Kamis, 23 Januari 2014

PROSEDUR ADMINISTRASI UNTUK MELAKUKAN DIKSA

PROSEDUR ADMINISTRASI 
UNTUK MELAKUKAN DIKSA

Disamping syarat-syarat keagamaan seperti yang tercantum dalam sastra-sastra tentang kawikon seperti di atas, maka ada beberapa persyaratan penting yang harus juga dilakukan oleh calon Diksita yaitu tentang persyaratan administrasi. Persyaratan ini diatur oleh Majelis Tertinggi Umat Hindu yaitu Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Adapun prosedur persyaratan administrasi tersebut adalah :
a. Calon Diksa harus mengajukan permohonan rencana bakal mediksa kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia  setempat, yang mewilanyahinya selambat-lambatnya tiga bulan sebelum hari pediksan.
b. Permohonan tersebut disertai atau dilampiri dengan surat keterangan : berbadan sehat, berkelakuan baik, surat keterangan tentang kecakapan, riwayat hidup, tidak tersangkut perkara.
c. Permohonan ditembuskan kepada pemerintahan setempat untuk dimaklumi.
d. Parisada setempat setelah menerima permohonan itu, secepatnya melakukan penyelidikan dan testing bersama calon Nabe (Diksa Pariksa), guna mendapatkan kepastian tentang terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat di depan.
e. Penyelidikan dan testing (Diksa Pariksa) bila perlu dapat diulang tiga (3) atau enam (6) bulan kemudian, apabila ternyata pemohon belum memenuhi syarat. Hasil penyelidikan atau pengetesan itu disampaikan kepada Parisada Pusat dengan tembusan kepada pemerintah setempat.
g. pemohon yang permohonannya ditolak, dapat mengajukan permohonan lagi setelah berselang tiga (3) bulan kemudian sampai sebanyak tiga kali.
h. Seorang pendeta atau Sadhaka yang baru didiksa, boleh melakukan Lokapalasraya setelah mendapat ijin dari Nabenya yang disaksikan oleh Parisada yang memberi ijin diksa.
i. Parisada wajib menyiarkan tentang hal Lokapalasraya itu.










BATAS-BATAS KEWENANGAN PINANDITA (JRO MANGKU, JRO GDE, BALIAN SONTENG) DALAM MUPUT UPACARA

Pindandita yang terdiri dari Jro Mangku, Jro Gde, Wasi, Balian Sonteng adalah tergolong sebagai tingkatan “Eka Jati”. Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu XIII tahun 1986/1987 yang mengacu kepada hasil Keputusan Mahasabha Hindu Dharma Indonesia II tanggal 02 sampai dengan 05 Desember 1968 menyatakan bahwa :
Yang dimaksud dengan Pinandita adalah mereka yang telah melaksanakan upacara/upakara yadnya “Pawintenan” sampai dengan “Adiksa Widhi” dan tidak Tapak” mereka ini adalah : Pemangku ( Jro Mangku, Mangku Dalang, Wasi, Pengemban, Mangku Balian (Balian Sonteng), dan Dharma Acarya (Jro Gde).

1. Ciri-ciri khas Pinandita
Seorang Pinandita adalah merupakan atau selaku pembantu dari Pendeta (Wiku), yang memiliki ciri khusus yaitu :
- Rambut panjang atau bercukur.
- Pakaian : Memakai Destar Putih, Baju Putih, Selimut Putih (ketika melaksanakan upacara).
- Dalam melakukan Pemujaan Memakai :
a. Genta,
b. Pasepan, Bunga
c. Gandaksata (wangi-wangian),
d. Tempat Tirta (kumbang).
2. Kewenangan Pinandita
Pinandita (Jro Mangku, Balian Sonteng, Wasi, Jro Gde) memiliki kewenangan yang lebih kecil dari kewenangan seorang Pandita (Sulinggih), karena Pinandita adalah seorang Ekajati yang juga disebut sebagai pembantu Pandita, sedangkan Pandita (Sulinggih) adalah Dwijati. Adapun kewenangan Pinandita (Jro Mangku, Balian Sonteng, Wasi, Jro Gde) adalah sebagai berikut :
a. Menyelesaikan upacara pujawali upakara atau piodalan sampai tingkat piodalan pada pura yang bersangkutan apabila Pinandita menyelesaikan upakara atau upacara diluar pura yang diemongnya, atau upacara/upakara yadnya yang rutin, seperti pujawali atau odalan, manusa yadnya, bhuta yadnya, yang seharusnya dipuput dengan tirta Sulinggih. Maka Pinandita boleh menyelesaikan dengan nganteb serta menggunakan tirta Sulinggih dengan selengkapnya.
b. Pinandita berwenang untuk menyelesaikan upacara rutin didalam pura dengan nganteb atau meseha serta memohon Tirta kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa dan betara yang melinggih atau yang diistanakan di Pura tersebut termasuk upacara yadnya membayar kaul dan lain-lain.
c. Dalam menyelesaikan upacara Bhuta yadnya atau Caru, Pinandita diberi wewenang memuput upacara Bhuta Yadnya tersebut maksimal sampai dengan “Panca Sata”, dengan mempergunakan Tirta Sulinggih.
d. Dalam hubungan memuput upacara manusia Yadnya, Pinandita diberi wewenang dari upacara bayi lahir sampai dengan otonan biasa, dengan mempergunakan Tirta Sulinggih.
e. Dalam hubungan dengan muput upacara Pitra Yadnya, Pinandita diberi wewenang sampai pada mendem Sawa sesuai dengan catur dresta.

3. Yang Tidak Dilakukan Oleh Pinandita.
a. Pinandita tidak boleh melakukan Pewintenan. (mensucikan orang lain untuk menjadi Pinandita).
b. Pinandita tidak boleh melakukan metetanganan (Mudra) dalam muput upacara.
c. Pinandita tidak boleh menggunakan alat-alat Pandita (Sulinggih) seperti Ketipluk, Genta Orag, Sungu, Bajra Uter didalam muput upacara Butha Yadnya. Karena Pinandita hanya boleh muput upacara Butha Yadnya maksimal pada tingkatan “Panca Satha”..
apabila Pinandita melanggar hal tersebtu maka ia disebut “Nyumuka”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar