Kamis, 23 Januari 2014

STATUS DAN WEWENANG DIKSA


STATUS DAN WEWENANG DIKSA

Status dan wewenang Diksa atau Sang Diksita ( Sulinggih) ada termuat di dalam beberapa pustaka agama Hindu. Di antaranya Sarassamuscaya menguraikan : “ Sang apta, sanga sistacara, sang panadahan upadesa”. Artinya kepada sulinggih ada tiga kekuatan suci pada pribadinya yaitu yang mengetahui  (berilmu tinggi), kehidupan suci dan merupakan tempat orang memperoleh kebenaran / dharma.
Rontal Bhisma Parwa menguraikan bahwa sang pandita wenang muput upakara / yadnya : “ Kalinganya kantas kreta dening jnana”. Artinya pada hakekatnya Karma Yadnya ( upakara) itu dipimpin dan diselesaikan oleh jnana  (ilmu suci keagamaan) atau yang memiliki ilmu keagamaan.
Rontal Udiyoga ada menyebutkan : “ Apan hana dharma prabala ring sang maha widon, matangyan wenang sira mantranang waneh”. Artinya karena dharma pada sulinggih itu maha kuat sehingga dapat menyempurnakan pihak lain yang dengan kata ( mantra) dapat menyelesaikan upakara / yadnya.
Rontal Bomantaka ada menyebutkan : “ Dharma ri sang pinandita tan mahardika, pinaka patirtaning jagat”. Artinya bahwa kewajiban hidup dari sulinggih adalah membebaskan jiwa pikirannya dari hawa nafsu ( dasendrya) sehingga gejolak suka dukanya di dalam kehidupan tidak menggetarkan kesucian pribadinya dengan kewajiban pada masyarakat menyelesaikan ( muput) upakara yadnya untuk kesucian jagat.
Dalam rontal Sesana demikian pula Brati Sesana, Sila krama juga menguraikan tentang kewajiban suci bagi Sulinggih adalah untuk menyelesaikan atau muput upakara / yadnya yang dilaksanakan oleh masyarakat termasuk memberikan bimbingan keagamaan dan kewajiban dharma loka pala sraya, artinya selalu memenuhi permintaan masyarakat dalam hal menyelesaikan  (muput) upakara yadnya.
Sehubungan dengan status dan wewenang sulinggih berdasarkan uraian di atas dapatlah diketahui bahwa para sulinggih mempunyai kewajiban dan tugas tertentu dalam kehidupannya sehari – hari.
A. Wewenang para diksa secara umum
Adapun wewenang diksa secara umum yaitu memimpin umat – umat dalam bidang hidupnya untuk mencapai kebahagiaan lahiriah batiniah di dalam melaksanakan upacara yadnya di masyarakat. Selain dari hal tersebut juga ada diuraikan beberapa wewenang para diksa sebagai berikut :
1. Berbuat kerti : berarti melakukan pertolongan terhadap semua makhluk terutama manusia.
2. Taat dengan brata : artinya taat melakukan puasa sebagai pantangan seorang sulinggih termasuk Yama brata dan Nyamabrata.
3. Samadi : yaitu sering melatih diri dalam ajaran yoga antara lain Asana, Pranayama, Darana, Dyana, Pratiara, Yama, Nyama dan Samadi. Samadi dalam pengertian ini berarti memusatkan pikiran sehingga dapat bersatu dengan Tuhan.
4. Aji adyatmika : adalah belajar untuk mengetahui ilmu kebatinan.
5. Aji tarka : berarti tekun mempelajari tentang huruf suci yang terdapat dalam badan.
6. Tri kaya parisudha : yaitu tiga perbuatan yang patut disucikan.
7. Sojaring manu : adalah mengetahui sekalian ajaran – ajaran orang suci terutama Manawa Dharmasastra dan ajaran tata tertib kesusilaan serta pengetahuan hukum.
8. Kamoksan : artinya harus mempunyai tujuan hidup bersatu dengan asalnya yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
9. Asta brata : artinya delapan tindakan yang baik / dharma :
- Akrodha : artinya tidak pernah marah.
- Satyam : artinya berbicara yang benar atau tepat pada janji.
- Samwibaga : artinya bersifat adil dan jujur.
- Arjawam : artinya berpendirian teguh.
- Sekapraya : artinya senang membantu dan menolong sesama    makhluk.
- Awyawahara : artinya menghindari semua macam pertengkaran.
- Wakparusya : artinya berbudi bahasa yang baik.
- Saputram : artinya mempunyai keturunan yang sah.
10. Bhuana rwa : yaitu harus mempunyai pengetahuan filsafat makrokosmos dan mikrokosmos atau Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
11. Desa pakraman : yaitu harus mengetahui dan menghayati tata tertib aturan adat dari desa.
12. Panyupatan mahayuning rat : yaitu segala pengetahuan menyucikan, menyelamatkan alam beserta isinya.
13. Tattwa jnana : yaitu agar mengetahui dan memiliki pengetahuan tentang hakekat kebenaran yang hakiki, terutama hubungan jiwa dengan Tuhan.
B. Wewenang para diksa secara khusus
Berdasarkan ucap dari beberapa sastra-sastra yang ada para diksa berhak muput segala upakara / yadnya baik yang rutin ( nityam eka yadnya) maupun yang bersifat suatu karya ( anityam eka yadnya). Jadi muput yang di maksudkan adalah dapat menyelesaikan yadnya di dalam upacara keagamaan dari tingkat kecil ( nista) sampai tingkat besar ( uttawa), seperti misalnya ngarga tirtha yang artinya membuat atau “ member” dengan puja wedanya untuk upacara itu.
Dalam melaksanakan suatu upacara yang besar, seperti Tawur Kasanga, Panca Walikrama, Eka Dasa Rudra biasanya yang muput adalah Sang Tri Sadaka. Sang Tri Sadaka yang dimaksud adalah Sulinggih Siwa, Buddha atau sering juga diucapkan Sang Resi, Siwa Sogata. Ketiga Sulinggih ini mempunyai wewenang khusus sebagai berikut :
1. Sang Sulinggih Siwa : sebagai pembersih atau menyucikan alam atas yaitu akasa. Melalui pujanya Sang Sulinggih Siwa berwenang menghaturkan munggah ke sanggar surya yang maksudnya mempersembahkan yadnya dari alam atas ke bawah. Sulinggih Siwa berasal dari mazab Siwa. Artinya Sang Sulinggih Siwa memiliki keahlian menyucikan alam atas dan menurunkan kekuatan dari Sang Hyang Widhi.
2. Sang Sulinggih Buddha : mempersembahkan atau mengaturkan yadnya pada alam tengah atau awang – awang. Sang Sulinggih Buddha berasal dari mazab Buddha yang memiliki keahlian menyucikan alam tengah dan mempertemukan kekuatan suci Hyang Widhi dengan kekuatan Bhuta – kala yang telah disomya di alam bawah.
3. Sang Sulinggih Resi, Bhujangga, Sengghu : beliau mempunyai wewenang sebagai pembersih atau menyucikan alam bawah ( bumi sapuh jagat). Beliau mempunyai keahlian menyucikan alam bawah dan untuk nyupat Bhuta – kala atau menetralisir kekuatan-kekuatan Bhuta – kala sehingga menjadi somya.

SÃSANA DIKSA
A. S ã s a n a.
Sãsana adalah bahasa Sanskerta artinya tempat duduk, peraturan, hukum. Jadi sasana berarti peraturan – peraturan dalam pengendalian diri baik lahiriah maupun batiniah. Sehubungan dengan “ diksa”, sasana dapat di artikan tingkah laku atau norma – norma kesusilaan yang luhur dari para Sulinggih (Wiku). Di dalam Silakrama ditekankan pada ajaran Yamabrata dan Nyamabrata atau Panca Yamabrata dan Panca Nyamabrata.
1. Yamabrata ( Panca Yamabrata)
Yamabrata berarti brata pengendalian diri untuk mencapai kesempurnaan rokhani dan kesucian bathin berupa Dharma dan Moksa. Panca Yamabrata (Yamabrata) itu terdiri dari Ahimsa, Brahmacari, Satya, Awyawaharika, Asteya sebagai berikut :
a. Ahimsa : artinya tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak melukai atau tidak mengambil nyawa makhluk apapun. Namun Himsa (menyakiti/pembunuh) itu boleh dilakukan untuk keperluan Dharma, keperluan agama, bersedekah, untuk Dewapuja, Pitrapuja, Astithipuja ( untuk disuguhkan kepada tamu). Bila penjahat telah dating dan mengancam nyawa anak atau istrinya yang tidak berdosa, wiku boleh melakukan Himsa.
b. Brahmacari : artinya bergerak di dalam ilmu pengetahuan suci Weda atau berkecimpung di dalam ajaran suci kerokhanian.
c. Satya : artinya benar setia atau jujur.
Satya yang berarti benar setia atau jujur memegang peranan yang penting di dalam ajaran sastra kerokhanian untuk mencapai kesempurnaan rokhani kebahagiaan akhirat, penjelmaan yang baik dan kelepasan atau Moksa. Wiku hendaknya satya dalam pikiran, perkataan, perbuatan serta jujur dan satya terhadap teman, terhadap janji.
d. Awyawahara atau Awyawaharika : artinya peraturan hidup atau undang – undang. Para Wiku hendaknya melakukan usaha – usaha yang selalu mengacu pada kedamaian dan ketulusan. Juga disebutkan Awyawahara berarti tidak terlibat atau terikat akan gelombang hidup sehari – hari atau pasang surut hidup keduniawian. Jika seorang sulinggih dalam kehidupan sehari – harinya masih terikat akan hal – hal keduniawian, maka beliau akan terganggu ketentramannya termasuk pikiran dan kesucian batinnya.
e. Asteya artinya tidak mencuri atau berpantang terhadap perbuatan mencuri memperkosa hak milik orang lain. Mengambil hak milik orang lain, mencuri dan memaksa disebut steya atau staiya.
2. Niyamabrata ( Panca Niyamabrata)
Selain dari Yamabrata seorang Wiku hendaknya berpegang teguh pada ajaran Niyamabrata. Nyamabrata berarti pengendalian diri untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin berupa Dharma dan Moksa. Naskah – naskah Jawa Kuna seperti Wrhaspati Tattwa, Pancasiksa dan Silakrama, ketiga – tiganya menyebut Niyamabrata sama.
Salah satu sloka dari Silakrama menguraikan tentang Niyamabrata sebagai berikut :
“ Akrodha guruśuśrusa,
saucam ãhãralaghwa,
apramãdac ca pancaite,
niyamãh śiwabheasitah”.
Artinya :
Yang bernama akrodha adalah tidak suka marah, yang bernama guru susrusa ialah ingin berhubungan rapat dengan guru karena ingin mendengar pelajaran guru, yang bernama sauca selalu mendoa mohon kebersihan lahir bathin terhadap Tuhan, yang bernama aharalaghawa tidak sembarangan makanan yang dimakan, apramada namanya tidak segan – segan membiasakan ajaran kependetaan ( kerokhanian), kelima itu bermakna Niyamabrata sabda Bhatara Siwa.
Selanjutnya Panca Niyamabrata itu diuraikan sebagai berikut :
a. Akrodha : artinya tidak marah atau tidak dikuasai oleh kemarahan. Dalam Silakrama ada diuraikan antara lain :
“Krodhãt bhawati samamohah,
sammohat smrtti wibramah,
smrtibhramśãd budhinaśo,
buddhinãsat pramaśyati”.
Artinya :
Dari marah timbul kebingungan, karena kebingungan ingatan menjadi kalut, karena kekalutan ingatan kebijaksanaan jadi lenyap, karena lenyapnya kebijaksanaan seseorang akan hancur. Demikianlah hendaknya para Wiku insaf dengan kejahatan Krodha itu dan para Wiku hendaknya memegang teguh brata Akrodha dari Niyamabrata.
b. Guru śuśrusa : artinya mendengarkan atau menaruh perhatian terhadap ajaran - ajaran dan nasehat - nasehat Guru. Guruśuśrusa itu bertalian erat dengan Gurubhakti atau sujud terhadap Guru dan Asewaka guru yaitu mengabdi kepada Guru.
c. Ṥauca : berarti kebersihan, kemurnian atau kesucian lahir bathin. Dalam Wrhaspati Tatwa dan Panca siksa ada diuraikan :
“ Ṥauca ngaranya nitya majapa maradina sarira”.
Artinya :
Ṥauca namanya tetap berdoa dan membersihkan tubuh.
d. Aharalaghawa : artinya makan serba ringan tidak semau - maunya saja. Oleh karena itu disarankan hendaknya orang - orang yang ingin mencapai kesempurnaan, harus berbadan sehat, karena sehat jasmani bias mempengaruhi keadaan rokhani. Makan yang melebihi batas kemampuan perut untuk mencernanya akan membawa penyakit. Dalam Slokantara ada menguraikan tentang Aharalaghawa sebagai berikut :
“Aharalaghawa ngaranya adangan ring pinangan, tan pinangan tan pinangan asing dinalih camah ring loka, kunang yan amangan asing dinalih, camah de sang suddha brata, tan brahma saiwa sogata ngaranya, janma tuccha ngaranya, yeka pataka, tan wurung tumampuh ring kawah temahanya”.
Artinya :
Aharalaghawa namanya serba ringan dengan apa yang dimakan, segala yang disebut tidak suci atau kotor di dunia tidaklah dimakan, maka bila makan segala yang disebut tidak suci, oleh orang suci yang melakukan brata, tidak Brahmana Siwa Buddha namanya, manusia hina namanya, berdosalah ia pasti jatuh di dalam neraka akhirnya.
e. Apramada : artinya tidak bersifat ingkar atau mengabaikan kewajiban. Dapat pula diartikan taat tanpa ketekeburan mempelajari dan mengamalkan ajaran suci. Dalam Pancasiksa diuraikan tentang arti Apramada sebagai berikut :
“ Apramada ta kita tan paleh - paleha asing sakaryanta, nguniweh sapangutus sang Guru”. 
Artinya :
Apramadalah kamu tidak segan - segan terhadap tiap - tiap yang kamu kerjakan, lebih - lebih dengan perintah Guru.
Demikianlah uraian Yamabrata dan Niyamabrata yang menjadi dasar sasana atau kesusilaan untuk mencapai kesempurnaan rokhani dan kesucian bathin. Gabungan antara Yamabrata dan Niyamabrata itu disebut pula Dasasila, yaitu sepuluh aturan-aturan hidup kesusilaan bagi orang-orang yang melakukan atau hendak menceburkan diri dalam hidup kerokhanian.


B. Pantangan.
Para Sulinggih atau Wiku dalam kehidupan sehari - hari memiliki wewenang dan sasana tertentu. Selain daripada itu para Sulinggih atau Diksa memiliki aturan - aturan tertentu yang merupakan pantangan atau larangan bagi seorang akan dapat dibedakan atas dua bagian sebagai berikut :
1. Pantangan atau larangan dalam hubungan dengan perilaku Wiku sehari-hari.
Dalam kehidupan sehari - hari para Wiku atau Diksa, patut menjauhi pantangan atau larangan yang dapat menodai dan mengurangi kesucian, kesempurnaan bathin seorang Wiku antara lain :
a. Pantangan atau larangan perilaku yang patut dijauhi dengan Guru  (Nabe) sebagai berikut :
- Janganlah tidak bakti terhadap Nabe.
- Jangan mencaci maki Nabe.
- Jangan tidak tulus, jangan menentang segala perintah Nabe.
- Jangan menginjak bayangan Nabe.
- Jangan menduduki tempat duduk Nabe.
- Tidak boleh duduk berhadap-hadapan dengan Nabe.
- Tidak diijinkan memutus-mutus pembicaraan Nabe.
- Tidak boleh berjalan mendahului Nabe.
- Tidak boleh tidak menuruti apa yang diucapkan oleh Nabe.
- Tidak boleh menoleh ke sebelah dan ke belakang bila Nabe berbicara.
- Tidak boleh menyahut dengan ucapan yang tidak menyenangkan Nabe.
- Tidak boleh tidak menuruti nasehat Nabe walaupun bagaimana marahnya.
b. Pantangan atau larangan perilaku Wiku dalam pergaulan sehari-hari :
- Tidak membunuh.
- Tidak berdusta.
- Tidak suka bertengkar.
- Tidak menunjukkan kecakapan.
- Tidak mencuri atau memperkosa hak milik orang lain.
- Tidak mengambil milik orang lain bila tidak dapat persetujuan kedua belah pihak.
- Tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak melukai atau tidak mengambil nyawa apapun.
- Tidak berkata - kata yang tidak selayaknya.
- Tidak boleh berhasrat jahat terhadap orang lain.
- Tidak boleh mengadakan hubungan sex, bila bukan istrinya.
- Tidak boleh mengadakan pertemuan dengan istri pada hari-hari yang terlarang.
- Tidak mengucapkan ucapan-ucapan yang tidak sopan.
- Tidak boleh berkata-kata yang pedas dan menyakiti telingga.
- Tidak boleh berkata-kata sambil memaki-maki sumpah serapah.
- Tidak boleh berjual beli atau berdagang ( Adolawiya).
- Tidak boleh terlihat utang-piutang ( Rnarni).
- Tidak boleh segala usaha untuk mencari keuntungan  (terlarang).
- Tidak boleh mengambil hak milik orang lain dengan memaksa.
- Tidak boleh mencopet, merampok.
- Tidak boleh marah atau bersifat pemarah (dikuasai kemarahan).
- Tidak boleh ingkar atau mengabaikan kewajiban.
- Tidak mementingkan diri sendiri.
- Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal.
- Tidak berpikiran buruk terhadap makhluk lain.
- Tidak mengingkari akan karma-phala.
- Tidak mencaci maki.
- Tidak berkata kasar kepada makhluk lain.
- Tidak memfitnah.
- Tidak ingkar pada janji atau ucapan.
- Tidak berjina.
- Tidak boleh memberikan tempat pada pencuri.
- Tidak boleh memberikan makan dan minum pada pencuri.
- Tidak boleh memberi persembunyian pada pencuri.
- Tidak boleh menerima hasil pencurian.
- Tidak boleh memberi pertolongan pada pencuri.
- Tidak boleh memberi petunjuk jalan pada pencuri.
- Tidak boleh ikut campur pada pencuri.
- Tidak boleh menyuruh atau memerintah mencuri.
- Tidak boleh berkenalan dengan pencuri.
- Tidak boleh bersahabat dengan pencuri.
c. Pantangan atau larangan yang lainnya :
- Tidak boleh mengendarai sepeda motor, mobil.
- Tidak boleh terlibat tindak pidana ( pengadilan).
2. Pantangan atau larangan dalam hal makanan, minuman dan tempat.
Para Diksa atau Wiku untuk kesempurnaan dan kesucian bathin dalam kehidupan sehari-hari patut menjauhi aturan-aturan yang menyangkut pantangan atau larangan dalam hal makanan, minuman, dan tempat tinggal sebagai berikut :
a. Pantangan terhadap makanan dan minuman.
- Tidak boleh makan daging babi peliharaan ( celengwanwa).
- Tidak boleh makan daging ayam yang terdapat di desa  (ayamwanwa)
- Tidak boleh makan daging anjing, kucing, tikus, ular, harimau  (macam), rasi ( rase), kera ( wre), kera hitam ( lutung), tupai  (wut), semacam kadal yang suaranya besar ( wiyung), kade  (dingdang kadal), dan binatang-binatang yang tidak dikenal serta binatang yang berkuku satu, berjari lima ( pancanaka).
- Seorang Wiku tidak boleh makan binatang kecil-kecil yang hidup di dalam tanah, belut ( kutisa), ulat yang berumah di dalam tanah dan binatang yang kecil-kecil lainnya ( pramikrini) seperti lalat ( laler), nyamuk ( namuk), pijat-pijat, kutu putih  (tuma), kutu anjing ( limpit).
- Seorang Sulinggih atau Wiku tidak boleh memakan daging kuda, unta ( konta), keledai ( gardobha), dan daging sapi  (gomangsa).
- Tidak boleh makan daging burung buas yang memakan sesamanya (kurapaksi) seperti burung hantu, burung elang  (rajawali), burung yang berwarna hitam (nilapaksi), seperti burung gagak, burung jalak, burung cangkilung, burung yang dapat berbicara manusia seperti burung kakak tua (atat), burung beo ( siung), burung jalak.
- Seorang Wiku atau Diksa tidak boleh makan daging burung bangau ( baka), jenis burung-burung yang waktu makan mematuk-matukkan paruhnya, burung berkaki jarang  (koyasyhi), unggas penyelam yang hidup dari memakan ikan.
- Seorang Wiku atau Sulinggih tidak boleh memakan jenis tumbuh-tumbuhan seperti bawang putih, bawang bakung, bawang merah, cendawan dan semua tumbuh-tumbuhan yang berasal dari bahan-bahan busuk, semuanya itu tidak cocok dimakan oleh seorang Wiku.
- Ikan yang tak boleh dimakan oleh Wiku adalah ikan yang terlalu besar ( awak atyanta ring gong) dan ikan yang buas  (minarodra).
- Seorang Wiku atau Sulinggih tidak boleh makan makanan yang tidak suci dan minuman keras yang terlarang.
- Tidak boleh makan sisa-sisa makanan yang telah dimakan, makanan yang disentuh atau terletak di bawah benda-benda yang dipandang tidak suci.
- Tidak boleh makan, makanan yang telah dapat dimakan oleh binatang seperti anjing, ayam dan babi, hal yang demikian terlarang.
- Makanan yang diragukan kesuciannya tidak boleh dimakan.
- Tidak boleh makan nasi-nasi yang dimasak dengan biji wijen, gandum dicampur mentega, susu dan gula, nasi campur, susu dan kue tepung yang tidak dibuat untuk upacara, bias dimakan setelah untuk upacara atau diperciki tirtha ( air suci).
- Seorang Wiku tidak boleh minum minuman keras seperti tuak atau nira dan sejenisnya.
- Tidak boleh minum semua jenis susu dari binatang buas dan susu sapi atau kerbau yang telah berubah atau rusak.
- Tidak boleh minum cairan merah dari kayu dan getah dari takikan ( torehan pada batang pohon), susu kental dari sapi yang merupakan sisa telah sapi itu menyusui.
b. Tempat yang terlarang bagi seorang Wiku atau Diksa :
- Tempat yang terlarang adalah tempat tanah atau pekarangan yang pernah ditempati Wiku tidak boleh ditempati, setelah lewat 24 tahun boleh.
- Seorang Wiku tidak boleh tinggal di tanah yang dikerjakan oleh petani biasa.
- Seorang Wiku tidak boleh mengunjungi rumah orang yang mempunyai pekerjaan hina, misalnya rumah tukang potong  (jagal), lebih-lebih makan di rumahnya.
- Seorang Wiku atau Sulinggih tidak boleh duduk di tempat perjudian, segala macam permainan bertaruh-taruhan tidak boleh dikunjungi.
- Seorang Sulinggih atau Diksa tidak boleh mengadakan perjudian.
Demikianlah jenis-jenis pantangan atau larangan yang patut diindahkan atau dijauhi oleh para Sulinggih atau Wiku. 

   







1 komentar:

  1. bli kalo boleh tau dari mana dapat materinya niki ngih? sumbernya bli.. tolong dbales ke email tiyang ngih adhi.suarsana@gmail.com kalo dari buku napi judulne, tahun terbit, penertbit, pengarang, halamannya. suksma

    BalasHapus