalah Dharma dan merupakan perintah agama yang dimuliakan (Sukartha, 2002:4).
Selain itu, penyelenggaraan upacara perkawinan bertujuan untuk memberikan “Penyangaskara” hingga perkawinan dimaksud beserta akibat-akibatnya nanti bernilai suci menurut agama.

3). Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perkawinan (Wiwaha) Hindu di Bali
Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 dan kitab Manawa Dharma Sastra menyebutkan bahwa perkawinan harus didasari atas cinta sama cinta, telah melaksanakan upacara mabyakala atau makalan-kalan (byakawonan) disebut Bhuta Saksi, telah dilakukan persaksian dan perwalian dari yang berwenang (manusa saksi), telah melakukan upacara perkawinan menurut tata cara agama (Dewa Saksi) dan telah mendapat pengesahan atau dibenarkan menurut hukum agama dan memenuhi syarat-syarat administrasi yang telah ditentukan.

4). Sistem Upacara Perkawinan (Wiwaha) Hindu di Bali 
Berdasarkan tradisi atau hukum adat bagi umat Hindu terdapat empat sistem yang dilaksanakan sebagai berikut :
(1).Sistem Mepadik (meminang).
Mepadik adalah bentuk perkawinan yang dipandang paling terhormat baik menurut adat Bali maupun menurut agama Hindu. Yang melakukan peminangan itu adalah pihak keluarga laki-laki atau purusa, yang dapat menemui pihak keluarga si wanita. Hal ini dilakukan atas persetujuan putra-putri kedua belah pihak yakni pihak pradhana (pihak wanita) dan pihak purusa (pihak laki). Sebelum peminangan dilakukan, sudah terjadi jalinan dan paduan janji saling cinta mencintai antara kedua belah pihak calon mempelai (Sudharta, 1993:118-119).
(2).Sistem Ngrorod atau Ngerangkat yang dikenal dengan sistem Pelarian. Perkawinan ini tanpa adanya persetujuan keluarga dari kedua belah pihak, maka maka dalam perkawinan ini diambil jalan pintas yaitu pelarian serta meminta/memohon perlindungan dari pihak ketiga.
(3).Sistem Nyentana (matrilokal) terjadinya perkawinan dengan cara yang hormat yang didahului dengan cara meminang oleh pihak keluarga perempuan. Hal ini terjadi mengingat dalam keluarga perempuan itu tidak mempunyai keturunan (sentana) laki-laki. Pihak wanita berkedudukan sebagai purusa dan pihak laki-laki berkedudukan sebagai pradana.
(4).Sistem Ngunggahin, salah satu bentuk perkembangan tersendiri dari sistem ngerangkat.

5). Tata Cara Pelaksanaan Upacara Perkawinan (Wiwaha) Hindu di Bali
Tata upacara perkawinan dilaksanakan setelah kedua belah pihak dari kedua mempelai memberikan persetujuan yang kemudian oleh keluarga yang bersangkutan, dalam hal ini yang berkedudukan sebagai purusa memohonkan dewasa/perhitungan hari yang baik. Dalam pelaksanaan ini biasanya dimohonkan dewasa kepada Pendeta yang nantinya sekaligus akan menyelesaikan upacaranya secara agama. Upacara-upacara di dalam perkawinan kiranya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
(1).Upacara medengen-dengenan (mekala-kalaan) adalah upacara yang terpenting (pokok) di dalam perkawinan, karena dalam upacara inilah dilakukan pembersihan secara rokhaniah terhadap “bibit” kedua mempelai, dan pesaksian atas perkawinannya, baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan masyarakat. Oleh karena itu pelaksanaannya sedapat mungkin tidak tertunda.
(2).Upacara natab, dan mapejati (ngaba jaja), merupakan penyempurnaan di dalam perkawinan. Tujuannya untuk membersihkan lahir bathin kedua mempelai, memberi bimbingan hidup dan menentukan status salah satu pihak. Pelaksanaannya kadang-kadang tertunda beberapa hari tergantung pada keadaan.

Mengenai tata cara upacara medengen-dengenan yaitu dimulai dengan mabyakala, dan maprayascita, kemudian mempelai disuruh duduk menghadap Sanggah Kamulan serta banten pedengen-dengenan. Setelah banten tersebut dipujai seperlunya lalu kedua mempelai bersembahyang, kemudian di upakarai dengan alat-alat yang ada pada pebersihan seperti : sisig, keramas, segau, tepung tawar dan sebagainya, lalu diberi pengelukatan, dan kemudian natab banten pedengen-dengenan. Selanjutnya kedua mempelai berjalan mengelilingi Sanggah Kamulan, Sanggar Pasaksi, tiap kali melewati Kala Sepetan kakinya disentuhkan sebagai simbul pembersihan sukla-swanita dan dirinya. Setelah tiga kali, lalu penganten yang laki berbelanja, sedangkan yang perempuan menjual segala yang ada pada “sok bebelanjaan” (waktu berjalan pengantin yang laki memikul tegen-tegenan dan yang perempuan menjungjung sok bebelanjan).
Upacara jual beli ini mungkin sebagai simbul tercapainya kata sepakat untuk memperoleh keturunan. Selain itu makna yang terkandung dalam upacara ini adalah untuk mewujudkan rasa kesepakatan, dimana nanti dalam kehidupan selanjutnya, segala apa yang akan didapatkan akan selalu diselesaikan dengan kesepakatan musyawarah serta sama-sama bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan “merobek tikar” (tikeh dadakan), dimana pengantin yang perempuan memegang tikar tersebut, dan yang laki merobek dengan keris yang berada pada Penegtegan. Hal ini merupakan simbul “ pemecahan selaput gadis”. Setelah itu kedua mempelai memutuskan benang yang terlentang pada cabang dadap (pepegatan), sebagai tanda bahwa mereka telah melampaui masa remajanya, dan kini berada pada fase yang baru sebagai suami-istri. Kemudian bersama-sama menanam pohon kunir, andong dan keladi di belakang Sanggah Kamulan, dilanjutkan dengan mandi/berganti pakaian. Sore harinya dilakukan upacara melukat, mejaya-jaya dan natab dapetan seadanya, dan akhirnya mapejati (ngaba jaja). Upacara mepejati ini bertujuan untuk menyatakan bahwa mulai saat itu si gadis tidak masih menjadi tanggung jawab dan hak waris keluarganya. Dengan demikian upacara perkawinan dianggap selesai.

6). Susunan Upakara Perkawinan (Wiwaha) Hindu di Bali
(1).Upakara yang kecil :
Untuk penyemputan, di muka rumah si suami. 
Segehan cacahan warna lima, api takep dan tetabuhan.
Untuk peresmian perkawinan.
Banten pedengen-dengen (pekala-kalaan), tataban seadanya dan pejati.
(2).Upakara yang lebih besar :
Untuk penyemputan di muka rumah si suami.
Seperti di atas, dilengkapi dengan carun-patemon.
Untuk peresmian perkawinan.
Seperti di atas, dilengkapi dengan carun-patemon dan tataban pulagembal, serta sesayut nganten.
Sedangkan untuk upacara mepejati atau mejauman upakaranya adalah berupa banten pejati yang dilengkapi dengan beberapa jenis jajan untuk oleh-oleh (gagapan) kepada sanak keluarga mempelai yang berkedudukan sebagai Pradana (yang kawin). 

3. Penutup
Pengertian Upacara Perkawinan (wiwaha) merupakan persaksian, baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai suami-istri dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Tujuan Upacara Perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan (anak) yang dapat dipandang sebagai jalan untuk menebus hutang (Rna) dan juga untuk melepaskan derita orang tuanya, diwaktu mereka meninggal nanti. Syarat Sahnya suatu perkawinan yaitu ditandai dengan melaksanakan upacara perkawinan dengan menghadirkan Tri Saksi (Bhuta Saksi, Manusa Saksi dan Dewa Saksi). Sistem Perkawinan Hindu di Bali ada 4 yaitu sistem mepadik (meminanng), sistem ngerorod, sistem nyentana dan sistem ngulapin. Tata Cara Pelaksanaan Upacara Perkawinan Hindu di Bali yaitu upacara-upacara di dalam perkawinan kiranya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : upacara medengen-dengenan (mekala-kalaan) dan upacara mapejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar