Kamis, 23 Januari 2014

Tintiyasana Yoga

1.1 Pengertian Tintiyasana 
Tintiyasana adalah manifestasi jati diri yang agung, yang juga disebut Acintya yang berarti tak terbayangkan namun dia ada, dilihat dari sudut sifatnya. Dia ada  dimana-mana Wyapi-wyapaka. Di dalam serat Dewa Ruci atau Bima Ruci- Bima Suci di uraikan Bima manunggal dengan jati dirinya yang agung sehingga ia sadar dan memahami akan jati dirinya dan ilmu sejati. Di dalam upacara dan upakara serta bangunan-bangunan suci di Bali, khususnya di Ulon Padmasana pasti kita saksikan symbol Tintiyasana ini / ulap-ulap yang berarti keberadaan Sang Hyang Widhi di tempat itu, sehingga upacara dan bangunan suci tersebut akan selamat dan sentosa. Sana berasal dari kata sesana atau ajaran yang sering di rangkai dengan kata asana sikap duduk untuk melakukan upacara pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa/ Leluhur. 
Di dalam Tintiyasana kita mengambil sikap terlentang tengadah dengan lutut kanan ditekuk/setinggi lutut kiri. Dengan sikap tengadah dan menekuk lutut relaksasi  lebih mudah dapat dicapai sehingga memudahkan kita dan mempercepat menyatu dengan-Nya Brahman. Dalam keadaan tidur nyenyak kita terlepas dari keadaan dan hanya diliputi kebahagiaan Tuhan, mempersatukan diri dengan Tuhan. Itulah Brahman Rupata, keadaan itu dapat dicapai lebih-lebih lagi oleh orang yang dibebaskan. Setelah penyegaran barulah dimulai pengaturan dan pengendalian nafas/Pranayama. 
Setiap sula pada ajaran Tintiya adalah ajaran/cara mengeluarkan nafas. Setelah 3 x 37 pernafasan akan dialami dan dirasakan keadaan relaksasi yang sempurna yang bagi masing-masing sadhaka pengalaman atau mengalami hal yang tidak sama. Melatih dan melatihnya terus sampai pada akhirnya tercapai atau merasa berada diawang-awang, badan terasa ringan seperti kapas, indrawi seolah-olah mati rasa, kita tidak berfungsi lagi hanya getaran perutlah yang terasa yang menghasilkan gelombang energy yang luar biasa. Inilah jalan kahyangan atau meditasi yakni Pranayama pikiran perhatian secara terus menerus pada suatu objek yang nantinya sampai kepada puncaknya langsung masuk didalam semedhi  atau penyatuan dengan yang Maha Esa (Mertha Sutedja, 2006 : 55).
1.2 Pengertian Moksa/Kelepasan 
Kata moksa berasal dari kata maha sha yang berarti keinginan, keterikatan dan bebas tak terikat. Mereka dapat dicapai semasih hidup dan sesudah mati. Semasih hidup bila seorang bhakta bersikap tidak terikat lagi atau terbebas dari ikatan objek duniawi, maka ia telah merupakan Jiwan Mukti atau Moksa semasih hidup didunia ini. Orang seperti itu telah menganggap sama antara kehidupan dan kemudian kebahagiaan dan kesedihan, musuh dan teman, panas dan dingin. 
Kamoksaan, asal kata moksa berasal dari bahasa sansekerta, adalah mencapai tujuan tertinggi, kebahagiaan di dunia nyata dan tidak nyata, sekala dan niskala yakni manunggalnya Atman dengan Brahman. Hal mana sesuai dengan tujuan Agama  Hindu “Moksartham Jagadhita Yaca Iti Dharma”. Artinya tujuan Agama Hindu adalah mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat atau kebahagiaan lahir dan bathin (Mertha Sutedja, 2006 : 5).
Hal ini dapat kita ibaratkan dengan seekor laba-laba yang berada di dalam jaringnya dan kemudian jaringnya masuk dan keluar dari laba-laba sendiri. Di dalam buku lontar kamoksan, kajian teks dan terjemahan (Bab II hal.3) di tegaskan bahwa Moksa artinya pembebasan atau pelepasan terakhir. Jagat hita artinya kesejahteraan dunia. Lontar Kamoksan menawarkan cara-cara untuk mencapai tujuan hidup tersebut yang di namakan Aji. Aji menurut  artinya formula yang sangat suci, kuat,sebagaimana  di maklumibahwa kamoksan atau keepasan mengajarkan bagaimana Atma dari tubuh manusia dapat manunggal dengan Paramaatman. 
1.3 Cakra-cakra dalam Tubuh Manusia 
Sebagaimana di maklumi pula bahwa di dalam tubuh manusia terdapat pusat-pusat energy / prana yang disebut Cakra yang terdiri dari: 
1) Cakra Kundalini, terletak di tulang punggung terbawah berwarna merah, penggerak kreativitas dan seksual. 
2) Cakra Seks, terletak didaerah kemaluan. Tugasnya mengendalikan dan memberikan energy kepada organ seks dan kandung kencing (Sunetra, 2004 : 46).  
3) Cakra pusar, terletak di pusar dan tugasnya mengendalikan dan memberi energy kepada usus kecil, usus besar dan usus buntu.
4) Cakra Meng mein, berada di bokong Cakra pusat, berhubungan dengan aliran prana dari Cakra Kundalini. Ia berfungsi sebagai gardu pompa di dalam tulang punggung yang bertanggung jawab untuk aliran energy prana yang halus yang berasal dari cakra dasar ke atas (Sunetra, 2004 : 48).
5) Cakra Limpa, bertempat di tulang rusuk kiri depan paling bawah yang berkaitan dengan solaris pleksus.
6) Cakra Solar Pleksus, terletak di lekuk antara kedua rusuk depan dan bagian belakangnya terletak di antara kedua rusuk belakang, berwarna kuning sebagai sumber-sumber pemahaman dan pengetahuan, pusat keseimbangan emosi dan psikis,
7) Cakra Jantung, terletak di daerah jantung, berwarna hijau ungu keemasn sebagai pusat emosi halus , kedamaian, kegembiraan, kesabaran, kepekaan, kasih saying dan lain-lain.
8) Cakra Kerongkongan terletak di tengah-tengah kerongkongan berwarna biru, sebagai pusat pemurnian pendengaran, pusat kemampuan mendengar atau berbicara secara fisik kepada diri sendiri, roh, atau orang lain serta pusat untuk kegiatan yang memerlukan perhatian khusus,
9) Cakra Adnyana, terletak di antara alis mata, berwarna ungu sebagai pusat kemampuan mental yang lebih halus dapat merekam, mendapatkan gambar dan menyaring daya piker abstrak, pusat kemauan, pusat penglihatan dalam dan luar, berhubungan dengan kelenjar plinitari yang menghasilkan lendir, mengatur fungsi hormon dan endokrin sserta mampu mempengaruhi suasana hati dan perrilaku melalui pengaruh hormonal pada kegiatan otak.
10) Cakra Dahi, sebagai pengendali sistem saraf, pusat kesadran budhi atau kesadaran kosmik.
11) Cakra Mahkota, terletak di ubun-ubun berwarna putih atau bening, sebagai pusat permohonan keTuhanan, pusat pengendalian otak, pusat kemampuan budhi atau kesadaran kosmik yang lebihh tinggi.
12) Cakra jiwa, terletak 3cm di atas kepala, sebagai perekaman beraneka ragam kesan hidup, juga kesan hidup pada kehidupan sebelumnya, kesan hidup semasih bayk, kesan hidup masa kini, maupun kesan masa yang akan datang, kaya informasi tentang karma, menyembuhkan penderitaan terhadap emosional dan fisik, kronis.
13) Cakra Rohani, terletak sekitar 40cm di atas kepala, sebagai pusat pengetahuan Inkarnasi, leluhur kejiwaa, maksud tugas hidup dan takdir.
14) Cakra Murni terleetak sekitar 3cm di bawah tubuh, mengandung energy kehidupan sehari-hari, pembersihan energy kejiwaan tubuh, sebagai pembimbing informasi masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
15) Cakra Kaki di telapak kaki dan tangan sebagai pengisap dan pentransfer energy, dapat mengalihkan mental untuk berfikir, menanggapi dan menjawab.
16) Cakra Semesta, terletak di luar tubuh manusia dan berfungsi mengalirkan energy semesta kedalam tubuh (Mertha Sutedja, 2006 : 6).
Selain cakra-cakra tersebut, diketahui ada enam buah cakra dalam tubuh manusia yaitu Muladhara, Svadhisthana, Manipura, Anahata, Visudha, dan Ajna-cakra. Diatas semuanya itu terdapat padma berdaun bunga seribu (sahasrara-padma). Berikut ini diuraikan satu persatu:
1) Muladhara Cakra 
Muladhara adalah ruang segitiga tepat ditengah-tengah badan sebelah bawah, dengan ujung segitiga menuju ke bawah seperti bentuk yoni gadis kecil. Dilukiskan seperti padma merah berdaun bunga empat lembar, letaknya persis diantara pangkal kemaluan dan anus. “Tanah” berasal dari “air”, itulah tattwa cakra ini. Empat daun bunga itu berwarna keemasan, masing-masing memancarkan getaran suara aksara yang, shang, sang, sang.pada empat daun bunga menunjukkan arah empat penjuru angin. Terdapat empat bentuk ananda yaitu yogananda, paramananda, sahajnanda dan virananda. Pada pusat padma ini terletak Svayambhu-lingga, berwarna coklat kasar seperti warna coklat daun yang masih sangat muda. Citrini-nadi dilukiskan sebagai pipa dan lubang pada ujung akhir di dasar lingga disebut Brahma-dvara. Padma, linga dan Brahma-dvara tergantung menghadap ke bawah. Devi kundalini lebih halus dari benang-benang kembang padma itu, bersinar-sinar bagaikan kilat, melingkar tertidur seperti ular melingkari linga, dengan tubuhnya itu ditutup pintu ke bawah Brahma-dvara itu. Perwujudan yang paling halus terdapat di dalam pindanda (badan) disebut Kundalini, suatu perwujudan Prakriti yang menembus, menunjang dan diekspresikan. Apabila Devi terjaga, dia itulah yang melahirkan dunia dengan menggunakan mantra. Segitiga merah menyala dahsyat mengitari Svayambhu-linga dan didalam segitiga itu terdapat Kandarpavayu yang berwarna merah atau unsure vayu dari kama, suatu perwujudan dari apana-vayu dan disini tempat dorongan keinginan berkelamin. Di luar segitiga itu terdapat segi empat kuning yang disebut Pritivimandala, dilekati oleh asta-vajra (delapan bajra). Disinilah terletak vija “lang” dan disana terletak pula pritivi di atas punggung gajah. Disini juga Brahma dan Savitri dan Sakti Dakini yang berwarna merah dan berlengan empat (Ariasa Giri, 2006 : 54). 
Empat daun dari Muladhara cakra memiliki empat huruf (sumber bunyi), mengandung empat kecenderungan yang menarik manusia untuk maju yaitu : dharma (keinginan psikospiritual), Artha (keinginan psikis), Kama (keinginan fisik), Moksa (keinginan spiritual). Yogi yang bermeditasi pada Muladhara cakra dan menguasai rahasianya dari petunjuk guru akan menguasai semua unsure padat. Ia bebas dari semua penyakit, ia penuh dengan kenikmatan. Ia mencapai dardhuri siddhi yaitu kekuatan untuk naik dari tanah. Ia mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi dan yang akan terjadi berikut sebabnya. Ia menguasai ilmu yang tak terdengar bersama rahasia-rahasianya. Ia dapat merasakan sahaja ananda (kebahagian dunia) (Kamajaya, 2000 : 78).
2) Svadhisthana Cakra
Svadisthana seperti kembang padma berdaun bunga enam lembar terletak ditengah-tengah badan  pada level pangkal kemaluan, di atas muladhara dan di bawah pusar. Lingkaran sari bunga berwarna merah, sedangkan daun bunganya mengkilat seperti kilat. “Air” berasal dari “Api” merupakan Tattva cakra ini. Getaran aksara (varna) daun-daun itu ialah bang,bhang, mang, yang, rang dan lang (Ariasa Giri, 2006 : 55). 
Sesuai dengan jumlah daunnya cakra ini mengendalikan enam kecenderungan alami dari pikiran yaitu Avajnana (ketidak pedulian), Murcha (hilangnya akal sehat), Pranasa (perasaan sakit karena takut akan kehancuran), Avisvasa (kurang kepercayaan diri), Sarvanasa (ketidakberdayaan), dan Krurata (tingkah laku yang kasar) (Kamajaya, 2000 : 79). 
Didalam rongga berbentuk setengah lingkaran didalam sari bunga terdapat Devata, yaitu Maha-visnu, Maka-laksmi dan Saraswati. Di depannya adalah Rakini Sakti yang biru dan berlengan empat dan Vija dari Varuna ialah “yang”. Di dalam vija terletak wilayah Varuna dan dia dud8uk diatas makara berwarna putih (Ariasa Giri, 2006 : 55). 
3) Mani-Pura Cakra 
Mani-pura cakra padma keemasan berdaun bunga sepuluh terletak di sekitar daerah pusar : “api” berasal dari “udara” merupakan tattva dari cakra ini. Daun-daun bunga itu berwarna seperti iwan, diselubungi di atasnya dengan warna-warna biru dengan suara aksara dang, dhang, nang, tang, thang, dang, dhang, nang,pang, phang (Ariasa Giri, 2006 : 55). 
Sepuluh daun cakra dengan huruf-hurufnya mempengaruhi dan menghapus Lajja (rasa malu), Pisunata (kecenderungan kejam), Irsa (iri hati), Susupti (malas, lambat), Visada (murung), Kasaya (kejengkelan), Trsna (hasrat untuk selalu menambah), Moha ( hasrat yang membabi buta, tergila-gila), Grhna (kebencian), dan Bhaya (ketakutan) (Kamanjaya, 2000 : 81).  
Pada sisi-sisi segitiga itu terdapat tanda swastika yang keramat itu. Agni, merah berlengan empat duduk diatas domba. Di depannya berdiri Rudra dengan saktinya Bhadrakali. Rudra berwarna merah terang, dan kelihatan seperti orang tua. Tubuhnya diurapi abu. Bermata tiga dan berlengan dua. Satu tangan dalam posisi memberi berkah, tangan yang lain bersikap mengusir rasa takut. Di dekatnya berdiri Lakini Sakti, berwarna seperti emas cair, mengenakan pakaian kuning dan penuh perhiasan. Dia itu mabuk oleh nafsu. Di atas padma itu  terdapat singasana surya. Surya-mandala itu menikmati  amrita yang menetes dari bulan (Ariasa Giri, 2006 : 55). 
4) Anahata Cakra 
Anahata-cakra berbentuk kembang padma merah gelap dengan duabelas daun bunga, terletak disekitar daerah jantung yang harus dibedakan dengan padma hrdaya yang menghadap ke atas dengan daun bunga delapan yang dibahas didalam teks, di mana Ishta devata direnungkan. “udara” berasal dari “ether” demikian tattva di cakra ini.  Pada masing-masing daun bunga yang berwarna merah gelap itu terdapat getaran varna kang, khang, gang, ngang, cang, chang, jang, jhang, nyang, tang, thang, dan dua belas vriti yang dikaitkan dengan itu ialah ashna (harapan), cinta (perhatian, kekawatiran), cesta (usaha), mamata (rasa kemilikan), dambha (kesombongan), vikalata (tak bisa memutuskan), anutapa (penyesalan). Mandalam segitiga di dalam sari bunga padma ini disebut Trikona Sakti, warnanya bagaikan petir. Di dalam mandala ini terdapat vanalinga merah disebut Narayana atau Hiranya-garba, dan didekatnya adalah Isvara dengan saktinya Bhuvanesvari. Berdiri didekatnya ialah Kakini sakti yang bermata tiga,  berkilat-kilat, berlengan empat memegang jerat dan piala dan dua tangannya yang lain melakukan mudra memberikan berkah dan mengusir bencana. Devi ini berkalung untaian tengkorak manusia. Ditengah-tengah padma terdapat mandala bersegi enam dengan warnaseperti asap dan lingkaran yang merupakan wilayah Vayu, berwarna abu-abu seperti asap, vayu duduk diatas menjangan hitam. Disinilah terlihat perwujudan atma , meruncing seperti cahaya lampu (Ariasa Giri, 2006 : 56). 
Jika Anahata cakra ini sedikit aktif, akan membuat orang secara naluri menyadari perasaan orang lain, misalnya rasa senang dan sedih. Tidak hanya itu, ia dapat mengerti perasaan makhluk-makhluk halus (astral) (Kamajaya, 2000 : 86).
5) Visudha Cakra 
Visudha cakra atau Bharatisthana, tempat kedudukan Devi yang menguasai ucapan, terletak pada ujung bawah kerongkongan (kanta-mula). Tattva cakra ini ialah “ether”. Padma disini dilihat seperti api yang dilihat melalui asap. Berdaun bunga enam belas, varna aksara merah, berbunyi ang, ang, ing, ing, ung, ung, ring, ring, lring, lring, eng, aing, ong, aung, ang, ah, di sini juga terdengar tujuh not musik shadaja, risabha, gandhara, madhyama, pancama, daivata, nisada, racun (pada helai daun bunga kedelapan) : hung, phat, vaishat, vasvhat, svadha, svaha, namah, dan amrita (pada daun bunga keenam belas). Di dalam sari bunga terdapat mandala berbentuk segitiga didalamnya Siva-Sakti mewujudkan diri menjadi Ardanarisvara. Disana terlihat juga wilayah bulan purnama dan ether, lengkap dengan vija “hang”. Akasa-mandala itu transparan dan bentuknya bulat. Akasa disini sendiri berpakaian serba putih menunggang gajah putih. Bertangan empat memegang pasha (jerat), kaitan untuk memacu gajah (angkusa), tangan yang lain melakukan mudra untuk memberikan berkah dan mengusir bencana. Siva itu putih berkepala lima, bermata tiga, sepuluh lengan, berkain kulit harimau. Didekatnya berdiri Sakti Sakini, berbusana kuning, berlengan empat, memegang busur, panah, jerat dan angkus. 
Diatas cakra ini dipangkal langit-langit (talumula) tersembunyi sebuah cakra yang disebut lalana, dalam beberapa pustaka Tantra juga dinamakan Kalacakra. Bentuknya seperti kembang padma merah berdaun bunga dua belas, menguasai vritti berikut : sraddha (keyakinan), santosa (kepuasan, ketentraman jiwa), aparadha (rasa bersalah), dama (Penguasa diri), mana (kemarahan), sneha (rasa sayang dan melindungi), shoka (kesedihan), kheda (kecewa), suddhata (kemurnian), arati (ketidakterikatan), sambrama (kacau), urmmi (nafsu makan, keinginan) (Ariasa Giri, 2006 : 57).
Jika Visuddha cakra ini lebih aktif, bisa menyebabkan seseorang mampu mendengar suara yang kadang-kadang memberi berbagai anjuran kepadanya. Bila cakra ini lebih aktif maka ia akan menjadi waskita pendengaran mampu mendengar suara-suara dari alam halus (Kamajaya, 2000 : 88).
6) Ajna Cakra 
Ajna cakra juga dinamakan paramakula dan mukta treveni, karena dari sini trinadi, yaitu Ida, Pingala, dan Sushumna berpisah menuju ke tujuan masing-masing. Ajna cakra ini seperti kembang padma yang berdaun bunga hanya dua helai, terletak di sela-sela alis mata. Di sini  tidak terdapat tattva dari Mahabhuta yang kasar itu lagi, tetapi tattva yang halus dari jiwa mulai muncul disini. Hakarardha atau setengah dari aksara La terdapat juga disini. Pada kedua helai daun bunganya itu terdapat varna merah dengan bunyi hang dan ksang.
Didalam sari bunganya tersembunyi vija “Ong” di semua bagian cakra ini masih bekerja Tri guna sattva, rajas dan tamas. Di dalam mandala berbentuk segitiga di dalam bunga itu terdapat linga yang bersinar-sinar (tejo-maya) dalam bentuk pranava (pranavakriti) yang disebut Itara. Para Siva dalam perwujudan bangsa (hangsa-rupa), juga disana dengan sakti Sidha-Kali. Pada tiga sudut segitiga itu berdiri Brahma, Visnu dan Maheswara. Di dalam cakra ini bersthana Hakini-Sakti yang putih, berkepala enam dan berlengan empat melakukan pose jnana-mudra, memegang tengkorak, damaru dan tasbih (Ariasa Giri, 2006 : 58).
7) Sahasrara-Padma (Cakra Rahasia) 
Di atas Ajna-cakra bersembunyi sebuah cakra rahasia disebut manas-cakra. Cakra ini seperti kembang padma bertaun bunga enam helai, yaitu tempat duduknya sabda-jnana, sparsa-jnana, rupa-jnana, agrano-palabdhi, rasopabhoga, dan svapna atau daya kemampuan untuk mendengar, rasa sentuhan, pengelihatan, penciuman, rasa kecap dan tidur atau ketiadaan semuanya itu. Di atas ini terdapat lagi cakra tersembunyi yang disebut Soma-cakra. Cakra ini berdaun bunga enam belas, yang juga disebut enam belas kala. Kala-kala ini disebut kripa (pengampunan), mriduta (kelembutan), dairya (kesabaran, pengendalian prilaku), vairagya (tanpa nafsu), driti (keteguhan, ketetapan hati), sampat (kemakmuran), hasya (kegembiraan), romancha (terharu), vinaya (rasa memiliki, kerendahan hati), dhyana (meditasi), sustirata (kediaman, ketentraman, berdiam diri), gambirya (bobot), udyama (usaha, bisnis), aksobha (tanpa emosi),audarya (kebesaran), dan ekagatra (konsentrasi). Diatas cakra ini terdapat niralamba-putri (padma anglayang, rumah tanpa penunjang) yang oleh para yogi disana itu dilihat kegemilangan Isvara. Di atas inilah terlihat pranava itu bersinar seperti api dan diatasnya itu terlihat kepingan bulan sabit yang putih yaitu nada, dan diatasnya ini terdapat titik terakhir vindu. Disana itulah terlihat adanya kembang padma putih berdaun bunga dua belas dengan permukaan mengarah (sudha-sagara) dengan pulau batu permata (minidvipa), tempat pemujaan terbuat dari batu permata (manipitha), terdapat tiga lecutan cemerlang a, ka, tha dan disana terdapat Nada dan Vindu. Pada Nada dan Vindu sebagai altar, bersinggasana disana laramahangsa dan ini menyangga kaki Guru : disanalah guru dari semua dan segalanya harus direnungkan. Tubuh hangsa diatas mana kaki guru itu menjejak, tidak lain dari pada jnana-maya, kedua sayapnya adalah Agama dan Nigama, kedua kakinya Siva dan Sakti, paruhnya Pranava, mata dan kerongkongannya kama kala. 
Dekat sekali dengan Shasrana Padma ialah garis seperenam belas bagian dari bulan, yang dinamakan ama-kala, yang warnanya merah jernih dan berkilat-kilat seperti bajra. Didalam itulah terdapat lengkung nirvanakala bersinar bagaikan Surya dan lebih lembut dari sehelai rambut dibagi seribu. Di dekat nirvikala terdapat parama-nirvana-sakti, lembut tak terhingga, cemerlang bagaikan surya, pencipta tattva-jnana. Di atasnya itu Vindu dan Visarga-Sakti, pangkal mula dan tempat semua bentuk kebahagiaan abadi (ananda).
Sahasrara-Padma, kembang padma berdaun bunga seribu, memiliki semua jenis warna tergantung dengan muka menghadap kebawah dari Brahma-randra di atas semua cakra. Iniklah mandala bagi penyebab pertama (Brahma Loka), penyebab dari enam penyebab berikutnya. Di dalam surya yang agung, baik secara kosmis maupun secara diri pribadi, di dalam kecermerlangannya itu terdapat Parama-Siva dan Adyasakti. Daya-daya kemampuannya ialah vacaka-sakti atau saguna-brahman, yang di dalam dirinya terdapat level-level kesadaran. Parama Siva mewujudkan diri sebagai Akasa yang agung (Paramakasa-rupi), sebagai atma yang agung (Paramatma), sebagai matahari di alam kegelapan dan kebodohan. Pada masing-masing daun bunga terdapat aemua aksara; dan apakah sudah ada di cakra-cakra yang lebih rendah atau di alam semesta (Brahman) semua terdapat disini sebagai suatu potensi (avyakta-bhava).
Siva menamakan tempat ini sebagai Siva-Sthana Vaisnava menamakan Prakerti-Purusa-Sthana. Parama-brahma, parama-hangsa, parama jyotih, kula-sthana, dan parama-siva-akula. Ataupun nama yang disebutkan, semua bicara tentang hal yang sama. Menembus ke enam cakra bahkan sampai pada Sahasrara Cakra (cakra rahasia) merupakan masalah terpenting yang di bahasa dalam tantra, dan juga merupakan praktek yoga yang di laksanakan. Cara pelaksanaannya secara mendetail hanya bisa di pelajari melalui guru, tetapi prinsipnya  pada umumnya dapat di ajarkan secara meluas, yaitu bahwa chit hanya dapat di sadari di sahasrara cakra sebagai berikut : Jivatman di dalam jasad yang halus, yang merupakan wadah bagi panca prana, tiga aspek jiwa yaitu: manas, ahamkara dan budhi, panca karmendriya dan panca jnanadriya di stukan dengan Kulakundalini. Kandarpa atau kama-vayu (enersi karma) di muladhara yang merupakan bentuk dari Apana-Vayu di berikan dorongan untuk berputar ke kiri dengan demikian api yang meliputi kundalini di nyalakan. Dengan vija “hung” dan dengan panasnya api yang di nyalakan itu, kundalini yang tidur melingkar itu di bangunkan. Devi yang tertidur di sekitar svayambhu-linga, dengan lingkaran tiga setengah putaran dan setengah tubuhnya menutupi saluran ujung bawah dari brahma-dvara, setelah di bangunkan itu akan memasuki pintu-pintu di atasnya dan naik ke atas, menyatu dengan jivatma.  
Dalam perjalanan ke atas itu, Brahman, Savitri, Dakini-sakti, Sakti, Deva-devi, vija dan vriti, melarut ke dalam tubuh kundalini. Mahimandala atau prativi berubah menjadi vija “lang” dan juga melarut ke dalam tubuh kundalini itu. Ketika Kundalini meninggalkan muladhara cakra, yaitu kembang padma yang mula-mulanya kuncup dan menghadap ke bawah, tetapi setelah kundalini terbangun bunga itu mekar dn menghadap ke atas, tetapi ketika kundalini meninggalkannya kuncup kembali dn menghadap ke bawah. Ketika Kundalini tibba di Svadhisthana-cakra kembang padma itu tebuka dan menghadap ke atas. Dengan masuknya Kundalini, maka mahavisnu, mahalaksmi, sarasvati, rakidi, sakti, deva, matrika dan vriti, vaikuntadhama, golaka,dan deva-devi yang bermukim di sana melarut dalam tubuh kundalini. Prativi melarut menjadi vija “ Lang” dan menyusup ke dalam apah, dan apah berubah menjadi vija “ Vang’ danmenyusup ke dalam tubuh kundalini. Kundalini di dorong naik ke atas lagi, menyentuh manipura-cakra, masuk kedalamnya, kembang itu mekar dan semua unsur yang ada di dalamnya di serap oleh kundalini. Vija “Vang” yang di bawa dari Svadhisthana-cakra  melarut kedalam api, dan berubah menjadi vija “Rang” dan larut ke dalamtubuh Kundalini. Cakra ini di sebut juga Brahma-granthi (simpul Brahma). Penembusan cakra ini mungkin mengakibatkan sakit, cacat isik dan bahkan menjadi berpenyakitan. Karena itulah bimbingan guru sangat di perlukan, sehingga dapat di berikan latihan-latihan khusus yoga tertentu agar menembus cakra yang berbahaya ini dapat di hindari, namun sadhakapun masih bisa melanjutkan proses perjalanan kesadaranya menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Selanjutnya kundalini masuk kedalam Anahata-cakra dan semua unsur yang berda di dalam cakra tersebut melarut ke dalam tubuh kundalini. Vija teja “ Rang” berubah menjadi vija vayu “ Yang” dan merasuk ke dalam kundalini. Cakra ini di sebut juga Visnu-granthi (simpul wisnu). Dari sana kundalini melanjutkan peerjalanannya ke atas menuju istana bharati (atau sarasvati) di Visudha cakra. Setelah kundalini masuk kesana, Ardhanarisvara Siva, Shakini, enam belass huruf hidup, mantra sebagai berikut, melarut ke dalam tubuh Kundalini. Dengan menembus lalana cakra. Devi tiba di Ajna-cakra, dan di sana Parama-siva, sidha kali, Deva-deva, guna dan semua yang lain yang ada di tempat itu larut ke dalam tubuh Devi. Vija akasha “Hang” melarut ke dalam Manas-cakra dan jiva itu sendiri selanjutnya larut ke dalam kundalini. Ajna cakra itu juga di kenal sebagai Rudra-granthi (simpul Rudra atau siv). Setelah cakra ini di tembus dengan gerakannya sendiri Kundalini bersatu dengan ParamaSiva dan di dalam perjalanannya ke atas selanjutnya ke dalam tubuhnya itu melarut niralamba puri, pranaya, nada, dan sebaginya.
Didalam perjalanan ke atas selanjutnya, Kundalini menyerap dua puluh empat tatva mulai dari panca-maha-bhuta, dan seterusnya, dan akhirnya menyatukan diri dengan paramaSiva. Inilah proses Maithuna (sanggama) dari sattvika-pancatatva Amritayang tercurah dari persatuan itu membanjiri ksudrabrahmanda dari tubuh manusia. Ketika itulah sadhaka menemukan kesejatian wujud semesta dan merasakan apa yang di sebut kebahagiaan abadi.
Sadhaka lalu memikirkan vayu-vija “ Yang” di pikirkan mengalir melalui lubang hidung kiri memasukkan udara melalui ida, melakukan japa terhadap bija enampuluh empat kali. Kemudian pikirkan “Manusia hitam karena dosa” (papaphurusa) di dalam rongga perut di keringkan oleh udara, dan dengan pikiran tetap demikian, keluarkan  nafas melalui lubang hidung kanan pingala melakukan japa terhadap vija tiga puluh dua kali. Sadhaka lalu memusatkan pikiran kepada vija “Rang” yang warnanya merah di Manipuracaraka, tarik nafas enam belas japa. Ketika mengucapkan japa pikirkan “ manusia hitam penuh dosa” itu tebakar dan menjdai abu. Tarik nafas dnegan lubang hidung kanan mengucapkan tiga puluh dua kali japa. Renungkan chandravija “Thang”. Tarik nafas melalui lubang hidung kiri(Ida), japa dengan vija itu enam belas kali, tutup kedua lubang hidung dengan japa sebanyak enampuluh empat kali, dan keluarkan melalui lubang hidung kanan (pingala) seraya melakukan tiga puluh dua kali japa. Ketika menarik nafas, menahan nafas, dan mengeluarkan nafas terus menerus bayangkan bahwa perwujudan dewa sedang di bentukoleh amitra (yang di bentuk oleh semua huruf-huruf, natrikavarna) menetes dari bulan. Dengan cara sama, di gunakan vija ‘Vang’, pembentukan jasad dewata itu di lanjutkan dan dengan vija “Lang” dan pembentukan perwujadan dewata itu selesai dan memiliki kekuatan terakhir dengan menggunakan mantra “ Song-Hang” , sadhaka menggiring jivatma menuju ke hrdaya (sekitar jantung). Demikianlah kundalini, setelah menikmati persatuannya dengan paramasiva, kembali ke tempatnya semula. Ketika melewaticakra-cakra itu, apa yang tadinya di serap, sekarang di keluarkan lagi dan menempatkan diri di tempatnya masing-masing seperti sedia kala. Demikianlah Kundalini kembali ke Muladharacakra dan seluruhnya itupun kembali kepada posisi seperti Kundalini itu masih tidur.
Selanjutnya di jelaskan bahwa seseorang bhakta dengan pengendalian nafas/ pranayama sesuai dengan ketentuan yang ada menggerakkan memperbesar prana dan kemudian menggerakkan cakra satu persatu sampai menjadi gerakan yang serasi. Prana kemudian di pusatkan kepada salah satu Dewa yang di puja kemudina di tingkatkan kepada dewa tertinggi/ ubun-ubun maka sampailah prosesnya kepada puncak yakni berada pada situasi : heneng, hening, henang, henung atau berada dalam diam (sira meneng ana meneng) sebagaimana di sebut di dalam Aji Sang Hyang Dharma, kemudian akan di capai “Sang Hyang Jat Mika” yang tertinggi atau Sang Hyang Moksiana atau Sang Hyang Kelepasan atau (Nora Lewat po saking riki, sang kalepasan aranira). Lontar kalepasan, hal 7). Umumnya ajaran ini sangat di rahasiakan hanya dapat di ajarkan oleh pendeta, bhakta yang telah siap mental an tekun menjalankan dharma kepanditaannya (Ariasa Giri, 2006 : 58).
1.4 Tutur Kelepasan Perspektif Tintiyasana 
Pelaksanaan Tintiyasana Yoga ini tidak jauh berbeda dengan cara-cara yoga lainnya, yakni melalui meditasi yang juga disebut dengan dhyana yaitu pemusatan perhatian yang terus menerus terhadap suatu objek yang telah ditentukan dan disukai, sehingga sampailah kita pada suatu renungan yang mendalam. Adapun istilah Samadhi berasal dari kata sama berarti persamaan atau imbuhan dan dhi berarti ide-ide atau budhi yang adhi atau luhur. Dalam hubungan ini Samadhi berarti pemusatan pikiran kepada objek spiritual yang luhur yakni Sang Hyang Maha Tunggal. Jadi menuju kemanunggalan dengan Hyang Maha Tunggal/Moksa untuk mencapai tujuan yang mulia ini diperlukan kemauan, tekad, kedisiplinan dan kesabaran Mertha Sutedja, 2006 : 56).
Di dalam Tintiyasana kita mengambil sikap terlentang tengadah dengan lutut kanan ditekuk/setinggi lutut kiri. Dengan sikap tengadah dan menekuk lutut relaksasi  lebih mudah dapat dicapai sehingga memudahkan kita dan mempercepat menyatu dengan-Nya Brahman. Dalam keadaan tidur nyenyak kita terlepas dari keadaan dan hanya diliputi kebahagiaan Tuhan, mempersatukan diri dengan Tuhan. Itulah Brahman Rupata, keadaan itu dapat dicapai lebih-lebih lagi oleh orang yang dibebaskan (Mertha Sutedja, 2006 : 54).
Menurut Sri Empu Nabe Pamuteran bahwa : Tintiya adalah manifestasi Sang Hyang Widhi didalam sifatnya yang tidak terjangkau atau Acintya. Proses pengolahan nafas/pranayama menurut ajaran tintiyasana berarti pengolahan dasaksara, kemudian penunggalan dasaksara guna menghidupkan kundalini. Setelah Kundalini hidup/aktif prosesnya dilanjutkan memanunggalkan dasaksara menjadi Ong atau Om. Maka akan tercapailah keadaan kebahagiaan ananda/kebahagiaan tertinggi/abadi-moksah-suka tanpa wali duka karena Tintiya sendiri adalah Om itu sendiri (Mertha Sutedja, 2006 : 60). Jadi istilah Tintiyasana dalam hal ini di maksdukan adalah ajaran / sikap sebagai Tintiya untuk mencapai “Kamoksan/Kelepasan”.
Dalam Lontar Kamoksan dijelaskan bahwa moksa dapat dicapai melalui suatu tahapan spiritual, yang dimulai dengan memahami nama dewa, besarnya, warnanya dan tempat bersemayam dewa tersebut. Sebagaimana disebutkan menurut Aji Sang Hyang Dharma bahwa untuk dapat mencapai kelepasan, seorang pelaku meditasi harus mengenal dan mengetahui nama, rupa, dan tempat beberapa dewa dalam tubuh melalui kekuatan batinnya. Ketika pelaku meditasi atau rohaniawan mencapai tataran “berada dalam diam” itulah dinamakan bersatu dengan Sanghyang Kelepasan (nora liwat po saking rika, sanghyang kalepasan aranira) (Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2001 : 6).


TANTRA YOGA
Garis-garis besar filsafat Tantrayana
Mazhab Tantrayana dikenal luas oleh dunia Barat sebagi aliran esoterik (ajaran rahasia, tersembunyi, mistik). Sedangkan mazhab-mazhab lainnya dalam agama Buddha disebut eksoterik (sesuatu yang kelihatan).
Menurut umat Buddha mazhab Tantrayana ini, sesungguhnya Sang/Hyang Buddha membabarkan Dharma selama-lamanya. Akan tetapi bagi umat awan tidak dapat mendengar dan mengerti dengan baik. Sehingga tanpa Adhisthana (perantara dan bimbingan), sukarlah bagi umat awan untuk mengerti badan, perkataan dan pikiran Hyang/Sang Buddha. Perantara tersebut bukanlah berasal dari si pelaku itu sendiri, akan tetapi berasal dari bimbingan dan Kekuatan Buddha.
Terdapat tiga jenis upacara dalam mazhab Tantrayana, yakni : 
1. Mudra : Gerakan tangan dan atau badan yang memiliki makna filosofis tertentu 
2. Dharani : Pembacaan mantra-mantra yang juga memiliki arti-arti tertentu 
3. Yoga : Pemusatan pikiran
Dengan demikian, terjalinlah komunikasi yang erat antara si pelaku dan Sang Buddha. Kemudian terbentuklah pengertian yang dikatakan " Buddha berada pada saya dan saya berada pada Buddha ".
1.1.2 Empat Jenis Tantra
Di dalam mengawali pelatihan diri dalam mazhab Tantrayana, ada empat hal yang harus perhatikan yang dikenal dengan empat jenis Tantra : 
1. Kriya Tantra 
2. Carya Tantra 
3. Yoga Tantra 
4. Maha Yoga Tantra
Kriya Tantra berarti perbuatan. Perbuatan ini secara simbolik ada hubungannya dengan ritrual upacara agama yang sangat penting dan perlu pula dalam hubungan dan pergaulan manusia. Contoh: hubungan kekluargaan antara orangtua dengan anak. Apabila situasi yang relatif ini dirubah menjadi hubungan ritual, maka timbullah suatu konsepsi bahwa wujud manusia haruslah dipengaruhi keadaan yang berdasarkan kerohanian. Tradisi dalam tantra ini selalu mengutamakan upacara ritual yang meliputi berbagai bentuk pembersihan mental spiritual, walaupun sesungguhnya hal-hal tersebut hanyalah merupakan ritual simbolik saja. 
1. Carya Tantra adalah jalan pendekatan yang berhubungan dengan keadaan situasi yang relatif, namun dengan pengertian dan kesimpulan yang selengkapnya. Pada fase ini di dalam pikiran si siswa timbul pertanyaan-pertanyaan seperti : " Mengapa kita mengerjakan hal ini? atau mengapa kita berbuat demikian ?". hal ini si siswa tentu tidak mengenyampingkan perbuatan yang sedang dilakukannya. Sungguhpun demikian,si siswa tetap berusaha memperoleh pengertian tentang ilmu pengetahuan yang luhur dan murni dalam bentuk meditasi, akhirnya memperoleh keseimbangan pemikiran dan perbuatan serta menjadi semakin nyata, antara sesama siswa sehingga timbul keadaan : "Tegak sama tinggi,duduk sama rendah". 
2. Yoga Tantra, yoga berarti melengkapi, menggunakan, mengendalikan segala-gala yang ada pada pribadi seseorang,agar dapat diperoleh Pandangan Benar. 
3. Maha Yoga Tantra, pada fase keempat atau Maha Yoga Tantra ini, tidak lagi terdapat perbedaan apapun. Keadaan manusia yang sesungguhnya dapat difahami, timbul terus menerus dalam hati dan bebas. Dalam keadaan ini, tercapailah kesatuan yang utuh.
Empat Jenis Mandala
Salah satu dari cirri-ciri khas Tantrayana adalah Mandala (gambar indah yang memiliki makna filosofis). Mandala ini terdapat empat jenis yang masing-masing terdiri dari :
1. Maha Mandala : Gambar dari tempat kediaman para Buddha dan para makhluk agung lainnya. 
2. Samaya Mandala : Gambar dari tempat kediaman para Buddha dan para makhluk agung lainnya dengan ditambahkan benda benda duniawi. 
3. Dharma Mandala : Gambar dalam bentuk bijak aksara (huruf/kata-kata) Yang melambangkan Buddha, Bodhisattva, Deva serta makhluk arya lainnya. 
4. Karma Mandala : Gambar dari figure-figur buatan misalnya arca atau rupang/patung.
Empat Dasar Tantrayana
Di dalam kehidupan spiritual Tantrayana di Tibet, terdapat jenis disiplin spiritual atau sistim pendidikan yang meliputi level (tingkat) permulaan, menengah dan akhir. Empat dasar Tantrayana adalah merupakan level permulaan atau pendahuluan (prelude) daripada latihan Tantrayana. Keempat dasar Tantrayana (Four Ordinary Foundations) adalah : 
1. Kelahiran sebagai manusia di dunia ini sangat mulia. 
2. Doktrin ke tidak kekalan (impermanence); segala sesuatu yang terbentuk dan saling bergantungan adalah Anitya (tidak kekal). 
3. Pengertian aksi-sebab dan akibat; Cetana (kehendak untuk berbuat) itulah dinamakan Karma. 
4. Dukkha sebagai lingkaran Samsara.
2.1.1 Pengertian Tantra
Pengertian Tantra menurut Encyclopedia of Religion anda Ethice yaitu tenunan atau keadaan dan rangkaian yang tak terputus-putusnya didalam kebiasaan agama sebagai peraturan atau upacara yang tertib. Tantra juuga mengandung arti buku keagamaan dari kaum sekta beserta segala macam sektenya. Dalam Disctionary of Philosophy diuraikan bahwa tantra adalah salah satu dari sekian jumlah atau penuturan yang mencerminkan perkembangan bangsa yang bukan Indo German dan Mongolia, disusun dalam bentuk dialog atau percakapan antara Siwa dan Durga, tentang upacara-upacara keagamaan, soal-soal tentang ilmu gaib, filsafat dan cabang ilmu pengetahuan lainnya. Tidak heran kalau ada yang berpendapat bahwa tradisi (agama) tantra merupakan percakapan  antara Dewa Siwa dan Dewi Durga saling bertanya jawab satu sama lainnya. Melalui percakapan inilah rahasia saripati dari Brahman dapat dimengerti oleh seluruh umat. Dalam perkembangan Agama Budha dan Hindu selanjutnya terlihat bahwa kedua kedua agama itu mengadakan penyempurnaan yang sangat harmonis dan paham tantra dimasukkan kedalamnya, baik kedalam agama Budha ataupun Hindu (Surasmi, 2007:41-42).
Pada pembukaan sundariyalahari tertulis: “Siwa bila bersatu dengan saktinya, ia akan dapat menciptakan segalanya, tetapi sebaliknya tanpa saktinya Siwa tidak dapat berbuat apa-apa. “ Brahma, Wisnu dan Siwa dapat melakukan tugasnya masing-masing, yaitu mencipta, memelihara dan mempralina dalam ketaatannya terhadap saktinya. Dalam kepercayaan tantra, dewa dan sakti merupakan satu kesatuan. Penganut-penganut paham Sakta mengakui adanya teori hukum karma, kelahiran kembali,adanya makhluk-makhluk kasar dan makhluk-makhluk halus.
1.2 Kapan Tantra Muncul?
Dasar-dasar paham tantra timbul di India sebelum bangsa Arya datang ke India dan merupakan kepercayaan Idnia kuno.Pada peradaban Lembah Sungai Indus dasar-dasar paham tantra ini terlihat yaitu dalam bentuk pemujaan Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Peradaban Lembah Sungai Indus itu berlangsung antara tahun 3000-1500 sebelum Masehi. Di Nusantara paham Tantra untuk pertama terlihat pada kerajaan Sri Wijaya pada tahun 684 Masehi. Hal tersebut terlihat dalam Prasasti Talang Tumo, salah sebuah prasasti dari kerajaan Sri Wijaya yang mengandung unsure keagamaan. Di Indonesia agama Budha-Tantra mengalami perkembangan yang baik di Sumatra, Jawa dan Bali.
Tantra dan Tradisi Hinduisme
Tantra berarti buku, ikhtisar atau ringkasan. Buku yang bertisi informasi tentang ragam sistem dan metode spiritual untuk mencapai pembebasan (moksa), subjek tentang pencapaian  kesejahteraan duniawi (jagadhita) sampai pada rahasya penguasaan occult knowledge. Teks tantra yang lebih mengkhusus kurang lebih berhubungan dengan salah satu spesialisasi dari topik tadi. Beberapa diantaranya bersifat purely spiritual dan memberikan kunci rahasya cakra-cakra danb meditasi, sedangkan yang lainnya ada yang menekankan kepada bidang pengetahuan keduniawian, astrology, dan sebagainya.
Yang cukup menariki adalah teks tantra yang membahas kekuatan gaib atau praktek magic seperti hipnotis atau sihir. Bagian terakhir yang sangat sensasional ini menarik perhatian banyak pihak dan paling bertanggung jawab menyeret image tantra sebagai ajaran black magic. Bagaimanapun sebagian kecil sisi tantra ini tidaklah cukup untuk menyimpulkan keseluruhan batang tubuh ajaran tantra yang luas itu.
Tantra sebagi bagian yang tak terpisahkan dengan tradisi juga mewarisi fleksibilitas. Tantra meringkas berbagai jalan dan pandangan tentang kehidupan, seni pemujaan dan seterusnya tanpa memihak dan menyajikan sebagai intisari ilmu pengetahuan. Karena itu arti kata tantra adalah “buku ringkasan” yangf menyajikan banyak ragam seni dan ilmu pengetahuan yang merujuk kepada kebijaksanaan kuno vedik dan puranik yang sangat luas. Naskah-naskah tantra tradisional berhubungan dengan lima topik berikut :
1) Evolusi.
2) Involusi ciptaan
3) Pemujaan terhadap manifestasi ketuhanan
4) Pencapaian tujuan hidup dan penguasaan kekuatan spiritual, dan
5) Ajaran meditasi untuk menyadari hakekat kebenaran
Melalui ke-5 tema diatas itu, tantra meliputi seluruh spectrum of human concern untuk berbagai tahap kehidupan (tua-muda) dan kelas social yang berbeda. Ritual-ritual spesifik untuk kesejahteraan masyarakat, ajaran tentang derma, aturan pemujaan pada tempat suci, berbagai jenis sakramen yang berbeda dan praktek yoga dapat ditemukan dalam naskah tantra. Tantra adalah buku pedoman untuk seluruh komunitas sebagaimana yang ditunjukan misalnya dalam naskah Mahanirvana Tantra, yang sangat popular.
Jika bagian terbesar dari tradisi dan pengetahuan Hindu tantrik dibedah, kita akan menemukan beberapa karakteristik : pertama, tantra menekankan teknik-teknik seperti ritual, mantra dan visualisasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Para guru tantra yang karena kedalaman pengetahuan dan kebijaksanaannya memegang otoritas dalam pemilihan sadhana atau memberi saran-saran ritual yang sesuai bagi setiap sadhaka. Kedua, sebagai ikhtisar dari pengetahuan yang kompleks, tantra memiliki pendekatan universal karena menerima berbagai metode apakah itu disebut spiritual atau unspiritual sekalipun. “Lahan kebun” tantra amat luas untuk bercocok tanam sesuai dengan selera, bakat, dan kemampuan pengikutnya ; apakah untuk menanam benih kebijaksanaan spiritual, mengembangkan tunas keahlian duniawi atau menebar rumput-rumput kekuatan gaib, dan sebagainya. Ketiga, tantra memberikan tempat istimewa bagi pemujaan Dewi Sakti (shakti swarupa = Tuhan). 
Tantra berhubungan dengan pemujaan Dewi, perwujudan aspek sakti Tuhan sistem pengetahuan tantra menyediakan seperangkat kepercayaan dan pemujaan kepada aspek sakti Tuhan itu, melainkan pendekatan praktis yang lengkap untuk mengembangkan kesadaran kita melalui kebijaksanaan dan rahmatNya. Tapi pemujaan kepada Dewi bukanlah satu-satunya milik tantra, melainkan sebuah kebijaksanaan kuno Hinduisme yang berpangkal pada ajaran veda. Karena jauh sebelumnya, dalam Rg Veda, kitab suci tertua didunia itu telah menyebut pemujaan terhadap Aditi, ibu para dewa.
Dewi dalam perspektif tantra adalah the feminine aspect of divinity yang merupakan perwujudan segala kebaikan, pengetahuan, wisdom atau energi kesadaran murni. Dewi adalah segala manifestasi rupa keindahan, pokok dari seluruh beauty. Keindahan yang ditampilkan the world of nature, apakah sekuntum bunga yang indah, pemandangan alam yang menawan hati, gunung, sungai, dan lautan misalnya, adalah tarian atau gerak tanmgan dari sang Dewi. Keindahan yang bisa dilihat dalam jagat raya ini adalah pantulan kualitas keindahan tertinggi yang diwakili oleh sang Dewi. Keindahan yang tertinggi itu tidak lain adalah hakikat Dewi Shakti sebagai cosmic feminine force yang memuncak ketika bersatu dengan Siva atau Tuhan (masculine force) dalam gairah suka-cita anandam.
Dalam kehidupan ini sexual bauty dapat dirujuk sebagai metafora dari bentuk persatuan ilahi Shiva-Shakti itu. Bertolak dari sini seni dan pengetahuan tentang seks seakan mendapat tempat dalam tradisi pengajaran tantra dan telah memicu masuknya paham terlarang (praktek seksual didalamnya). Padahal yang menjadi tujuan tantra adalah untuk membawa para sadhaka berhubungan langsung dengan hakekat keindahan tertinggi itu bukan melalui sensasi lahiriah (praktek seksual), melainkan melalui pencarian sumber keindahan dan kebahagiaan didalam diri kita sendiri.
Dewi (Shakti swarupa) mengantarkan para bhakta atau sadhaka untuk menyadari kebenaran (sat), menghayati kesadaran diri tertinggi (cit), dan meraih kebahagiaan transcendental (anandam). Semua itu berada didalam diri kita bukanlah diluar dan jauh dari diri kita. Pemujaan kepada Dewi Shakti atau The divine mother seperti ibu Kali, Durga Bhairawi, Dewi Uma-Parwati, Bhuaneswari,Mahalaksmi, Tara-Sararwati, dan sebagainya, dengan disiplin yang benar menjanjikan semua itu. Dan Tantra adalah kunci yang terbaik.
b) Vajrayana
Vajra “penerangan” , adalah semula tetap. Senjata dewa Indra, vajrapani, para yoga atau yogin, melawan para musuh raksasa. Tetapi vajra telah mempunyai arti baru :
1. Dipakai menamakan mistik atau kekuatan suci yang disamakan dengan kebijaksanaan (vijnana): ada vajra bodhisattwa, vajrayogini; wanita suci ahli sihir, vajravarahi, babi betina suci, makhluk dari vajra; makhluk utama adalah Adhi Budha ialah vajrasattwa merupakan keutamaan.
2. Sebaliknya, vajra adalah suatu sopan santun (kepatutan) atau kalimat-kalimat mistik untuk lingga, alat laki-laki, sedang sebagai padma, lotus, adalah menggambarkan bhaga atau yoni.
Bermacam-macam cara orang melakukan pemujaan terhadap sakti, menurut paham-paham aliran masing-masing misalnya dengan persajian-persajian, dengan doa-doa, dengan mencari ilmu pengetahuan, dengan bakti dan menyerahkan diri dan sebagainya. Pemujaan terhadap sakti menurut paham atau kepercayaan tantra didasarkan pada kitab-kitab Tantra. 
Umumnya paham tantra beranggapan bahwa orang dengan mengucapkan mantra-mantra dan upacara-upacara gaib, dapat bersatu dengan sakti bahkan menjadi sakti itu sendiri. Berdasarkan paham ini, sakti dipuja dengan pengaliran darah yang tiada henti-hentinya, dengan mempergunakan gambar-gambar sihir. Gambar sihir yang simetris dengan nama-nama dewa, menurut aturan yang tertentu, masing-masing menurut tempatnya sendiri, disebut dengan nama yatra. Kadang-kadang menganut paham tantra melakukan perbatan-perbuatan yang bagi orang biasa terlarang atau yang berbahaya bagi keselamatan jiwa orang lain. Banyak upacara-upacara tantra itu bersifat rahasia dan banyak pula yang telah dilarang karena melanggar kesopanan dan sebagainya. Salah satu pemujaan yang demikian terkenal ialah vamacara. Menurut cara ini orang yang sangat berhati-hati, karena dapat menyebabkan manusia tenggelam dalam kenikmatan keduniawian. Upacara-upacara tantra itu yang terpenting ialah lima hal yang disebut pancatattwa yaitu:
1. Mada, ialah anggur yang memabukkan
2. Matsya, makanan ikan
3. Mamsa, makan daging
4. Madhu, (makan madu) atau mudra ialah makan gandum
5. Mahituna, ialah percintaan atau persetubuhan.
Kelima ajaran diatas dilakukan dengan hati dan perasaan bebas sama sekali, dengan tiada tenggelam dala kennikmatan duniawi dirasainya. Karena sukarnya, maka upacara itu harus dilakukan dibawah pimpinan seorang gurudan hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang telah mencapai tingkatan kesempurnaan yang tinggi. Di dalam melakukan upacara-upacara tantra ini semua pengikut paham tantra di bawah pengawasan seorang guru sebagai pimpinannya. Kelima cara ini dipergunakan sebagai jalan untuk menghubungkan jiwa manusia dengan Tuhan, sebab orang-orang Hindu berpendapat bahwa bukan pembunuhan panca indiya sebagai jalan untuk mencapai moksa (Surasmi, 2007:49-51).
Tantra (Art and Science)
Tantra erat hubungannya dengan seni budaya india. Cerita Shiva dan Dewi Parwati yang merupakan basis dari seni tari dan music india, adalah “hulu” darimana ajaran Tantra mengalir. Sebagai pencipta semesta melalui tarian ilahinya yang disebut Tandava, Shiva dimuliakan sebagai lord of the dance : Nataraja. Bahkan di Bali pun, nama siwa nataraja dan fostur tarian (mudra) tandava tidak asing dilingkungan seniman tradisional. Sedangkan Dewi Parwati, the loving wife of Shiva, dikatakan mempunyai special gentle dance-Nya yang disebut dengan lasya. Semua seni baik itu patung, tari, music, relief, dan gaya arsitektur bertumpu pada mitologi Hindu. Sampai sekarang seni yang termasuk citra Ketuhanan masih dapat kita temukan dalam tempat suci dan dipuja menurut ketentuan yang diatur dalam naskah tantra. 
Bentuk pemujaan diluar diri atau Bhakti berorientasi kepada tradisi yang artistic dimana seni, keindahan, dan kesucian terpadu dalam keyakinan sang pemuja. Itulah the art of tantra; sebuah seni pemujaan dalam ajaran tantra yang diwarisi oleh umat Hindu sampai sekarang. Dalam tradisi ini sisi artistic itu bukanlah seni buta tanpa aturan. Tantra menetapkan serangkaian disiplin dan menyediakan suatu struktur dan konsepsi seni yang berlandaskan pada pemahaman tentang “dunia yang tidak tampak” (niskala) atau menurut hukum hukum spiritual yang universal.------kuang

Maithuna; menyingkap simbol dan ritual seks dalam Tantra
Memang beberapa naskah Tantrik menggunakan bahasa yang erotis sekitar kehidupan seksual, termasok pose seksualnya. Semua itu hanyalah methapora atau simbul-simbul untuk menyatakan fenomena spiritual yang sulit dikomunikasikan. Sebagai contoh kita seringkali menemukan istilah maithuna (banyak diulas dalam wrihannila Tantra dan Utarra Tantra) yang berarti persetubuhan. Istilah ini dimaksudkan untuk menggambarkan persatuan Shakti (Kundalini) dengan Shiva dalam pelukan anandam yang tak terlukiskan. 
Performance Dewi Chhinnamasta yang berdiri diatas Kama-Ratih yang sedang bersenggama, adalah juga salah satu contohnya. Itulah persetubuhan Siwa-Shakti dimana yang keadaan sebelumnya adalah terpisah dan akhirnya di satukan. Shakti yang berkedudukan di Muladhara Cakra dimagnet untuk mendekati Siwa yang bersthana di Sahasrara Cakra melalui kekuatan cinta (kasih= bhakti yang ditujukan kepada Tuhan). Ketika kedua eksistensi itu bersatu dan melakukan persetubuhan Ilahi, klimaksnya adalah tetesan amrita (soma) yang mengantarkan jiwa pada kebahagiaan tak terbatas (anadam).
Pengguinaan istilah ini biasanya juga diikuti dengan penggambaran bentuk dari aspek Shakti yakni Dewi-Dewi yang kelihatan bugil (misalnya beberapa bentuk dari Dewi Kali, dll) yang sesungguhnya bermaksud memberi pelajaran bahwa busana Dewi-Dewi itu adalah ruang (space) yang tidak terbatas dan bukan gaun biasa yang mudah diukur. Perwujudan Shakti yang kehadirannya dilukiskan sebagai Dewi itu menyatakan aspek Tuhan yang tidak terukur sehingga busana yang cocok untukNya diidientikan dengan ruang yang luas. Dan, methapora Tantra umumnya sangat akrab dengan simbol-simbol sejenis itu. Aspek ini dan cara pengajarannya, merupakan bagian yang khas dari Tantra.
Tubuh adalah Pura
Tantra mengakui pentingnya keberadaan tubuh manusia dan memandangnya sebagai pura atau kuil Tuhan yang hidup. Dalam pandangannya, physical organism manusia adalah mikrokosmos (Bhuana alit) yang mana melaluinya kita dapat mengerti cara kerja makrokosmos (Bhuana Agung). Prinsip Tantra dalam mempertahankan pandangan ini menjadikan ia dihormati sebagai suatu body affirmative form of spiritual tradition, sebagai lawan dari praktek asketis penyiksaan badan. Ini bukan berarti Tantra mengijinkan attachment to the body and sense of bodily identy (deha-abhimana) melainkan menempatkan tubuh ini sebagai mystic symbol. Sebagaimana ajaran Vedanta dan Yoga yang secara luas menyatakan bahwa tubuh adalah pura dan yang ditiadakan sesungguhnya adalah the body idea ; doktrin Aku adalah badan yang harus dilawan dengan ide Aku bukanlah badan, melainkan Atman.
Tubuh merupakan wahana terbaik bagi pertumbuhan spiritual kita dan merupakan simbol yang terbaik juga untuk menyadari berbagai perwujudan kekuatan kosmos. Manusia adalah miniature dimana seluruh ciptaan ada semua didalam dirinya. Karena itu kita harus menghargai tubuh ini dan memberinya perhatian sebagaimana mestinya. Melalui tubuh ini kita mendapatkan pengalaman berharga, melalui tubuh yang sama pula kita bergerak mencapai pencerahan. Terdapat natural intelligence didalam tubuh ini yang merupakan bagian dari kecerdasan kosmis, melalui mana kita memiliki kekuatan pertimbangan (viveka) untuk memutuskan sesuatu yang terbaik dalam menempuh kehidupan.
Pusat-pusat Psikhis Pada Tubuh.
Berbicara mengenai pusat-pusat psikhis pada bagian tubuh maka hal itu akan berkaitan dengan ke-7 cakra utama yang dimiliki oleh manusia yaitu :
1. Muladhara yaitu cakra yang terletak paling bawah, pada pria terletak dipertengahan antara anus dan alat kelamin, pada wanita, tepat dibelakang leher rahim
2. Svasidhisthana yaitu cakra yang terdapat pada wilayah kelangklang dari tulang belakang ; titik pemicunya terletak tepat diatas tulang kelamin, pada bagian depan tubuh.
3. Manipura yaitu cakra yang terletak pada tulang belakang setinggi pusar, dan titik pemicunya ada pada pusar itu sendiri.
4. Anahata yaitu cakra yang terletak pada tulang belakang dibalik tulang dada, dan titik pemicunya terletak pada tulang dada.
5. Visuddhi yaitu cakra yang terletak pada tulang belakang dibalik tenggorokan, titik pemicunya terdapat pada lubang tenggorokan.
6. Ajna yaitu cakra yang terletak padatengah-tengah antara kedua alis mata (bhrumadhya) dan bagian belakang tengkorak kepala, yaitu pada bagian tengah kepala ; dan titk pemicunya ada pada tengah-tengah alis mata.
7. Sahasrara yaitu cakra yang terletak paling atas yaitu pada puncak tengkorak kepala, dan cakra ini dapat dicapai setelah melewati keenam cakra yang ada dibawahnya.  
Persiapan Kejalan Yoga
Latihan spiritual dalam praktek yoga dalam arti luas, bertujuan untuk membuka kesadaran hidup yang lebih tinggi.sistem yoga dipercaya demikian tinggi karena telah teruji dan terbukti dalam kurun waktu yang sangat panjang. Belum ada system pengetahuan yang sejenis di dunia ini yang mampu menyaingi keunggulannya. Ada tiga prinsip dasar yang harus dipahai oleh seorang siswa yoga antara lain :
1. Mengusahakan kedamaian pikiran
Kedamaian disini tidaklah menunjuk pada keadaan rileksasi biasa ketika pikiran bebas dari stess, melainkan tentramnya hati yang dicapai melalui keheningan pikiran yang dalam. Ini adalah bentuk penyerahan diri kita yang dilandasi dengan spirit pengetahuan dan kebijaksanaan.
2. Pengendalian energi seksual
Daya seksual merupakan energi fundamental dalam kehidupan dan karenanya, juga merupakan kekuatan penting untuk transformasi. Dengan kekuatan seksual bahkan manusia, binatang telah dikatakan mengambil alih posisi Brahma sebagai pencipta, untuk menciptakan makhluk sejenis. Manusia melahirkan manusia, binatang melahirkan binatang, melalui ritual seksual. Jalan kearifan Yoga memahami betul betapa dahsyatnya energi seksual itu. Karena pengendalian seksual mutlak diperlukan, meski syarat itu tidak mesti harus membujang. Kekuatan seks harus diberdayakan melalui pengendalian yang cermat sehingga dapat ditransmutasikan untuk mencapai klimaks spiritual, anandam, tanpa harus mengganggu tidur orang lain ditengah malam atau pada pagi buta.
3. Menjalani hidup vegetarian
Makanan yang kita konsumsi berfungsi untuk membentuk jaringan tubuh dan juga membentuk intisari dari pikiran. Pengendalian makanan yang dilakukan secara satwika sangat penting untuk diperhatikan oleh siswa yogahidup vegetarian tidak saja menghindari makan daging melainkan pemilihan pola makan yang selektif sehingga dapat melancarkan pergerakan energi spiritual dalam tubuh halus kita. Prinsip utama yang tidak boleh diabaikan dalam menempuh hidup vegetarian adalah ajaran ahimsa yaitu menghindari kekerasan pikiran, perkataan dan juga perbuatan. Hidup vegetarian dengan motif dan keyakinan yang benar, adalah prakondisi untuk mewujudkan kedamaian pikiran.

Yoga dan pembukaan chakra-chakra
Menurut pemikiran yang berkembang dalm yoga chakra itu bisa aktif hanya ketika pikiran dan prana telah memasuki sushumna. Ini membutuhkan kosentrasi yang dalam dan tidak terjadi begitu saja selama keadaan biasa. Menurut naskah-naskah yoga, chakra-chakra digiatkan hanya terhadap mereka yang sudah terlatih dalam meditasi yang mendalam. Hasilnya adalah hadirnya kenyamanan psikologikal atau sirnanya kebodohan spiritual. Yang jelas, pembukaan chakra-chakra dilakukan tidak semata-mata untuk menyembuhkan penyakit, tetapi untuk melepaskan emosi yang tertahan, serta melarutkan mind kedalam samadhi.
Fungsi dari kebangkitan chakra yang lebih rendah tidak untuk memajukan aktivitas organ fisik melainkan untuk membawanya kedalam control kesadaran. Memang kebangkitan the astral chakras dikatakan membawa perubahan dalam bentuk fisik seperti tubuh menjadi murni, bercahaya dan penuh dengan vitalitas. Semua ini diyakini bersifat subjektif, sementara itu dalam lapangan mental, mind menjadi bebas dari ketakutan, keinginan, kemarahan, stress, dan anti kekerasan. Perubahan yang utama adalah terjadinya transformasi persepsi dimana kita berhenti melihat tubuh fisik kita sebagai the true self melainkan memandangnya sebagai wahana material yang memang bersifat kasar.
Pemujaan tehadap Dewi Kundalini.
Secara harfiah, kundalini berarti coiled-up energy atau sebuah gulungan energi yang ada didalam kunda atau “dapur api” tubuh halus manusia. Energi ilahi ini dibutuhkan dalam rangka transformation of consciousness a special and powerful energy. Tantra yoga menyajikan pilihan yang luas dalam bidang yogic and mantric science untuk mengembangkan energi kundalini ini.
Kundalini adalah kekuatan ular atau sakti yang tertidur, yang memiliki tiga setengah gulungan dengan muka menghadap kebawah, di muladhara cakra, di dasar tulang belakang. Kundalini terdiri dari Ida dan pingala yang saling melilit. Kundalini ini bangkit pada saat melakukan kumbhaka dalam pranayama. Pada saat itu akan muncul panas sehingga kundalini itu bangkit dan naik ke sepanjang susumna nadi. Pergerakan kundalini ini melewati 6 cakra, dan akhirnya bersatu dengan Dewa Siwa yang bertahta di sahasrara cakra. Pada proses ini kita akan mencapai pembebasan.
Ida dan Pingala
Ada dua rangkaian sistem syaraf pada tubuh kita yaitu ida yang berada disebelah kanan dan pingala yang berada disebelah kiri, kedua sistem syaraf ini harus berjalan secara simbang, karena keduanya memiliki sifat yang kontras. Ida memiliki sifat yang dingin seperti sifat bulan, dan pingala memiliki sifat yang panas seperti sifat matahari.

Susumna.
Susumna adalah yang paling penting dari semua nadi, dalam bahasa biologi sama halnya dengan pembuluh vena. ia adalah penopang dan jalan alam semesta serta merupakan jalan pembebasan. Susumna terletak dibelakang anus, terikan pada tulang punggung dan menjulur menuju Brahmaranandhra dari kepala dan ia sangat halus dat tidak terlihat. Susumna berjalan sepanjang pusat sumsum tulang belakang. Diatas organ alat vital dan dibawah pusar terdapat kanda, yang berbentuk telor burung, dari san munculnya semua nadi yang berjumlah 72.000 buah.
Tantra yoga menghadirkan kundalini dalam cara yang lebih konvensional. Bagaimanapun ilmu pengetahuan Tantra mempunyai dasarnya pada tradisi vedik dan juga Vedanta dimulai memasuki tahap melatih diri chi dan nadi dan bindu. Diawali dengan melatih pernapasan botol. Pernapasan botol adalah menggunakan perputaran napas untuk membangunkan api kundalini. Api kundalini diperlukan untuk membawa bindu yang akan naik seperti lift di nadi tengah (tulang punggung) membuka cakra-cakra dalam tubuh. Terbawanya bindu ke seluruh tubuh juga menghasilkan sinar terang benderang dalam tubuh. 
Apakah bindu itu ? 
Bindu adalah air mani (ching) pada pria dan sel telur (hsueh) pada wanita yang telah dipadatkan. Ketika bindu bergabung dengan api kundalini dan bergerak naik melancarkan nadi tengah dan membuka kelima cakra yaitu cakra dahi, cakra tenggorokan, cakra hati, cakra pusar (tan thien) dan cakra akar. Ketika cakra pusar (tanthien) terbuka seorang siswa akan dapat mencapai keadaan samadhi . Ketika cakra hati terbuka tubuh Sambhogakaya dari kebuddhaan akan muncul, ketika cakra tenggorokan terbuka tubuh Nirmanakaya dari kebuddhaan akan muncul, ketika cakra dahi terbuka tubuh Dharmakaya dari kebuddhaan akan muncul. Ketika Cakra mahkota terbuka ia akan mencapai penyatuan dengan Buddha. 
Pada saat itu cairan surgawi/nectar (bindu putih) di cakra dahi akan mencair dan turun mencapai bindu merah yang naik dari bawah dan bertemu di cakra hati. Begitu keduanya menyatu hati akan berubah menjadi bunga teratai dan wujud tubuh dharma dari Buddha. Pada saat itu Nadi tengah sadhaka akan terbuka dan akan memancarkan sinar. Setelah ketiga tubuh Buddha telah muncul (sambhogakaya, Nirmanakaya, dharmakaya), sadhaka dapat melanjutkannya dengan sadhana memunculkan ke lima Pelindung dharma di kelima cakra. Inilah tingkat ke-iv vajarayoga. Lewat abhiseka (pemberkatan) dari kelima Vajra Buddha sang siswa akan mendapatkan kekuatan mistik (kesaktian) dan “ penguasaan diri”.
Setelah berhasil dalam Vajrayoga, Seorang sadhaka melanjutkan ke tingkat sadhana Maha tantra yoga (Annutara Yoga) dan selanjutnya lagi tingkat Dzogchen. Tingkat Maha tantra yoga dan tingkat Dzogchen disebut dalam tahap penyelesaian. 
Tahap Penyelesaian 
Tahap penyelesaiaan di Tibet biasanya dikenal dengan istilah “trekcho” dan “togal” Seorang sadhaka harus langsung memotong apa yang menutupi pikiran biasa dan langsung masuk ke keadaan “pencapaian spontan dari sifat pikiran”. Apakah yang dimaksud dengan “pencapaian spontan dari sifat pikiran” itu ? 
Itu adalah keadaan dimana seseorang dikaruniai dengan kekuatan tembus pandang, persepsi dan rekoleksi (suatu keadaan”penguasaan diri”). Intinya didalam sadhana. Dzogchen adalah “memotong” dan pencapaian spontan (trekcho dan togal). Seseorang yang mempunyai kebijaksanaan tinggi begitu ia mendengar “memotong”, akan segera memotong segala kecacatan yang berkaitan dengan pikiran biasa dan mengubah diri dari tingkat orang biasa menjadi tingkat orang suci. 
Bila seseorang “memotong” pikiran biasa dan terbebaskan dari batasan-batasan dan keinginan, maka ia segera menjelma menjadi orang suci. Namun banyak orang yang kelihatannya sudah mencapainya tapi ternyata belum. Sebenarnya sadhana Zen merupakan sadhana “tahap penyelesaian”. Tidak seperti orang awam, Seorang yang berbakat istimewa dan mempunyai kebijaksanaan tajam dapat langsung “memotong” langsung di awal tahap penyelesaian ini.
Tejas, Prana dan Ojas (Energi Spiritual dari Api, Udara dan Air)
Prana adalah energi dari daya hidup atau vital itu sendiri bertanggung jawab terhadap seluruh gerak kehidupan. Disebut energi vital karena prana secara universal tersedia untuk semua benda hidup setiap saat. Tejas adalah api atau cahaya yang memberikan kemampuan untuk mencerna idea tau emosi-emosi. Ojas adalah energi air yang pada hakekatnya menjadi dasar bagi pembentukan daya tahan mental dan kesabaran (meredakan emosi).
Prana, tejas dan ojas pada dasarnya adalah perwujudan dari refleksi yang mutlak (Maha Brahman) dalam 3 kualitas transcendent-nya sebagai Sat, Cit dan Ananda. Prana berasal dari Sat-eksistensi yang kekal menjelmakan kehendak hidup abadi. Tejas berasal dari Cit-kesadaran murni, menggerakkan kehendak untuk mewujudkan pengetahuan mutlak (kebenaran tertinggi). Ojas berasal dari Ananda-kebahagiaan murni, berhubungan dengan aspirasi untuk mewujudkan kebahagiaan transcendent.
Prinsip Sat-Cit-Ananda direfleksikan kedalam jiwa individu berturut-turut sebagai Life (gerak hidup), Light (cahaya, kesadaran) dan Love(rasa hati, cinta kasih). Sat sebagai prana atau life force memberikan spirit kepada badan fisik sebagai wahana jiwa dimana tanpa kehadirannya badan hanyalah immobile masse of matter. Cit sebagai tejas memeri kesadaran kepada tubuh yang tanpa itu ia menjadi tidak memiliki kesadaran. Ananda sebagai ojas atau, power of feeling memberikan sensitifitas pada tubuh. 
Prana, tejas dan ojas mempunyai tempatnya yang khusus didalam badan halus. Tejas berada pada cakra dasar. Prana ada di dalam anahata cakra.. Ojas berada pada pusat kepala atau cakra mahkota. Dari ketiga pusat psikis itu prana, tejas dan ojas mempengaruhi struktur badan manusia dan menjaga keseimbangan dan melaluinya pula memfungsikan the physical body.
Dalam tradisi veda kita mengenal tiga dewa utama yaitu Agni sebagai api disamakan dengan tejas. Vayu sebagai udara disamakan dengan prana. Soma sebagai air disamakan dengan ojas. Kelebihan tejas menyebabkan pikiran over diskriminatif, keritik yang berlebihan, mengigau, seperti perih dimata, panas atau sakit kepala. Kelebihan ojas menyebabkan berat dan tumpulnya mind, juga kecendrungan untuk mengumabar kesenangan diri yang menyebabkan kesadaran luhur kita enggan berkembang. Kelebihan ojas merupakan faktor utama dalam membentuk kekacauan mental. Kelebihan Prana menyebabkan kelebihan udara sehingga menjadi nafas vital dapat mengeringkan ojas dan tejas yang tinggi (kelebihan api) bisa membakar ojas.
Ketika prana kurang nafas menjadi dangkal, pergerakannya cepat dan pendek, tubuh terasa berat, lesu, malas. Saat tejas kurang mengakibatkan tubuh terasa dingin, kulit pucat, gampang tertipu dan muah tersinggung. Ketika ojaas kurang system kekebalan tubuh menjadi lemah, pikiran dan perasaan tidak stabil, tidak tenang dan insomnia (Yudiantara, 2004:59-65).

Metode Untuk Membangkitkan Tejas, Prana dan Ojas
1. Teknik-teknik untuk membangkitkan Tejas
Tejas adalah esensi dari sabda atau suara, wicara yang mengaturnya adlah cahaya atau nyala api kata lain keadaan tejas tercermin dalam wicara. Oleh sebab itu pengujian terhadap tejas bisa dilakukan dengan menilai bagaimana kapasitas seseorang mengartikulasikan diri melalui wicaranya. Meingkatnya tejas berhubungan dengan usaha seseorangdalam merealisasi kebenaran atau mengusahakan jalan spiritual. Sebab itu tejas berhubungan erat dengan energi kemauan, daya kehendak atau asspirasi yang juga merupakan fungsi buddhi (asas intelegensia). Untuk meningkatkan kekuatan aspirasi itu, pencarian atau penyelidikan “kedalam” tentang hakekat “jati diri” adalah ikhtiar penting untuk mencukupi kebutuhan kita akan tejas.
Dari sisi sadhana yoga, metode utama untuk meningkatkan tejas adalah dengan pengulangan mantra. Mantra meningkatkan tejas dan vak yang pada akhirnya membangkitkan ibu kundalini yang merupakan esensi dari shabda. Untuk mengembangkan tejas mantra Hrim yakni mantra utama untuk pemujaan ibi Shakti (Bhuvanesvari) sangat penting. Pada tinngkat pemula, beberapa latihan yang dikenal sebagai persiapan meditasi, seperti tratak yang mebgambil obyek pada api atau cahaya (lilin, matahari atau warna cerah) dapat meningkatkan unsure tejas. Mesikupn merupakan latihan eksternal, traktak tidak saja efektif untuk memfokuskan pikiran kedalam cahaya, tetapi juga untuk mengarahkan kesadaran kita dalam memahami inner light.
2. Teknik-teknik untuk mengidupkan prana
Prana dihimpun melalui latihan pranayama. Banyak teknik pengendalian prana tersedia dalam pelajaran yoga. Kombinasi pranayama dengan pengulangan mantra disebutkan sebagai teknik yang lebih berdaya guna. Proses pranayama dilakukan melalui dua saluran nafas (lubang hidung kiri dan kanan) yang berhubungan dengan jalur ojas (bulan) dan tejas (matahari). Karena itu, latihan pranayama tidak saja penting untuk menghimpun prana tetapi juga dalam rangka membangun tejas dan ojas.
Praktek meditasi yang berhubungan dengan meningkatkan prana misalnya adalah Meditasi Langit Biru, Meditasi Ruang atau meditasi obyek yang mewakili  “ketidak keterbatasan” yang dapat memberikan sensi of prana. Prana juga diartikan sebagai vibrasi nada dalam ruang. Karena itu, disamping latihan memusatkan pikiran dalam obyek ruang, latihan Nada Yoga atau jenis meditasi nada (suara, bunyi dan musik) juga erat kaitannya dengan optimalisasi energi prana.
3. Teknik-teknik untuk meningkatakan ojas
Ketenangan hati, kedamaian pikiran, keyakinan dan bhakti sangat penting untuk membangun ojas. Demikian pula dengan rendah hati, sikap welas asih dan kesabaran yang harus dipupuk dengan maksud yang sama. Praktek dharanam dan pemujaan kepada bentuk Ista dewata didalam hati dan tradisi spiritual dalam metode Bhakti Yoga sangat efektif penghimpunan ojas. Pelaksanaan Karma yoga melalui seva atau pengabdian kemanusiaan tanpa pamrih memiliki nilai yang sama terhadap pengembangan ojas. Intinya adalah upaya untuk mengendalikan kecendrungan indriya atau kemelekatan nafsu badaniah melalui pemusatan bhakti kedalam hati untuk mewujudkan kesadaran yang lebih tinggi. Ojas hanya datang kepada kita melalui saluran keheningan pikiran dibalik keinginan indriya-indriya (Yudiantara, 2004:67-76).
Pentingnya pengembangan ketiga elmen spiritual (tejas, prana dan ojas) jika diketahui kondisi tidak seimbang umumnya prosedur spiritual yang digunakan berusaha mengembangkan ketiganya secara simultan, agar harmonis dan proporsional. Sebagaimana terlihat dalam uraian sebelumnya, ketidak seimbangan ketiga unsur itu dapat menimbulkan kepincangan energi atau fisik maupun psikis.  
Prana, tejas dan ojas saling men-suport satu sama lainnya. Peningkatan prana berarti menopang aliran keberlanjutan dari ojas dan pergerakan naik prana mencegah terjadinya kekurangan ojas. Praktek ini berhubungan dengan latihan pranayama untuk menjaga tetap berada pada jalur tulang belakang. Tejas senantiasa bergabung dengan pergerakan naik prana. Ojas yang cukup tentu saja mendukung tejas dan juga prana serta menyediakan energi cadangan sebagai persediaan. Tejas membantu mendayakan ojas dan juga untuk mengamankan kebutuhan terhadap prana (Yudiantara, 2004:77-78).

Agni, Soma, Vayu dan Surya dalam Tantra Yoga
Agni secara harafiah berarti api sedangkan Soma adalah sebagai lawan dari agni yaitu sebagai lambang dari elment of water. Dihubungkan dengan bulan sebagai bentuk cahayanya Soma itu bersifat mendinginkan, menggabugkan dan mengawetkan. Kalau dihubungkan dengan makanan Soma itu adalah makanan yang di nikmati sedangkan Agni itu adalah penikmatnya. Inilah yang disebut dengan minuman sorgawi dan kebijaksanaan kuno weda menyebutnya pesembahan yang sangat disukai oelh para dewa. 
Yoga berkepentingan untuk menyatukan Agni dan Soma atau prinsip male and female itu pada tataran nature kita atau menekankan pada unifikasi dari male and female energies tersebut yang merupakan basis dari integrasidan transformasi jiwa. Secara lahiriah ini dihubungkan dengan kontak seksual (senggama) sedangkan dalam pratek yoga yag sesungguhnya hubungan ini terjadi secara inner di dalam jiwa (unifikasi prisip male and female) tanpa memerlukan partner lawan jenis (laki-perempuan) sebagaimana halnya dalam praktek hubungan seks yag nyata.
Banyak praktek yoga sangat membantu dalam usaha memurnikan sexual energy terutama jika dikombinasikan dengan kultifasi kebhaktian, misalnya asana dan pranayama. Pengulangan mantra (japa) dan meditasi (dhyanam), music dan kidung suci (kirtanam) juga dapat memberikan manfaat yang sama. 

Vayu dan Surya
Diantara Agni dan Soma terdapat prinsip yang ketiga yang disebut Vayu. Ketika aAgnni dan Soma disatukan terciptalah “kelahiran spiritual” sang diri yang merupakan hasil kreasinya. Agni dan Soma seperti api dan air bersatu untuk menciptakan Vayu (angina tau udara). Kekuatan kosmos Shiwa (father) dan Shakti (mother) bersatu untuk menciptakan “anak” atau kehidupan (prana). Kehidupam (manusia0 di ciptakan melalui hubungan badaniah ibu dan bapak, sedangkan praktek yoga hal ini tercipta sesuai inner melalui spiritual life enrgey. Dalam proses yang disebut terakhir inilah sebuah dimensi baru hadir dalam hidup kita, realitas kreatif dalam kesadaran melampaui batasan yang bersifat fisik.
Menurut tantra, Vayu berada dalam chakra hati, yang berhubungan dengan elmen udara. Penyatuan Agni dan Soma, membuka dan meng-energize cakra ini. Tantra secara umum menghubungkan agni dengan 2 chakra yang pertama (chakra dasar dan chakra seks) sedangkan Vayu dikaitkan dengan 2 chakra lainnya yakni chakra pusar dan chakra hati. Soma berhubungan dengan 2 chakra yang lebih tinggi yakni chakra eter dan mata tiga.

SIVALATRI KALPA
2.1 Kisah Pemburu Bernama Si Lubdaka
Si Lubdaka adalah manusia rimba, suku terasing wangsa Nisāda. Ia mondok bersama anak, istri, dan wangsanya di tegalan bukit hutan. Mereka hidup sederhana dan penuh suka cita. Nikmat hidupnya dari berburu. Binatang buruannya bukan binatang sembarangan. Ia hanya suka memburu dan membunuh binatang besar, terutama mong “harimau”, wek “babi hutan”, gaja “gajah”, dan warak “badak”.
Pada hari catur dasing kapitu krsna “ hari ke empat belas paro terang sasih ke 7 (bulan Magha)”, dengan pakaian berburunya yang khas : krsnāmbarakancuga “ hitam membiru langit”, ia berangkat berburu menyusuri hutan gunung yang indah ke arah timur laut seorang diri. Banyak asrama yang tidak lagi terawat dan rusak dilewatinya. Sambil terus mendaki menyusuri pedalaman hutan yang indah, ia siaga dengan panahnya mengintai binatang buruan. Tetapi sial, tidak seekor binatang pun muncul. Hari pun sore. Si Lubdaka lapar, haus, dan kelelahan. Walau begitu, ia berfikir. “ tidak ada guna pulang tanpa hasil buruan”. Oleh karena itu, ia terus melanjutkan perburuan. Menjelang malam, tibalah ia di pinggir danau. Ia mamenĕk pang ing maja tĕhĕr manongi talaga “ naik pohon maja dan di cabang pohon itu ia siaga dengan panah memandangi tepian danau mengintip harapannya”. Pikirnya : “ mudah-mudahan ada binatang minum air”. Tetapi sekali lagi ia sial. Malam tiba, kegelapan hutan yang sunyi menakutkannya. Lubdaka mengantuk. Ia takut jatuh dan takut menjadi mangsa binatang buas. Maka ( Wirama Aswalalita, pupuh 5:5) :
Dadi wĕkasan mapet pangalimur harip mata sakeng takut makĕjĕpa,
pinipik ikang rwan ing maja nirartaran tinibakĕn ring wway adalem,
ri dalĕm ikang tataka hana teki rakwa Śiwalingga nora ginawe,
yata kahanan ikang sakala wilwaparna tumibā tanora minaha.
Artinya :
“ kemudian ia berusaha menghibur rasa kantuk dan saking takutnya ketiduran,
dipetiknyalah daun bilwa lalu dijatuhkannya ke air danau yang dalam,
Di dalam danau itu adalah Śiwalingga alami,
Tanpa disengaja Śiwalingga itulah yang ditimpa oleh daun-daun wilwa yang dijatuhkannya”.
Ketika fajar menyingsing, ia pulang dengan tangan kosong. Sore hari, menjelang petang ia tiba di pondoknya. Anak istrinya menyambut kedatangannya dengan rasa sedih dan haru. Istrinya menyuguhkan air dan sedikit nasi. Lalu, Si Lubdaka tidur kelelahan. Hari-hari berikutnya mereka lalui seperti biasa : berburu dan bersenang-senang, bersenda gurau dan lama kemudian, Si Lubdaka tua, sakit lalu mati. Kematiannya ditangisi. Mayatnya bhinasmi tĕlas ing gĕsĕng “dibakar gosong”.
Alkisah, Si Lubdaka Roh sedih melayang-layang di udara. Ia pangling, tidak tahu jalan ke alam baka. Hyang Śiwa mengetahui itu, maka Beliau mengutus para gana “abdinya” untuk menjemputnya. Sabdanya : hanang nisādātma sudhīra ring brata, ika papag denta wawan mare nghulun “ di sana ada Si Lubdaka Roh, orang yang teguh melaksanakan brata. Jemputlah ia, iring ke sini menghadap Aku”. Para gana tercengang dan bingung menerima perintah Bhatāra Śiwa. Mereka berfikir, bagaimana mungkin roh seorang pembunuh bisa masuk Śiwaloka. Maka mereka bertanya penasaran ( Wirama Wangsastha, pupuh 11:8-9) :
....,.....,
mapeki don Hyang mami kĕdwa mamaksakĕn,
tĕka nikang Lubdhakajīwa ghataka,
Apan sajīwanya sadāmati mrga,
samātra tapwan magawe tapabrata,
ndya tĕka donanya tĕkeng Śiwalaya,
kĕnohnya yan mungsira tambra gohmukha.
Artinya :
“......,.......,
Ya Tuhanku, apakah tujuan Anda menghadirkan Si Lubdaka Roh,
roh seorang pembunuh itu ke Śiwaloka.
Kok perintah ini sepertinya dipaksakan.
Padahal, selama hidupnya ia selalu berburu membunuh binatang.
Sama sekali tidak pernah melaksanakan tapabrata.
Lalu, apa manfaatnya ia di Śiwaloka.
Bukankah lebih baik ia dijebloskan ke kawah neraka?”

Untuk menghilangkan keragu-raguan para gana tersebut Śiwa bersabda (Wirama Śārdūlawikridita, pupuh 12:1) :
....,....,
hāh wwantĕn ta ya tang bratenulahakĕnya ndug sĕdĕngnyan dadi,
atyantādhika ning bratanya ta ya kājar de nikang rāt kabeh,
manggĕh ling nikang ādiśāstra Śiwarātripunya tan popama.

Artinya :
“....,...
Oh ya, ada brata yang ia laksanakan ketika masih hidup.
Sangat sempurna caranya melaksanakan brata, itu dipercakapkan oleh masyarakat.
Menurut kitab suci disebut brata Śiwarātri, brata yang penuh berkat,
tiada tanding keutamaannya”.
Demikianlah penjelasan Bhatara Siwa. Para gana puas, lalu berangkat menjemput roh Si Lubdaka dengan kendaraan kebesaran Siwa yang bernama Puspaka. Sementara di Yamaloka, Bhatara Yama, Sang Penegak dharma pun tahun betul siapa Si Lubdaka. Ia adalah pembunuh dan kini telah mati. Atas dasar itu, Beliau mengutus para kingkara”abdi Bhatara Yama”untuk menjemput Si Lubdaka Roh. Perintah-Nya (Wirama Aswalalita pupuh 14:4):
.....,.....
lumarisa mangkatangalapa Lubdhakatma wawanen ya ring Yamapada,
apusanan tan haris-harisen inggal-inggala phalanya dusta satata
Artinya :
“Jemputlah segera Si Lubdhaka Roh. Bawalah ia ke alam Yama. Ikat ia kuat-kuat, berangkatlah segera. Begitulah pahala orang yang selalu berbuat dosa”
Alkisah, Si Lubdhaka Roh kesakitan tak alang-kepalang. Ia diikat dan disiksa oleh prajurit Yama. Tidak beberapa lama datanglah prajurit Siwa. Si Lubdhaka Roh tak urung menjadi rebutan. Karena prajurit Siwa dan prajurit Yama sama kukuh menjalankan perintah tuannya. Akan tetapi, prajurit Siwa lebih digjaya. Prajurit Yama dipukul mundur. Si Lubdhaka Roh dinaikkan ke Puspaka dan diiring dengan perasaan suka ria ke Siwaloka.
Sesampainya di Siwaloka, Si Lubdhaka Roh disambut oleh Hyang Siwa dengan sabda manis membahagiakan (Wirama Ragakusuma, pupuh 29:2-5)
......,.........
Bhagyan prāpta bapangku sang Paramadharma suyaśa atisatya ring brata,
Ngke ngke tāparĕk i nghulun sipi girang mami bapan ri datĕngta ri nghulun.
Nahan donku angutus watĕk gana humundanga kita datĕngeng Śiwalaya, atyanta rĕnangkw denta mamangun brata paramapawitra tan sipi,
mangke pweki nihan tĕmunta phala ning gumaweyakĕn ikang bratādhika, sakweh ning ganasangghya tan hana liwat-liwata ri kita katwangan.
Lawān toh tariman tĕkapta panganugrahan mami ri kita ndatan salah, astwa-nĕmwa śarīra mukhya sahaneng Śiwapada saha ratnapuspaka, mukhyang astagunādi pada kasraha ri kita lawan trilocana.
Salwir ning warabhūsanārja maka bhūsana mami ya ta kawwate kita. Kantĕnanya tanora bheda ni hawakta lawan iki sarīra ni nghulun,
Sāsing ramya niking Śiwālaya kiteka wihikana mamuktya tan waneh,
Yawat panca mahādhibhūta salawasnyan inajarakĕn ing jagattraya, tāwat mangkana tekihĕn lawas ananta tumĕmu suka ring Śiwalaya.
Artinya :
“………
Selamat datang anak-Ku, berbahagialah, Ananda adalah pengamal dharma yang utama, penuh jasa, sangat teguh melaksanakan brata.
Mari-mari mendekatlah, Aku sangat bahagia menyambut kehadiranmu, Nah, beginilah maksud-Ku mengutus para gana menjemputmu untuk diajak datang ke Śiwaloka.
Hatiku sangat senang, oleh karena Ananda telah melaksanakan brata yang sangat utama yang penuh berkah itu.
Nah sekarang terimalah berkah-Ku, karena Ananda telah berhasil melaksanakan brata yang utama.
Semua prajurit-Ku, para gana itu tidak akan ada yang berani lancang melangkahimu. Kini, Ananda komandan yang patut mereka hormati.
Dan ini, terimalah anugrah-Ku, hanya kepadamu tidak ada yang lain.
Semoga engkau mendapatkan wujud mulia, segala yang mulia, juga kendaraan puspaka yang berlimpah mutumanikam, di Śiwaloka.
Juga yang sangat utama, yakni las_aguna: anima dan yang lainnya, begitu juga trilocana, semua itu Aku serahkan kepadamu.
Karena kenyataannya, tidak ada bedanya dirimu dengan ini di diriku. 
Segala yang indah yang ada di Śiwaloka engkaulah yang berhak menikmati, tiada yang lain.
Selama Pancamahābhuta dipelajari orang di jagat raya, selama itulah Ananda dapat menikmati rasa bahagia di Śiwalaya”  
Sementara di Yamaloka, prajurit kingkara melaporkan segala kisah derita yang barusan mereka alami kepada Bha_āra Yama. Si Lubdhaka Roh telah direbut paksa oleh para gana dan telah diiring dengan tanda kebesaran ke Śiwaloka. Mendengar itu Yama terhenyak heran dan marah. Dharmanya merasa dilecehkan. Yang melecehkan justru Bhatāra Śiwa, Sang Jungjungan yang telah memberinya wewenang sebagai penegak dharma. Katanya “Ada apa gerangan. Bagaimana mungkin ini terjadi. Ini melanggar dharma “hukum”. Ia yang berbuat baik masuk sorga. Sebaliknya, ia yang berbuat jahat pantas masuk neraka. Si Lubdhaka jelas pembunuh. Karena itu, ia adalah orang jahat dan karena itu pantas masuk neraka. Tetapi kok dimuliakan di Śiwaloka? Ini aneh, ini penyimpangan. Aku tidak puas. Aku belum bisa terima. Aku ingin tahu alasannya”. Maka, Bhatara Yama bergegas ke pucak Gunung Kailasa menghadap Bhatāra Śiwa.
Bhatara Yama, setelah tiba di hadapan Bhatara Śiwa  menghaturkan pujastuti. Śiwa tahu maksud kedatangan Yama. Oleh karena itu Bhātara Śiwa kembali menjelaskan mengapa Si Lubdhaka Roh mendapat pahala ke-Śiwa-an. Mendengar wejangan Śiwa, Yama puas lalu kembali ke alamnya.
Setelah kepergian Yama, Bhatāri Giriputri yang sedari tadi diam penuh perhatian mendengarkan sabda Bhatāra Śiwa, lalu bertanya : “Ya jungjungan-Ku, bagaimana cara melaksanakan brata Śiwaratri (Śiwarajani) yang penuh berkah itu?” Maka, Śiwa pun menjelaskannya dan Mpu Tanakung mencatat penjelasan itu dengan Wirama Jagatnatha (pupuh 37) dalam Kakawin Śiwaratrikalpa dalam 9 bait.  

2.2.  Makna Estetik - Religius Laku Hidup Si Lubdhaka
Mpu Tanakung berkata: “wruh ngwang nisphala ning mango jenek alanglang I kalangen ikang pasir wukir”. Terjemahan : Aku tahu, percuma saja menikmati keindahan, jika hanya melanglang buana lalu terpesona menikmati keindahan pemandangan pesisir-gunung. Dengan wacana itu, Mpu Tanakung boleh jadi ingin menyapa kita, para pembaca: “Percuma saja anda menikmati lapis-lapis kulitnya saja yang berupa wirama, jalan cerita, dan permainan bunyi atau kata-kata yang membangun kekawinku itu. Hikmah Siwaratri baru mungkin tersingkap manakala anda berhasil mengupas lapis-lapis tanda yang aku narasikan menjadi kisah Si Lubdhaka. Dan apabila anda ingin tahu kedalaman makna kisah ini, inilah manggala “syair kunci” berirama Ragakusuma “kembang rasa asmara” untuk membuka tabir tanda-tanda bermakna yang aku narasikan itu”. Mpu Tanakung lalu bersenandung:
Sang Hyang ning Hyang amurtti niskala sirati-kinenyep ing akabwatan lango,
sthulakara sira pratisthita haneng hrdaya kamala Madhya nityasa,
dhyana mwang stuti kutamantra japa mudra linekasaken ing samangkana,
nghing pinrih-prih i citta ni nghulun anugrahana tulusa digjayeng lango.
Artinya :
Dewatanya para dewa yang berwujud niskala, Beliaulah yang sesungguhnya selalu menjadi pusat renunganku dalam mencari pengalaman estetik-religius. Namun dalam wujud nyata, Beliau selalu aku muliakan di dalam padma hatiku. Untuk itu, (pada hari suci Siwaratri) aku melakukan dhyana, stuti, kutamantra, japa dan mudra. Dan yang menjadi tujuan citaku semogalah Beliau berkenan menganugrahi aku jaya dalam pengalaman estetik-religius.
Menurut Rasti, dkk (2004: 35 - 41), cerita Lubdhaka memiliki makna di dalamnya. Dalam bahasa Sanskerta lubdhaka berarti pemburu. Dikatakan bahwa semua manusia adalah pemburu. Ada yang berburu dharma, ada yang berburu artha, ada yang berburu kama. Secara umum pemburu diartikan sebagai orang yang selalu mengejar buruan, yaitu binatang (sattwa). Kata sattwa berasal dari kata ‘Sat’ yang artinya inti yang mulai atau hakekat, sedangkan ‘twa’ berarti sifat. Jadi kata sattwa berarti sifat inti atau hakekat. Dengan demikian, nama Lubdhaka melukiskan orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.
Mengenai hakekat hidup, apabila dikaji secara filosofis-religius, hidup mengandung makna kesempatan untuk berkarma, malah dalam kitab suci Reg  Weda disebutkan, “Tuhan hanya mau menolong orang yang mau menolong dirinya sendiri dan bekerja keras yang dilandasi oleh dharma”. Tujuan segala macam karma itu adalah pembebasan diri dari perputaran punarbhawa, sehingga bisa mencapai moksa. Dengan demikian tujuan hidup ini adalah agar tidak hidup lagi dalam artian bersatu dengan Sang Pencipta.
Dengan memakai tokoh seorang rakyat miskin yang selalu melakukan perbuatan membunuh (himsa karma), mengisyaratkan bahwa siapapun dapat bertobat. Semua orang pasti pernah berbuat salah. Kenyataan ini juga menyadarkan kita agar tidak putus asa, untuk kembali ke jalan dharma. pintu dharma selalu terbuka lebar bagi siapa saja yang sadar akan dosa-dosanya. Dalam kekawin Nitisastra disebutkan,”… tan hana satru manglewihaning ana geleng ri ati”. Artinya tidak ada musuh melebihi musuh yang menyelinap di dalam hati. Sedangkan dalam kekawin Ramayana disebutkan, “Ragadi musuh mapara ri hati ya tonggwania tan madoh ring awak.” Artinya raga (nafsu) adalah musuh utama, di hati tempatnya tidak jauh dari badan. Musuh-musuh dalam hati tersebut meliputi: nafsu (kama), kerakusan (lobha), kemarahan (krodha), kebingungan (moha), kemabukan (mada), dan irihati (matsarya). Keenam musuh tersebut disebut dengan Sad Ripu.
Watra (2007:13-14) yang menguraikan bahwa Nama Lubdhaka adalah nama kiasan mendekati arti kata pemburu (bahasa Sanskerta). Pemburu dilukiskan dengan binatang (sifat binatang yang sudah diruwat disebut Sattwa). Secara etimologis Sattwa berasal dari kata “Sat” (Roh Tunggal) yang identik dengan hakekat Brahman, kalau di bhuana alit disebut dengan atman. Sedangkan “twa” berarti sifat mendekati keburukan atau sering disebut “binatang” (perilaku seperti binatang), kalau di bhuana alit disebut Triguna (Sattwam, Rajas, Tamas). Disinilah manusia secara universal, tidak saja agama Hindu harus melakukan tindakan-tindakan preventif, yang disimbolkan “mejagra” semalam suntuk. Tetapi arti sesungguhnya secara universal hati-hati terhadap gejala buruk yang disebabkan oleh Alam, dan secara individu berhati-hatilah bisa selamat dengan pengaruh alam tersebut, dan jika dikaitkan dengan realitas manusia maka hati-hatilah menggunakan Tri Guna, agar bisa selamat selama menjalani hidup ini yaitu damai dan sejahtera sampai menjelang menyatu dengan-Nya.
Sedangkan Yasa dalam Atmaja, (2009: 50-59) menguraikan tentang makna dari cerita Lubdhaka dari perspektif yoga meliputi:
Tanda Kemungkinan Arti dan makna
Si Lubdhaka mondok di hutan, hidup sederhana bersama anak dan istrinya Prototipe orang mondok mengingatkan kita kepada sebuah pertapaan. Si Lubdhaka berarti seorang pertapa. Kebiasaan pertapa adalah hidup menyepi. Membiasakan diri hidup sederhana dengan mengasingkan diri ke tempat-tempat sepi dengan cara mondok di hutan atau pinggir pantai adalah laku hidup aparigraha.
Kebiasaan hidupnya adalah berburu binatang tepilih: mong “harimau” wek “babi hutan”, gaja”gajah”, dan warak “warak”. Memburu dalam arti berusaha mengendalikan atau melenyapkan sifat-sifat binatang yang ada dalam diri. Binatang adalah lambang dari sifat rajas,”egois, keakuan” dan tamas “malas, suka nikmat seksual, kepemilikan” yang menyebabkan orang berlumur dosa yang disebut Trimala: a. kasmala “melakukan perbuatan hina; membunuh, mencuri, dan berzina”, b. mada “mabuk karena merasa: cantik, kaya, pandai, bangsawan atau kedudukan, sakti, minum, dan berani”. dan c. moha “kebingungan karena kama (penuh nafsu)”, krodha (pemarah), mada (pemabuk), matsarya (iri hati). dan lobha (tamak) dan berusaha menaklukkan pancaklesa “binatang buas yang hidup dalam diri manusia” berusaha merupakan laku hidup tapah yakni usaha sungguh – sungguh ingin menaklukkan musuh yang paling buas yang ada dalam diri.
Suatu kali ia berangkat berburu pada catrudasing kapitu krsna Waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan dikatakan memiliki 16 kala “kekuatan duniawi”.  1+6 = 7 kemungkinan merupakan simbolik dari sapta timira, dan pada hari panglong hari ke 14 pro kemungkinan 1+4 = 5 merupakan panca indrya, terang ini bulan telah kehilangan 14 kala “daya pesona duniawinya”. Dan pada hari ini hanya tinggal 2 kala “kekuatan duniawi” lagi. Oleh karena itu, para guru suci penganut paham Siwa menganjurkan para peminat pengalaman spiritual untuk lebih meningkatkan usaha spiritualnya pada purwani Tilem. Karena pada hari dimaksud para pemburu pengalaman religius hanya perlu mengalahkan 2 kala “nafsu duniawi” lagi. Dua kala itu adalah kala yang palig kuat diantara 14 kala yang lainnya. Bila mampu mengalahkannya, maka diyakini rahmat Siwa akan turun berupa pencerahan rohani: memiliki pengetahuan spiritual dan berbahagia. Dua kala yang dimaksud adalah raga atau kama “nafsu birahi, keakuan” dan dwesa “kebencian, kepemilikan”
Pagi hari memakai pakaian hitam kebiru-biruan Pakaian khas kebesaran Majapahit. Pagi hari disebut brahma muhurta “hari Brahman”, waktu yang baik untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan. Dapat dibandingkan dengan kebiasaan pendeta di Bali yang melakukan upacara Nyurya sewana, memuja Bhatara Siwa raditya tepat ketika matahari baru terbit di ufuk timur.
Berjalan sendirian Mengikuti jalan yang disebut nirwrtti marga, jalan spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin. Karena berangkat sendirian berarti tidak ada teman bicara, berarti monabrata atau tidak bicara.
Siaga membawa panah Panah merupakan lambang pikiran, maka dapat dikatakan bahwa ini merupakan pemusatan pikiran, bekontemplasi
Ke arah timur laut Kiblat suci yang merupakan sandi dari kiblat Utara simbol ratri “malam, gelap, hitam” dengan kiblat Timur simbol Siwa atau Iswara “siang, terang, putih”. Boleh jadi juga simbol sandi antara paham sakti dengan paham siwa. Mengingat, Siwa-sakti: tantrisme yang kuat pengaruhnya di zaman jayanya Hindu di Jawa dan Bali. Dalam konteks ini pada zaman Majapahit.
Selama perjalanan ia menjumpai banyak tempat suci rusak dan tidak berpenghuni lagi Membayangkan situasi politik dan kehidupan religius di akhir zaman Majapahit.
Tidak seekor binatang buruan  pun yang didapatkan di hari itu Ego “sifat binatang” sang pertapa sudah tidak diketemukannya lagi di dalam dirinya. Artinya, sang pertapa telah berhasil mengalahkan keakuan dan rasa kepemilikannya
Tidak terasa, senjakala pun tiba “malam” Senja kala adalah hari sandi antara terang dengan gelap yang menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena itu pertapa harus lebih awas dengan meningkatkan kesadaran spiritualnya. Malam dalam rangka yoga menandakan gelap bhatin karena pengaruh panca klesa atau lima rintangan dalam pikiran yang menyebabkan kekhawatiran.
Naik pohon wilwa “bila, maja” yang tumbuh di pinggir danau. Di situ ia duduk di camping pohon itu dan bergadang. Untuk tidak dikuasai klesa Si Lubdhaka naik pohon Bilwa di campangnya duduk dengan nyaman. Begadang berarti meningkatkan kesadaran dengan jalan meditasi untuk memurnikan pikiran agar daya budi terungkap. Sadar berarti jagra. Pohon maja adalah lambang tulang punggung yang secara spiritual di dalamnya terdapat cakra-cakra (yang terkenal sapta cakra) “simpul-simpul spiritual yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan”. Duduk nyaman berarti sikap asana atau duduk di camping pohon boleh jadi melambangkan titik kosentrasi, yakni pada titik meditasi di tengah-tengah antara otak kiri dan otak kanan, yakni di otak tengah. Otak kiri berkaitan dengan rasio dengan cara berpikir linier, sedangkan otak kanan berkaitan dengan rasa dengan cara berpikir asosiatif. Sementara di otak  tengah atau pusat berkaitan dengan hal yang bersifat spiritual dengan cara berpikir transformatif, integratif, dan holistik (Sumardjo, 2007: 55-63), harmoni antara rasio dan rasa, bijaksana.
Naik pohon boleh jadi juga melambangkan bangkitnya daya sakti yang disebut Kundalini sang pertapa, yakni manakala ia telah berhasil melenyapkan rasa keakuan dan kepemilikan dari dalam dirinya. Naik dimaksud adalah naiknya daya sakti dari muladara cakra “simpul rohani yang berada di dalam tulang ekor” melalui cakra-cakra di atasnya menuju ke sahasra cakra “simpul rohani yang ada di atas ubun-ubun”.
Ranau “Danau” Yoni adalah lambang Sakti atau Dewi saktinya Siwa, lambang kesuburan
Di tengah danau itu ada Siwalingga “nora ginawe” Batu berdiri sendiri Lingga adalam lambang Siwa. Kata nora ginawe mengisyaratkan sifat alami atau abadi; Siva adalah realitas yang abadi. Tidak dibuat, karena segala yang dibuat sifatnya tidak abadi; lambang kesadaran. Siwalingga inilah yang menjadi pusat kosentrasi dalam proses dharana hingga samadhi.
Pinipik ikang rwani ing maja “memetik daun maja” sampai fajar menyingsing, semua daun maja jatuh mengenai Siwalingga, tidak dengan sengaja. Kata pinipik “dipetik” menyarankan makna memetik sari ajaran Siwa. Kata rwan atau ron atau don “berarti daun  dapat juga berarti tujuan” dirangkai dengan maja “daun maja (wilwa, atau bodi)” melambangkan kesadaran. Dengan demikian artinya sang pertapa selalu berusaha memetik sari ajaran untuk memperoleh kesadaran. Memetik satu persatu daun bilwa, artinya secara sistematis dari satu tataran ke tataran lainnya dalam melakukan yoga atau dapat diasosiasikan tahap asana hingga mencapai samadhi dengan bersatunya ibu kundalini dengan sahasrara cakra. Daun ini juga melambangkan berbagai jenis keinginan, itulah yang ia petik dari objek kesukaannya lalu dikosentrasikan ke danau. Daun di jatuhkan ke danau artinya Lubdhaka melakukan dhyana. Danau boleh jadi lambang hredaya “hati nurani” atau anahata cakra. Subjek yang bermeditasi ada di ajna cakra sedangkan objek meditasinya ada di anahata cakra. Tuhan yang berwaktulah yang ia stanakan dalam padma hatinya yaitu anahata cakra. Hingga daun itu mengena lingga, artinya Lubdhaka mengkontemplasikan pikiran dengan melakukan mudra, stuti dan japa. Dalam konteks inilah jagrabrata diberi makna, yakni olah kesadaran (budhi) dengan mempelajari Siwa tattwa (ajaran hakikat ketuhanan) sampai akhirnya ia mencapai pencerahan rohani. Oleh karena itu, tujuan olah budi (wilwa, maja) yang disarankan Mpu Tanakung haruslah dipusatkan atau dijatuhkan kepada Siwalingga. Artinya, hanya terpusat kepada Tuhan. Dengan demikian dapatlah akhirnya dipahami mengapa Mpu Tanakung mengatakan bahwa jagabrata (juga mona dan upawasa); mahaprabhawa nikanang brata pangalimur kadusta-kuhaka, satata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat “Sangat manjur kegunaan brata Siwaratri: upawasa-mona-jagabrata itu untuk meruwat sifat dusta dan keji; (a) tidak beramal sedekah, (b) tidak berbuat jasa, (c) tidak berbuat bajik, (d) tidak mengendalikan diri. Perilaku dusta dan keji itulah sesungguhnya kasmala “dosa” 
Cara meruat dosa itu adalah dengan melakukan: (a) dhyana “meditasi”, (b) melagukan stuti “syair-syair pujian” (c) merafal kutamantra “formula, mantra, mantra puncak”: (d) melakukan japa “mengucapkan nama Tuhan secara berulang menurut hitungan yang ditentukan; (e) melakukan mudra “gerak jari yang khas seperti yang dilakukan oleh para sulinggih ketika memuja, termasuk di dalamnya melakukan asana dan pranayama” (Zoedmulder, 1995). Dhyana “meditasi” mencapai samadhi “kemanunggalan, tidak diperoleh secara sengaja, tetapi spontan. Karena kata orang suci dalam keadaan itu rasio dan perasaan tidak berfungsi lagi. Hal ini dilakukan hingga fajar menyingsing, artinya Lubdhaka berhasil mencapai pencerahan spiritual, berkah hari suci Siwaratri, karena berhasil mengalahkan kala “waktu malam” : pancaklesa
Setelah fajar Lubdhaka turun dan pulang dan tiba di pondok sore hari menjelang petang (hari Tilem) Kembali dari perjalanan suci yang dilakukan selama dua hari satu malam: 36 jam. Dalam artian telah lampu dari kesunyian dan melakoni hidup sebagaimana biasanya.
Setibanya di pondok Si Lubdhaka baru makan Mengisyaratkan laku upawasa “puasa tidak makan dan tidak minum” selama 36 jam, yakni dari pagi hari pada hari ke 14 paro terang, dari purwani Tilem sampai besok senja kala hari ke 15, Tilem,
Si Lubdhaka tua, sakit lalu mati. kematiannya ditangisi Lubdhaka adalah orang yang dicintai. Dicintai karena ia orang baik, berjasa kepada keluarga dan warganya. Tanpa itu tidak mungkin ia ditangisi.
Si Lubdhaka Roh diikat dan disiksa oleh prajurit Yama; para Kingkara Bagaimanapun baik dan berjasanya orang sekali waktu tentu pernah berbuat dosa. Sesuai dengan hukum karma, setiap perbuatan pasti berpahala. Karma buruk menerima siksaan dan keterikatan.; neraka. Hal ini dapat dibandingkan dengan kisah Yudistira dalam Swargarohanika Parwa. Bagi yang sedikit dosanya terlebih dahulu mendapat siksa; neraka. Baru kemudian menikmati pahala baiknya; sorga.
Si Lubdhaka roh direbut pasukan Yama, lalu didudukkan dalam kendaraan Siwa yang bernama Puspaka dan diiring ke Siwaloka. Di sana ia mendapat berkah keSiwa-an; sama dengan Siwa Sebaliknya karma baik mendapat pahala masuk Siwaloka; mendapatkan rahmat penampakan Tuhan; mencapai moksa “kebebasan”. Dikatakan ada empat kebebasan:
1. Salokyamukthi, yakni bilamana orang dapat merasakan kehadiran Tuhan dimana pun ia berada
2. Lebih utama dari salokyamukthi adalah samipyamukthi, yakni manakala orang dapat merasakan bahwa segala sesuatu sebagai perwujudan kemuliaan Tuhan,
3. Sarupyamukthi, yakni hidup dalam kehadiran Tuhan yang tiada putusnya, selalu menyaksikan kemuliaan Tuhan dan diliputi oleh kesadaraan Tuhan dimana pun ia berada
4. Sayujnamukthi disebut juga ekanthamukthi adalah kesadaran tertinggi, yakni hanya bila rasa perbedaan lenyap, keadaan manunggal tercapai. Dikatakan bahwa tingkat kesadaran ini hanya dapat dicapai dengan rahmat Tuhan (Narayana dalam Kasturi, tt: 62). Lubdhaka mendapat anugrah ini, mengingat sabda Bhatara Siwa: “tanora bheda ni hawakta lawan iki sarira ni nghulun” “tiada bedanya dirimu dengan diri-Ku ini”.

2.3 Siwa & Maya Tattwa : Paham Ketuhanan dan Yoga Mpu Tanakung
Kakawin siwaratri mengandung dua persoalan hidup yang bersifat paradoks. Masalah paradoks yang dimaksud adalah pasangan beroposisi antara siwa dengan ratri, secara teologis siwaistis disebut Bhatara Siwa personifikasi azas Siwa tattwa dengan Bhatara Uma personifikasi azas maya tattwa atau sering juga disebut sebagai Siwa-sakti (Yasa, dkk, 2008 :30-31). Kata Siwa, berasal dari bahasa sanskerta yang berarti baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. Dalam hal ini siwa adalah sebuah gelar atau nama kehormatan untuk salah satu menifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bergelar Sang Siwa. Dalam fungsi beliau sebagai pemralina atau pelebur segala yang patut dilebur (ke-papaan) atau diprelina untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan yang bahagia. Ratri artinya malam, malam disini dimaksudkan kegelapan. Jadi siwaratri artinya malam untuk melebur atau memralina (meleyapkan) kegelapan hati menuju jalan yang terang (Sudharta, 1992 :6). Dalam masalah paradoks atau oposisi biner atau rwabhineda adalah hidup seorang manusia. Manusia dikatakan terlahir setengah dewa setengah bhuta. Siwa menandakan idealis yang niskala, sementara sakti menandakan yang realis yang sakala.
Dalam pokok narasi menggala “kepala syair” kakawin Siwalatrikalpa, 
Sang hyang ning hyang amurti niskala sirati-kinenyep ing akabwatan lango
Sthulakara sira pratisthita haneng hrdaya kamala nityasa
Dhyana mwang stuti kutamantra japa mudra linekasaken ing samangkana
Nghing pinrih-prih i citta ni nghulun anugrahana tulusa digjayeng lango
Artinya :
Dewatanya para dewa yag berwujud niskala, Beliaulah yang sesungguhnya selalu menjadi pusat renunangku dalam mencari pengalaman estetik- religius.
Namun dalam wujud nyata, Beliau selalu aku muliakan di dalam padma hatiku
Untuk itu, (pada hari suci siwaratri) aku melakukan dhyana, stuti, kutamantra, japa, dan mudra. Dan yang menjadi tujuan citaku semogalah Beliau berkenan menganugrahi aku jaya dalam pengalaman estetik-religius.
Mpu Tanakung bermaksud menghimbau kita agar gemar berburu sattwa. Kata sattwa berarti mahkluk hidup atau binatang dapat juga berarti sifat murni atau kebaikan (Zoetmulder, 1995 :1056). Arti kedualah yang yang lebih dipacu untuk diburu, yakni berburu kebajikan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan digjayeng lango kejayaan hidup :”hidup bahagia”. Pengalaman hidup bahagia adalah pengalaman estetik yakni indahnya akrab dengan lingkungan hidup. Pengalaman estetik selain sebagai tujuan juga sebagai sarana untuk muktang klesa ”melebur papa, dosa”. Dengan leburnya papa berarti dapat muliheng nirasraya “mencapai pengalaman religius, kembali ke alam kelepasan” (Yasa, dkk, 2008:35).
Mpu Tanakung disebut laku Yoga sastra dalam usahanya menciptakan Tuhan yang tak berwujud ke Tuhan yang berwujud. Kenapa demikian ? karena bagaimanapun juga, terefleksi bahwa pikiran manusia cendrung terikat oleh namarupa “nama dan bentuk”. Wujud yang paling mengikat manusia adalah badan jasmani, diri kita sendiri. Oleh karena itu Mpu Tanakung memilih wujud untuk dipakai umpan memancing pikiran. Tujuannya agar pikiran mudah dikonsentrasikan, ditarik dan dikontemplasikan. Akan tetapi kini wujud sebagai umpan memancing bukan duniawi tetapi wujud Ilahi. Ia yang transenden dimaksud adalah tujuan terutama yang sesungguhnya diburu oleh Mpu Tanakung melalui yoga sastra “kontemplasi melalui sarana dan jalan seni bahasa. Yang dimaksud mencapai tujuan adalah menemukan-menghayati dan mengalami ke-siwa-an “kebenaran-kebajikan-keindahan”. Akan tetapi , Mpu Tanakung menyadari betul bahwa Ia yang transenden ini tan kagrahita dening manah mwang indriya “tidak dapat dipikirkan dan dirasakan”. Sehingga hal itu sangat sulit dicapai. Syarat pencapaiannya adalah diam total dalam yoga samadhi “kemanunggalan”. Diam total berarti tidak bergerak, tidak berpikir, dan sekaligus tidak dirasakan. Keadaan diam yang dalam hal ini adalah keadaan yang paradoks dengan kemanusiannya manusia (Yasa, dkk, 2008:36). 
Sekali lagi, kemanusian Mpu Tanakung yang kreatif itulah yang menjadi alasan mengapa ia lebih memilih menghadirkan Tuhannya turun ke tataran manusia dengan sifat – sifat-Nya, yang manusia dewa, yakni dalam wujud-Nya yang sekala-niskala “nyata-rohani”,; berpribadi dan praktis. Stulakara sira prathistita haneng hrdaya kamala madhya nityasa “namun dalam rangka cipta sastra, wujud-Nya yang berpribadilah yang aku pilih. Aku muliakan Ia sebagai Tuhan yang bertahta di hati sanubariku yang bagaikan kembang padma ini. Proses Tuhan turun ke tataran manusia inilah disebut tantris. Proses sakral yang dinarasikan dalam kakawinnya ditandai dengan pembayangan konsep sandhi “pertemuan” kiblat, yakni membayangkan pergeseran kiblat timur bergeser ke Utara dan kiblat Utara bergeser ke timur. Pada satu titik tengah yaitu antara timur dengan utara terjadilah perkawinan kosmis. Perkawinan ini disebut lila “permainan” Tuhan yang membuahkan segala yang menjadi (Yasa, dkk, 2008:37).
Tuhan yang sagunalah yang dimohon oleh Mpu Tanakung untuk hadir. Keberhasilan menghadirkan Tuhan dalam hati sanubari berarti berhasil mendapatkan taksu. Taksu sebagai hasil yoga sastra adalah daya pengalaman estetik-religius “digjayeng lango”. Laku yoga sastra oleh Mpu Tanakung adalah laku seorang bakta”abdi yang tulus” yang suka mewirama-kan kakawin cetusan nuraninya. Tokoh yang dihadirkan oleh Mpu Tanakung adalah tokoh inkonvensional yakni tokoh jelata, seorang pemburu dari suku terasing dan miskin diberi nama lubdhaka. Puncak senandung sujud baktinya dapat kita nikmati kembali dalam narasi cerita Si Lubdahka. Disitu terdapat dua syair Raga Kusuma (pupuh 33) :
Om sembah ning anasraye carana pengkaja bhuwanapatiki tinghali,
Wahyawahya panembahi ngwang i kiteka satata kinabhaktyam i ghulun,
Byaktabyakta kiteng sarat kita hurip ning ahurip agawe halahayu,
Sang manggeh pinakesti ning mahaling manah anilaraken dasendriya.
Ring diksadi nirwty atita pinakartanika kita wisesa tan kalen,
Yan ring weda kitawak ing pranawa mantra taya lewiha len saka kita,
Murtyamurti kitatisuksma saka ring tanu kita maganal sakeng angong
Munggw ing sthawara janggamadi kita kewala paran angungsi sunyata.
Artinya :
Om, sembah hamba yang tiada berpelindung ini pada kaki padma-Mu Hyang Bhuwanapati, saksikanlah
Lahir-batin sujud bhakti hamba kepada-Mu
Engkaulah satu-satunya Tuhan yang selalu hamba puja
Engkau nyata-tidak nyata di dunia ini.
Engkau jiwa dari yang hidup
Engkaulah pencipta baik-buruk
Engkaulah yang langgeng menjadi pusat renungan, yang menyucikan pikiran, yang meleyapkan sepuluh nafsu.
Dalam diksa dan yang lainnya, dalam nirwrti, dari awal sampai akhir,
Engkaulah penguasa tiada lain
Dalam weda engkau berwujud pranawa mantra, tidak ada yang lebih utama dari-Mu, Tuhanku.
Engkau berwujud tak berwujud, engkau sangat sukma, engkau jiwa dalam badan
Engkau lebih besar dari yang besar
Engkau ada pada tumbuh-tumbuhan, binatang dan yang lainnya
Engkaulah yang menjadi tujuan orang yang mencari sunyata 
(Yasa, dkk, 2008:40).
Dalam cerita Si Lubdhaka, dua syair tersebut adalah pujastusti Bhatara Yama kepada Bhatara Siwa. Dalam dua syair tersebut tampak terangkum pandangan dunia dan orientasi estetik-spiritual sang penyair yang berusaha menghadirkan Tuhan dari tataran wasistadvaita ke tataran Tuhan dwaita. Agar berkenan hadir berstana dalam hati sanubari, mewahyukan diri-Nya ke luar dari badan sang pujangga. Sehingga dengan demikian, Ia dapat menikmati sebagai sebuah drama hidup laku (kaula-gusti) (Yasa, dkk, 2008:41).
Sang Hyang Bhuwanapati “sang penguasa jagat, yang mahasuci” yang dipuja Mpu Tanakung. Ia tiada lain adalah yang keberadaannya (2) byaktabyakta “nyata-tidak nyata”. Di dunia ini Ia adalah hurip ing ahurip “jiwa dari yang hidup” (4) yang agawe halahayu membuat “baik-buruk”. Sang manggeh “yang langgeng”. Yang pinakesti ning mahalilang manah “menyucikan pikiran”. (6) yang ani laraken dasendrya “menghilangkan sepuluh nafsu duniawi”. Bagi penganut diksadi yang juga disebut prawrti marga “penganut agama yang lebih mementingkan ritual dan penganut nirwrti marga “penganut agama yang lebih mengutamakan tatwa, jnana yoga pengetahuan spiritual dan laku mistik”. Ia adalah wisesa “tuhan yang mahakuasa”; (8) inti weda “pengetahuan suci” yaitu Om, yakni pranawa mantra “mantra yang paling utama”. Keberadaan-Nya murtyamurti “berwujud tak berwujud”, antisuksma “sangat halus” dan saka ring tanu “tiang peyangga dalam badan”, yang ada pada sthwara janggamadi “tumbuh – tumbuhan, binatang dan mahkluk lain”. Sehingga paran ing angungsi sunyata “dituju oleh orang yang memburu kesunyatan, kelepasan”, demikianlah rasa ni de niranujaraken stawa ri suku Bhatara Sangkara “rasa yang dilagukan oleh Bhatara Yama sebagai gita-puja yang dipersembahkan pada kaki padma Bhatara Sangkara (Siwa) (Yasa, dkk, 2008:43-44).
Dihadapan Tuhan Ia adalah abdi yang anasraya “merasa tak berpelindung”, maka asraya  “mohon belas kasihan” dengan cara memuja yang etis di carana pangkaja bhuwanapati “kaki padma Sang Hyang penguasa semesta”. Sembahnya adalah bakti tulus wahyawahya “lahir-batin”. Disitu, dalam syair dilukiskan dua pribadi : (1) pribadi kecil yang memuja: Bhatara Yama (Mpu Tanakung yang merasakan dirinya kecil dan tak berarti di hadapan Tuhan) (2) pribadi agung: Sang Bhuwanapati atau Bhatara Siwa, dihayati esa, purna dalam keagungan-Nya (Yasa, dkk, 2008: 41).
Ya Tuhan aku ini abdi-Mu, hal ini terus diucapkan, Tuhan dihayati Maha hadir di hatinya. Kapanpun Ia pergi, dimanapun ia berada, ketika apapun yang ia lakukan. Itulah keyakinan yang praktis bagi Mpu Tanakung. Praktis, karena tidak menyebabkan dirinya pangling. Oleh karena itu, ia dapat diam kontemplatif. Diam dalam kondisi yoga seperti yang disarankan oleh baris ketiga bait manggala. Tuhan tidak lagi dihayati berada diluar dirinya. Tuhan tidak lagi beranjak dalam dirinya tetapi kini, Tuhan telah menyatu dalam dirinya, dan disitu selalu dirasakan nyata hadir. Hadir dalam hatinya (Yasa, dkk, 2008:42)
Menjadi seorang bakta atau menjadi sang kawi-wiku yang tulus sangatlah sulit. Perintang utamanya adalah diri sendiri yang khilap dan silau oleh pesona duniawi. Hilap karena tidak tahu, bahwa Sang Ego adalah siluman yang menyelinap bertahta dalam hati, lalu kita serta merta mendewakannya. Inilah penghalang utama bernama Sang Ego adalah mehkluk jejadian. Ia adalah penjelmaan enam emosi yang disebut sadwarga, kama, krodha, lobha, mada,moha dan irsya.  Inilah musuh yang paling berbahaya, yang ada dalam diri manusia. Ini juga tantangan terbesar manusia untuk akhirnya dapat menyatu dengan Sang pencipta. Sang Ego yang dimanjakan menjadi raja dalam diri, yang akan menjerumuskan orang dalam dosa, papa (Yasa, dkk, 2008:48-49).
Mpu Tanakung memandang Sang Ego sebagai musuh diri, sebagai mahkluk yang bersifat binatang. Oleh karena itu, Sang Ego dilukiskan dalam sastranya sebagai binatang. Tidak sembarang binatang, tetapi binatang buas, besar, binatang berbisa. Ia yang tidak jagra ”waspada” akan keberadaannya tentu akan menjadi korban keganasannya (Yasa, dkk, 2008:49).
Kini jelaslah makna pesan orang bijak Mpu Tanakung, pun orang bijak lainnya. Bahwa derita yang kini kita alami adalah suatu ambisi kita yang berlebihan, beragam yang menyebabkan manusia pangling, atau bingung. Sehingga seakan – akan manusia lahir hanya untuk menjadi abdi setia Sang Ego. Kenyataan hidup inilah yang Mpu Tanakung katakan sebagai orang yang berada dalam keadaan ratri “kegelapan” atau manusia tidak berkesadaran. Oleh sebab itu manusia harus berusaha keras untuk membalik kesadaran atau usaha penyangkalan diri yang disebut tapabrata. Menyangkal Sang Ego sebagai raja semu dalam diri, mengapa? Karena ia bukanlah raja yang sesungguhnya (Yasa, dkk, 2008:53).
Kata Mpu Tanakung (Siwaratrikalpa, 37:1,5), ada tiga brata penting yang patut dijadikan landasan utama bila kita bercita-cita untuk melenyapkan bhranta “kebingungan pikiran”, menghapus papa “dosa” dan muliheng nirasraya “mencapai hidup bahagia”. Mengapa Tapabrata ? karena tapabrata “usaha terkendali secara sistemik” adalah landasan yoga yang menjamin para pemburu hidup berhasil mendapatkan pengalaman estetik-religius. Tiga brata utama dimaksud adalah monabrata, upawasa, jagrabrata. Lalu apa yang menjadi alasan rinci mengapa tiga brata sangat penting dijadikan sarana mencapai siwa? Jawaban dan pemahamannya baru akan ditempuh melalui pengupasan maya tattwa. Karena mayalah yang menyelubungi kesadaran Yang Sejati. Sehingga untuk menemukan Sang jati Diri, maya yang menyelubungi itulah yang terlebih dahulu harus kita sikap. Dalam Bhagavadgita 7. 25 Sri Krsna bersabda :
naham prakasah sarvasyo, oga-maya-samavrtah
mudho yam nabhijanati, loko mam ajam avyayam
artinya :
terselubung oleh yogamaya-Ku, aku takkan kelihatan oleh semuanya.
Dunia terkecoh oleh maya-Ku. Karena itu mereka tak mengetahui aku yang tak terlahirkan dan kekal abadi.
Maya juga disebut prakrti yang difungsikan sebagai sarana-Nya untuk berkreatifitas. Sri Krsna bersabda (Bhagavadgita 9.8) :
Prakirtim svaam avastabhya, visrjami punah-punah,
Bhuta-gramam imam krtsnam, avsasam prakrter vasat
Artinya,
Dengan mengkreativitaskan prakerti-Ku, Aku menciptakan mahkluk berulang kali, dan mahkluk menjadi tanpa daya oleh kekuatan pakerti- Ku
Hakikat maya tattwa adalah segala yang berwujud  sahan-hana ning bhawa siluman “ini sesungguhnya bersifat siluman”, bersifat relatif, ilusi dapat mengambil berbagai wujud sesuai kehendak (lila) pemiliknya yaitu Tuhan. keberadaan maya inilah disebut dengan ratri. Ia yang tidak menyadari ratri ini dipastikan hidupnya terikat trsneng wisaya “nafsu, terikat lekat mati pada nikmat wujud sensual duniawi. Dalam konteks siwaratri artinya, ia jatuh : sengsara, menangis sedih, hatinya gelap bagai pekat gelapnya malam pada hari ke 14 pada gelap sasih ke 7. Ratri inilah yang menyelimuti kesadaran atau Siwa (Yasa, dkk, 2008 : 58).
Dalam Prasna Upanisad seperti yang telah ditulis oleh Rohit Mehta dalam bukunya Mencari Tuhan Dalam Diri. Maya atau ratri ini berbentuk badan. Badan yang meyelimuti kesadaran ada lima lapis. Lima lapisan badan ini pancamaya kosa (1) annamaya kosa “ badan kasar”, (2) pranamaya kosa “ badan nafas” (3) manomaya kosa “badan pikiran” (4) wijnanamaya kosa “ badan intlegensi atau budhi” dan (5) anandamaya kosa “ badan kebahagiaan atau rasa”. Pendakian spiritual adalah usaha yang sistemik untuk menyucikan atau meruwat maya atau ratri dengan olah rasa dan olah budhi yang dicetuskan dengan mulat sarira (Yasa, dkk, 2008 : 58).
Badan dalam aspeknya yang tiga disebut tri sarira: (1) sthula sarira yakni badan yang dibangun dari anna “sari – sari makanan dan minuman”. Badan ini lebih bersifat tamas “lembam” (2) suksma sarira yakni badan  halus yang berupa prana “daya hidup” dan manah “pikiran”. Badan ini bersifat rajas “aktif”. (3) antahkarana sarira yakni badan astral atau badan dewa kita yang berupa wijnana “intlegensi” dan ananda “kebahagiaan”. Badan ini bersifat satwam “terang” (Yasa, dkk, 2008 : 58-59).
Secara spiritual badan yang telah disucikan atau diruwat dari maya atau ratri, seperti halnya pura layak disebut dengan meru sarira. Menyucikan badan berusaha mengecilkan pengaruh rajas, tamas dengan jalan memupuk satwam. Artinya berusaha amuter tutur “membalik kesadaran” yakni dari berkesadaran badan (rajas, tamas)  menjadikan berkesadaran jiwa (satwam). Badan itu bisa disebut meru sarira apabila telah berhasil menyucikan badan kasar dan badan halus (Yasa, dkk, 2008 : 59). Penyangkalan diri semacam itulah sang guru sastra-spiritual yang bernama Mpu Tanakung mau bersusah payah menggubah kakawin dengan mengisahkan laku hidup Si Lubdhaka. Artinya, dengan metode bercerita, para peminat hidup bahagia diajar atau dihimbau untuk tekun berjuang memburu binatang yang disebut Sang Ego. Kita dihimbau agar memperhatikan makna ketekunan Si Lubdhaka mengawasi kehadiran binatang buruan (Yasa, dkk, 2008:54).
Penyucian atau ruwatan pertama itu adalah badan kasar. Secara spiritual ada tiga cara meruwat badan kasar ini (1) upawasa “pantang makanan sembarangan” atau puasa dalam kurun waktu tertentu. Secara biologis hal ini untuk menjaga kesehatan organ percernaan dengan mengistirahatkan sementara. Dalam artian lain, hanya memakam makanan yang sattwika, yakni makanan yang memberikan sehat lahir batin. Karena makanan yang sattwika ini akan mempengaruhi badan prana dan badan manah yang memberikan output pada perilaku yang baik, dalam terminologi hindu perilaku ini disebut kayika parisuddha. Makanan sattwika diperoleh dari cara memperoleh, mengolah, menyajikan hingga menelan dengan cara yang baik dan benar. (2) melakukan asana “olahraga hindu yaitu dengan melatih hatha yoga dan surya namaskara dan (3) sauca mandi atau tirtayatra “mandi suci” (Yasa, dkk, 2008 :62). Kalau dikaitkan dengan astanggayoga Patanjali proses penyucian badan kasar ini masih dalam tataran yama, nyama dan asana. Yama pengendalian diri yang ditekankan  dalam diri. Nyama pengendalian yang ditekankan lebih di luar diri sebagai pengkukuhan yama. Asana adalah latihan fisik untuk selajutnya masuk ke tataran meditasi. Pernyataan ini terdapat dalam  yoga marga rahayu halaman 25 dan Yoga Kundalini.
Penyucian atau ruwatan kedua yakni permurnian badan yang lebih halus disebut pranamaya kosa. Caranya adalah dengan cara olah pranayama “olah nafas yang sistemik dalam yoga”. Nafas ini berkaitan dengan bunyi. Bunyi dalam terminologi Hindu disebut wak atau wacika. Agar wacika parisuddha kita haruslah melatih daya bicara dengan monabrata “puasa , pantang mengucapkan kata – kata kotor, berkata fitnah, mengendalikan wicara hanya mengucapakan kata – kata sanwacana “yakni kata – kata yang menyebabkan orang lain bahagia” (Yasa, dkk, 2008 : 62-63).
Langkah ruwatan yang ketiga adalah pemurnian suksma sarira “ badan halus yang bersifat pikiran. Pikiran merupakan akumulasi emosi dan keinginan. Karena keberadaan pikiran ibarat monyet “tidak bisa diam”. Pikiran yang tidak terkendali dan tidak fokus sama halnya dengan energi yang terbuang percuma. Pikiran disebut sebagai raja dari sepuluh indriya kita yang disebut sebagai dasendriya. Sehingga pikiranlah yang harus dijinakkan yang nantinya setelah jinak mampu memandu sepuluh indrya yang lainnya dengan jinak pula. Agar mata tidak jelalatan melihat rupa kesukaan, telinga tidak jelalatan mendengar suara kesukaan, hidung tidak mendengus-dengus menciumi bau kesukaan, lidah tidak menjilat – jilat rasa yang nikmat dam kulit tidak ketagihan meyentuh atau meraba objek kesukaan. Maharsi Patanjali merumuskan ajaran yoganya yoga’s wrtti nirodah “yoga adalah usaha sistematis untuk mengendalikan dan mendiamkan gerak-gerik pikiran (Yasa, dkk, 2008 : 63-64).
Tujuan Mpu Tanakung melakukan yoga adalah agar ia selalu jagra atau dapat mahalilang manah “berpikiran jernih” atau disebut juga manacika parisuddha. Secara lebih teknis jagrabrata dilakukan dengan mulat sarira “melihat diri” dengan melakukan meditasi  :
1. Pratyahara, menarik atau melepaskan indrya – indrya dari objeknya
2. Dharana, lalu mengikat atau mendiamkan sekejap pada pusatnya di otak
3. Dhyana, kemudian difokuskan, dikontemplasikan pada objek maditasi “perwujudan Tuhan, sinar atau yang lainnya yang dipandang religius (Yasa, dkk, 2008 : 65).
 Hanya dengan murni-sucinya trikaya inilah badan antahkarana sarira yang bagai matahari itu tampak. Badan astral ini berwujud jyotir “sinar” disebut juga surya jnana “sinar pengetahuan” yakni badan dewa yang terdiri dari dua lapisan yaitu badan wijnanamayakosa dan anandamaya kosa. Badan kembar inilah dalam sastra suci Hindu dilukiskan sebagai padma hrdaya “teratai hati” (Yasa, dkk, 2008 : 65).
Atas dasar itulah, dapat dipahami mengapa Mpu Tanakung mengatakang brata siwaratri : upawasa, monabrata dan jagrabrata sebagai brata paramapawitra “brata yang sangat utama”. Dengan kata lain, manakala trikaya telah suci, ketika ituah terjadi pencerahan, jati dirinya tersingkap menjadi pengalaman sejati dan kebahagiaan.
Rahasia dalam kisah Lubdaka telah terungkap melalui sabda Mpu Tanakung “Brata Siwaratri adalah brata paramapawitra”. Brata yang utama ada tiga yaitu : upawasa, monabrata dan jagrabrata. Pertama upawasa adalah puasa dalam kurun waktu tertentu untuk mengistirahatkan organ percernaan, dan pantang dengan makanan sembarangan, makan makanan yang sattwika yaitu makanan yang menyebabkan sehat lahir batin. Badan yang kesehatannya terjaga disebut kayika parisuddha. Kedua, monabrata adalah puasa tidak berbicara, pantang mengucapkan kata – kata yang kotor, kasar,  mengendalikan wicara yang hanya mengucapkan kata penuh makna yang membuat orang lain dan diri kita bahagia. Inilah wacika parisuddha.  Ketiga, jagrabrata adalah puasa melek, senantiasa menjadikan diri sadar. Jagra intinya berpikiran yang jernih dan suci. Inilah yang disebut manacika parisuddha. Jadi, brata Siwaratri adalah tri Kayaparisuddha, sehingga terjadi pencerahan terhadap sang jiva dan kebenaran serta pengetahuan sejati terungkap yang menjadikan kebahagiaan (Yasa, dkk, 2008 : 94).
Dapat ditelaah maksud Mpu Tanakung lewat karya sastranya adalah mengapai Tuhan melalui jalan Brata Siwaratri dengan jalan upawasa, monabrata dan jagrabrata yang disamakan dengan Tri Kayaparisuddha. Seperti halnya juga tujuan ini terdapat dalam yoga yaitu untuk memperluas kesadaran sampai mencapai taraf kesadaran kosmik (kesadaran Tuhan). Untuk itu diperlukan berbagai upaya, upaya kasih, upaya pikiran, upaya kata – kata dan upaya perbuatan. Sebagai aliran yoga menghendaki agar muridnya mengembang kasih yang agung (universal) (Kamajaya, 1998: 73). Inilah menjadi alasan mengapa yoga itu dilakukan sehari – hari, bahwa segala kegiatan hidup itu adalah yoga. Namun perlu digarisbawahi orang dikatakan telah melakukan yoga dalam perspektif brata siwaratri apabila telah melaksanakan tri kayaparisuddha yang suci.
Secara epistemologis, yoga itulah jalan kuno yang kembali ditawarkan Mpu Tanakung sebagai jalan efektif untuk muktang klesa “meruwat ego”. Jalan kuno yang dimaksud, boleh jadi jalan atas pengalamannya sendiri. Karena, orang suci pantang omong kosong. Katanya dhyana mwang stuti kutamantra japa mudra linekasaken ing samangkana “dalam usahaku untuk mendapatkan pengalaman estetik-religius, aku melakoni yoga (1) dhyana “meditasi” ; (2) stuti “mengkidungkan gitapuja; (3) kuta mantra “mengucapkan mantra utama” ; (4) japa “ mengulang-ulang nama Tuhan”; (5) mudra “melakukan olah raga atau tari spiritual” (Yasa, dkk, 2008:55).
Dikisahkan Si Lubdhaka mengabdikan diri untuk terus menerus menjadi penyelidik, lalu membidik dan menghujam binatang buruan dengan panah. Panahnya ternyata adalah panah dhyana, yakni daya kosentrasi yang tajam. Hingga suatu hari tidak ditemukan lagi binatang buruan di hutan. Hutan yang belantara yang ada dalam dirinya. Sang Ego lenyap dalam api kesadaran, dan tumbuhlah daya spiritual yang ditandakan dengan Lubdhaka naik pohon bila dan duduk awas dicabangnya. Artinya, Si Lubdhaka berhasil duduk yoga mengharmonikan budi dengan rasa hati. Ketika itu lingga pun dilihatnya dan dijadikan pusat konsentrasi (Yasa, dkk, 2008:54).
Secara aksiologis, ada tiga wacana yang menjadi yang tampak dalam karyanya Mpu Tanakung Siwaratrikalpa: (1) akabwatan lango “berusaha mendapat pengalaman estetik” (2) muktang klesa “ruwat dari dosa” (3) muliheng nirasarya “ kembali pulang ke asal, mencapai kelepasan atau mencapai pengalaman religius”. Tujuan pertama dijadikan jalan atau sarana untuk mencapai tujuan kedua, yakni untuk menghibur diri karena ringrang i manahnya lot kasih harep “gelisah mencari pelipur hati yang bingung dipanglingkan oleh pikiran yang memelas banyak harap”. Itulah ke-papaan yang ingin Mpu Tanakung  ruwat melalui yoga sastra, dengan ruwatan dosanya berarti mendapat bekal untuk mencapai kelepasan. Katanya : muktyang klesa silunglunganya muliheng nirasraya juga “ harapanku, mudah – mudahan dengan merangkai kata menjadi syair Siwaratri itu aku dapat bebas dari penderitaan” (Yasa, dkk, 2008:55).

2.4  Refleksi Makna Kisah Siwalatri Dalam Kehidupan Masa Kini
Dapat ditelaah maksud Mpu Tanakung lewat karya sastranya adalah mengapai Tuhan melalui jalan Brata Siwaratri dengan jalan upawasa, monabrata dan jagrabrata yang disamakan dengan tri kayaparisuddha, sehingga terjadi pencerahan terhadap sang jiwa dan kebenaran serta pengetahuan sejati terungkap yang menjadikan kebahagiaan. Seperti halnya juga tujuan ini terdapat dalam yoga yaitu untuk memperluas kesadaran sampai mencapai taraf kesadaran kosmik (kesadaran Tuhan). Untuk itu diperlukan berbagai upaya, upaya kasih, upaya pikiran, upaya kata – kata dan upaya perbuatan. Sebagai aliran yoga menghendaki agar muridnya mengembang kasih yang agung (universal) (Kamajaya, 1998: 73).  
Kegelapan yang sering disebut dengan papa. Papa dalam bahasa sanskerta artinya sengsara, neraka, buruk, jahat, dan hina. Untuk meleyapkan ke-papaan dilakukan dengan cara brata siwaratri. Manusia dilahirkan dengan berbadan bhuta kala. Untuk menyucikan manusia dari badan bhuta kala, manusia diajarkan untuk melakukan upacara – upacara penyucian dari bayi dalam kandungan hingga upacara perkawinan. Perlu diingat upacara ini hanya sebagai lambang yang bernilai sakral, yang berfungsi untuk menyucikan manusia dari segala kotoran batin (Sudharta, 1992 :7). Berkenaan dengan itu, tulisan ini juga ditkemukakan berdasarkan pertimbangan berikut. Perbuatan bukanlah kebaikan, apabila makna (kebaikan) teks (Brata Siwaratri) dibiarkan berhenti pada terminal normatif, tanpa membawanya ke wilayah aplikatif, kedalam dunia fenomena (manusia). Artinya kebaikan itu lebih sebagai bukti daripada menjadi saksi. Perbuatan bukanlah kebaikan, jikalau manusia hanya baik dalam pikiran dan tidak dalam  tindakan. Swami Rama menegaskan bahwa “brata siwaratri meminta pelaksanaan perbuatan daripada meyimpannya menjadi pengetahuan hapalan yang hanya eksis dalam pikiran dan ucapan. Inilah semangat utama yang mengalirkan tulisan ini hendak memasuki wilayah – wilayah dunia praksis kehidupan. Kehidupan kekinian yang disini selalu merefleksikan pada dua dunia: masa lalu dan masa depan” (Yasa, dkk, 2008 :103).
Masyarakat dikatakan sebagai sebuah organisme mengalami perkembangan dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang kompleks. Perubahan menurut Rostow lima evolusi (the five stage scheme) masyarakat tradisional menuju prakondisi tinggal landas, kemudian perkembangan menjadi masyarakat pematangan atau pendewasaan, dan akhirnya mencapai masyarakat modern. Menurut, tahapan masa kristis terhadap perkembangan masyarakat adalah tahapan tinggal landas. (Yasa, dkk, 2008 :105).
Masyarakat tradisional ditandai dengan rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga cara hidup lebih ditempuh dengan cara – cara yang diwarisi dari generasi terdahulu. Masyarakat dikuasai dengan kepercayaan – kepercayaan tentang kekuatan di luar jangkauan akal sehat sehingga muncul jenis-jenis pemujaan kepada arwah – arwah. Mata percahariannya lebih banyak pada sektor agraris atau petani. Selanjutnya, masyarakat tradisional ditandai oleh produksi sangat terbatas sehingga pertumbuhan ekonomi madeg atau mengalami pertumbuhan yang tidak berarti (Yasa, dkk, 2008 :106)
Tahapan masyarakat prakondisi tinggal landas merupakan masa transisi ketika prasyarat untuk lepas landas mulai berkembang. Pada tahapan ini masyarakat masih berada dalam nilai-nilai tradisional, tetapi nilai-nilai baru datang dari sektor eksternal secara bertubi – tubi. Akibatnya, terjadi goncangan psikologis antara dua kutub nilai lama-baru sehingga produktifitas belum sepenuhnya dapat menjadi andalan bagi penciptaan modal. 
Tahap ketiga, tahapan tinggal landas ini ditandai dengan hilangnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi. Pada masa ini telah terjadi pergerakan menuju masyarakat modern. Dilanjutkan dengan fase pendewasaan atau setelah lepas landas akan terjadi suatu proses kemajuan yang panjang yang terus menerus ke depan, meskipun terjadi pasang-surut. Pasang-surut inilah disebut sebagai negara berkembang yang sering muncul kecemasan yang dihadapi dengan tergesa-gesa. Kelima, menurut pemikiran Rostow pada saat negara telah mencapai fase zaman konsumsi massa tinggi, ada kenaikan pendapatan masyarakat yang signifikan sehingga konsumsi  tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Masyarakat yang disamakan dengan organisme mengalami dinamika yang diwarnai modernisasi, indusrtilisasi, dan pertumbuhan ekonomi. Masyarakat industri adalah titik puncak modernisasi, yakni masyarakat konsumtif setelah melewati lima tahapan  (Yasa, dkk, 2008 :104-112).
Modernisasi ini diwarnai dengan peningkatan kesadaran kemajuan rasionalitas. Dalam hal ini manusia diposisikan sebagai subjek yang berpusat pada rasional dan alam sebagai objek  yang harus dikuasai dan dieksploitasi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan. Kesejahteraan inilah alat sekaligus tujuan  yang selalu ambigu baik arti ataupun maknanya dalam dunia praktis. Kesejahteraan disimbolkan sebagai uang. Ketika pohon dibabat, burung ditembak, ikan dipancing dan sumber air mengering toh manusia juga tidak bisa makan uang. Akan tetapi, demi uang negara berkembang berlomba – lomba menciptakan kemajuan demi kesejahteraan melalui proses modernisasi dan industrilisasi. Proses transisi inilah masa titik kerawanan dalam bidang sosial dan budaya yang melahirkan banyak masalah. Dalam menghadapi dampak modernisasi dan industrilisasi terutama yang berkaitan dengan degradasi moral kemanusiaan yang merupakan titik penting dan menjadi proyek brata siwaratri.
Ciri – ciri umum masyarakat dalam modernisasi. Modernisasi dan indrustrilisasi yang pada dasarnya merupakan penerapan pengetahuan ilmiah dalam segi – segi kehidupan, ternyata secara sistematis menumpulkan ketajaman mata hati (Yasa, dkk, 2008 :122). Dalam proses modernisasi dan industrilisasi manusia telah kehilangan kemanusiaannya ”human lost”. Ciri modernisasi produktifitas menjadi satu – satunya cara untuk mengkukuhkan stastus sosial individu di tengah – tengah masyarakat. Produktifitas–kerja dan hasil kerja menentukan derajat kemungkinan perolehan peluang untuk mendapatkan alat pemuas nafsu dan selera yakni uang dan kekuasaan. Berbagai cara dilakukan untuk meningkatakan produktifitas tersebut. Orang ditakar-ukur berdasarkan jabatan dalam dunia kerja dengan kata lain status sosial ditentukan oleh seberapa besar imbalan, fasilitas kekuasaan secara materi. Malahan cara- cara hegemonik mendekati orang yang dipandang dapat mengantarkan pada status yang diinginkan juga tidak ditabukan. KKN pun pada gilirannya tidak dapat dihindari. Cara bajik dan picik sama saja, sejauh dimaksudkan meraih uang, kekuasaan dan alat pemuas lainnya. Ini menyiratkan orientasi masyarakat tentang kerja lebih menekankan kemakmuran semata. Padahal makna kerja yang sejatinya adalah yadnya seperti apa yang disebutkan dalam Bhavadgita kini telah bergeser keluar dari hakikat kerja itu. Kerja semata – mata untuk urusan mulut perut dan pemuasan terhadap nafsu-selera. Kesejahteraan material diposisikan menjadi instrumen bagi tercapainya kesejahteraan batin dan karenanya dapat dipahami materi itu hanyalah alat bukan tujuan. Apabila materi menjadi tujuan maka aktor – aktor dan agen – agen pembangunan hipokrit, sebagaimana dikatakan oleh Krishna bahwa “ Ia yang duduk mengendalikan panca inderanya, tetapi pikirannya ingat kenikmatan yang menjadi objek inderannya, sesungguhnya ia adalah hipokrit” ( bhagavadgita III:6). Dalam kategori ini, dikatakan ia yang berbicara tentang kebijaksanaan, tetapi berbuat sebaliknya. Ia yang berkata – kata tentang kesejahteraan batin, tetapi lebih mengusahakan dan mengutamakan kesejahteraan material. Pada akhirnya ia yang munafik adalah ia yang menganiaya diri sendiri (Yasa, dkk, 2008 :120).
Oleh hasil – hasil beragam barang duniawi yang memancing gairah penikmatan kepemilikan dan manusia memburu nafsu-selera. Nafsu melahirkan keinginan penikmatan yang cendrung lahir dari dalam diri, sedangkan selera melahirkan keinginan kepemilikan yang cenderung lahir dari luar diri. Intinya nafsu selera itu selalu mengalirkan keinginan dan keinginan itu tidak sama dengan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan adalah kepentingan yang sudah dekat dengan alat pencapaiannya (Yasa, dkk, 2008 :96). Ini adalah ciri manusia berkesadaran badan artinya manusia yang selalu mencari hidupnya di luar dirinya. Ia menganggap bahwa objek-objek duniawi yang ada di luar dirinya, yang ia sukai adalah sumber kebahagiaan. Ia selalu rindu dan mengejar objek – objek duniawi kesukaannya.  Manusia menjadi mahkluk malang yang menganiaya dirinya sendiri dengan menjadi budak nafsu-seleranya. 
Dalam konteks duniawi, empat pilar yang menjadi landasan hidup manusia. Dharma “karakter luhur” merupakan landasan dasar yang utama dalam mencapai tujuan hidup, sedangkan artha adalah alat untuk memenuhi keinginan yang buka dalam tataran nafsu selera tapi kebutuhan. Bukan sebaliknya, artha menjadi tujuan hidup dengan meniadakan dharma demi tercapainya keinginan untuk memenuhi nafsu selera. Demikian kepuasaan nafsu-selera, ternyata manusia sedang mengalami proses modernisasi dan industrilisasi telah mengaburkan batas baik-buruk, benar-salah dan beradab-biadab. Untuk memperjelas batas-batas itu diperlukan pengendalian pikiran ucapan dan perbuatan dalam koridor moralitas sebagaimana yang telah dianjurkan Brata Siwaratri (Yasa, dkk, 2008 :125-126).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membangkitkan manusia untuk menggempur tembok – tembok kebodohan sehingga manusia mengalami perkembangan yang begitu pesat dalam bidang material. Akan tetapi dalam bidang moral- kemanusiaan manusia mengalami perkembangan yang sebaliknya yakni terjadi degradasi moral dan dehumanisasi yang semakin akut (Yasa dkk, 2008 :139).
Kemajuan terknologi yang mulanya menawarkan kepraktisan kini menjadi bumerang tersendiri bagi konsumen yang menggunakan hal tersebut secara tidak efesien. Kemajuan teknologi yang pesat memunculkan kerawanan kanibalisme (Yasa, dkk, 2008 :127). Seperti internet yang membawakan manusia pada pergaulan tanpa batas. Banyak informasi tentang manusia hilang akibat pergaulan tanpa batas. Internet menjadi sarana tawar menawar efektif kerajinan eksport-import yang sebaliknya, sarana ini mematikan pedagang-pedagang pasar seni tradisional. Pembunuhan karakter seseorang misalnya dengan memanipulasi wajah tokoh penting (penguasa atau juga penguasa) dengan wajah bintang film porno. Misalnya juga, FB yang belakangan ini menjadi tren manusia modern juga digunakan secara tidak wajar sebagai pembunuhan dan keretakan persahabatan, pasangan dll dengan mengupload gambar- gambar, kata – kata yang tak bermoral. Internet yang juga sebagai akses data tanpa batas secara negatif membiarkan konsumen yang belum cukup usia untuk mengakses hal-hal yang tak bermoral seperti film porno, gambar porno. Malahan pesan singkat (sms) dan juga BBM belakangan ini diketahui memiliki daya terhadap keretakan terhadap keretakan dan kelantakan para pemuda modernis-industris. Ini menunjukkan bahwa kemajuan Iptek bukan saja memberikan kemudahan berburu materi tetapi juga penghancuran kemanusiaan dan moralitas. Rupanya, manusia tidak menyadari dua azas dua yang disebut oposisi biner (rwa bineda) yang ada pada setiap apa yang ada di dunia ini, dimana ada kemudahan disitu ada kesukaran, dimana ada kebahagiaan disitu pula ada kesedihan. Dimana tempat tipu muslihat, disitu kemunafikan banyak diterima dan kejujuran tersingkirkan. 
Modernisasi dan industrilisasi juga menimbulkan perubahan besar daam bidang nilai, sikap dan kepribadian yang sering diwujudkan dalam konsep manusia modern. Menurut Lauer (2003:98) manusia modern adalah manusia yang gemar mencari sesuatu sendiri, memiliki kebutuhan berprestasi, dan memiliki motivasi mencari sesuatu yang berbeda dari orang lain. Motivasi ini disebutnya empati, yakni kapasitas melihat diri sendiri menurut situasi orang lain. Dalam konteks ini upawasa menganjurkan hati-hati dengan keinginanmu. Menurut upawasa keinginan mencari sesuatu yang baru itu bukan dosa, tetapi perlu disempurnakan dengan nilai-nilai kesucian karena menjadi spritual berarti tidak menolak efektifitas, partisipasi dan nalar namun melampauinya. Upawasa selalu mengajarkan tunjukkan dirimu yang sederhana, rangkulah kodratmu yang asli, tahanlah rasa ingat dirimu dan batasi keinginanmu. Ingat tidak ada kutuk yang lebih besar daripada merasa kurang puas, tidak ada dosa yang lebih besar daripada selalu ingin memiliki (Yasa, dkk, 2008 :136-138).
Pembangunanisasi yang melekat dalam modernisasi tanpa disadari telah menjadi bagian integral dalam penciptakan kenikmatan inderawi ternyata berlangsung diluar kesadaran. Berdirinya super-market atau mall-mall di kota misalnya, telah menjadi kebanggaan warga kota tetapi dibalik kebanggaan itu tanpa disadari mereka telah dididik menjadi masyarakat konsumtif. Menahan diri, agar tidak tergoda oleh indahnya barang-barang industri dalam super-market atau mall-mall menjadi anjuran upawasa (Yasa,dkk, 2008 :134).
Pada masa transisi ke jaman modernisasi berlomba – lomba untuk mengejar nafsu-selera yng memainkan peran yang sublim. Akibatnya manusia kehilangan daya beda antara kebutuhan dan keinginan dan inilah manusia rasional yang tanpa rasionalitas. Mengendalikan keinginan yang selalu dalam koridor kebutuhan. Diasumsikan brata siwaratri :upawasa, mona, dan jagra menemukan jalanya untuk mengembalikan nafsu-selera kepada kebutuhan nyata sesuai dengan kodrat dan harkat manusia. Hal inilah mekanisme kontrol sosial yang dinamid dan produktif (Yasa, dkk, 2008 :97). Brata siwaratri : upawasa, monabrata dan jagrabrata mengembalikan semu menjadi kebahagiaan sejati. Upawasa misalnya menunjukan jalan untuk memahami sad ripu yaitu enam musuh dalam diri sebagai enam sumber kehancuran diri. Upawasa memberikan wiweka tentang nafsu-selera yang sebagai objek – objek indrawi yang bersifat relatif. Nafsu – selera yang terpenuhi akan menimbulkan kesenangan yang menimbulkan keserakahan (loba). Walaupun terpenuhi, kelobaan senantiasa menimbulkan kekurangan sehingga ada usaha untuk memenuhi secara membabi-buta atau kemabukan (mada). Kemabukan inilah kemudian menimbulkan kebingungan (moha). Sebaliknya, apabila nafsu-selera tak terpenuhi timbullah amarah (krodha) dari kemarahan hilanglah akal sehat yang meyebabkan melemahnya daya beda sehingga menimbulkan kedengkian (matsarya) dan dari kedengkian menimbulkan kebingungan (moha). Seperti wejangan Sri Krsna “ dengan memikirkan benda duniawi munculah keinginan untuk memiliki. Dari keinginan yang tak terpenuhi timbullah amarah, dari amarah timbullah kebingungan dan dari kebingungan hilanglah kesadaran. Dengan hilangnya kesadaran hancurlah kemanusiaan “ (Bhagavadgita II. 62-63). Dengan demikian nafsu-selera baik terpenuhi atau tidak pada akhirnya akan membawa pada kebingungan dari kebingungan inilah membuat manusia dilematis. Dilematis membuat manusia tersesat tak terarah. Pemuasan nafsu-selera berdasarkan objek – objek duniawi hanyalah sementara (Yasa, dkk, 2008 :122).
Makna upawasa secara holistik adalah pengekangan terhadap nafsu-selera. Ini merupakan srategi membatasi nafsu-selera yang menggebu – gebu dan menjalani kehidupan menurut azas kecukupan. Dengan azas kecukupan adalah kata lain kebutuhan yang terkendali bararti menekan kemunculan kebutuhan – kebutuhan baru, berkurangnya kebutuhan berarti berkurangnya produksi baru atau juga berkurangnya nafsu-selera. Pada gilirannya upawasa dapat menjadikan orang selalu matang dalam mengenal objek – objek indrawi dan mengatasi nafsu-seleranya. Sehingga, orang terhindar dari pengaruh negatif proses modernisasi dan industrilisasi (Yasa, dkk, 2008 :123).     
Makna Monabrata tidak semata – mata hanya diam, tetapi berbicara secara hati – hati dengan berlandaskan kesadaran. Monabrata adalah jalan untuk membangun komunikasi yang baik dalam masyarakat. Karena kenyataannya, tidak sedikit salah paham dimulai dari ketidaksesuaian antara cara penyampaian pesan sehingga menimbulkan kegagalan dalam komunikasi. Seperti halnya konflik, perang berawal dari kegagalan dalam membangun komunikasi yang sering disebut dengan mis comunication. Dalam rangka membangun komunikasi inilah monabrata, yakni pengendalian ucapan dalam tata krama manusiawi menjadi kebutuhan yang mendesak dalam masyarakat global. Sarasamuccaya, sloka 119 disenandungkan dalam lantunan palawakya :
Apan ikang ujar yan rahayu ta kojarannya, tan tunggal ikang sukha kapuhara denya, yadyapin rahayu towi, yan tan rahayu kojarannya, irikang umajarakenya tuwi, pwan pamuhara lara
Artinya,
Karena perkataan itu jika maksudnya baik, dan secara baik pula diucapkannya, hanyalah kesenangan yang ditimbulkan olehnya, meski maksudnya baik, jika tidak secara baik diucapkannya, bahkan kepada yang mengucapkkannya pun menimbulkan hati duka.
Memperkaya kompas jagrabrata “puasa melek” yakni usaha keras menjadikn diri selalu sadar atau pengendalian kesadaran. Jagrabrata mengajarkan kesadaran dalam pikiran yang dijelmakan dengan tindakan. Karena jagra ini adalah manacika parisuddha, memang menjadi paling penting dalam ajaran brata siwaratri. Pentingnya pikiran yang jernih dalam pengendalian indera dalam tindakan, dijelaskan dalam Bhagawadgita III.7
Sesungguhnya orang yang dapat mengendalikan panca inderannya dengan pikiran, dengan panca inderanya bekerja tanpa keterikatan, ia adalah sangat dihormati 

Apabila kemanusiaan merupakan nilai tertinggi pada diri manusia dan kehormatan merupakan nilai tertinggi pada kemanusiaan. Kesadaran kerja dalam kehormatan merupakan dasar komitmen tujuan dari setiap yajna. Manusia bukan bekerja semata – mata hanya untuk memenuhi nafsu selera namun tetap pada hakikat kerja itu sendiri sebagai yajna. Manusia bekerja tanpa pernah terikat dengan hasilnya. Dalam konteks perkembangan iptek jagra bukan menghambatnya tetapi jagrabrata menyampaikan himbauan kepada manusia kepada fitrah dirinya bukan semata – mata material, melainkan hidup yaitu Tuhan – pujaannya, asal mula dan leburnya alam semesta. Jagrabrata memberikan kesadaran agung, yang berawal dari dalam diri di tengah – tengah menciutnya moral dan nilai melalui persebaran barang – barang hasil industri dan informasi yang tanpa bentuk. Sehingga kebenaran menjadi barang langka yang semakin buram. Pikiran manusia bercabang memikirkan pesatnya produksi barang – barang modern yang membuat pikiran manusia linglung dan semakin tertutuplah pikiran yang jernih itu. Coba renungkan ketika kita mengincar sesuatu yang sangat memikat hati, namun apa kau tahu apa yang terjadi setelah kita mendapatkannya, tidak akan ada keinginan yang menggebu-gebu mendobrak nafsu seperti ketika baru memilikinya. Sesuatu itu akan menjadi biasa – biasa saja. Begitulah hal ini terjadi berulang – ulang. Tak ada kepuasan  dari keinginan itu. Seperti anak kecil yang menangis ketika tidak dibelikan mainan. Himbauan jagrabrata ini adalah janganlah selalu mementingkan sesuatu hal yang tidak penting dalam kehidupan ini. Dengan demikian manusia menjalankan jagrabrata  telah memiliki kesadaran akan kebahagiaan semu ini dan beralih mengejar kebahagiaan yang sejati.
Dalam konteks ini manusia berani mengkikis lapisan dunia kasarnya yang terdiri atas anna “makanan” dan prana “nafas hidup”. Dengannya manusia mampu mengekspresikan dunia halus yang sukma melalui mana “pikiran-subjektif-non dimensional” sehingga ia siap memasuki dunia simbol tanpa simbol dengan widjnana “kecerdasan semesta” untuk tiba pada dunia tanap dunia, ananda “kebebasan”.
Brata siwaratri mengajarkan berpikir, berkata, berbuat dan tindakan bajik. Kasih menjadi dasar komitmen dan tujuan yang dianjurkan Brata Siwaratri seperti halnya juga dalam ajaran yoga kasih menjadi dasar yang membawakan kebahagiaan yang memberi ketenangan kepada semua pihak. Bhagavan Baba menyatakan bahwa “ kasih sayang merupakan jalan termudah untuk mendapatkan anugrah Tuhan dan menyadari keberadaanNya pada segala sesuatunya. Kasih sayang janganlah didasarkan dengan kasta, keyakinan, status sosial ataupun pencapaian intelektual seseorang. Kasih sayang merangkul segalanya ; ia tak dapat hanya diarahkan pada seseorang dan mengesampingkan yang lainnya. Ia merupakan arus yang mengalir yang menerpa segalanya, yang membawa pada perluasan sedangkan kebencian akan menyebabkan kontraksi dan kematian. Inilah dasar ajaran kitab Sanatama Dharma. Hati yang dipenuhi dengan kasih sayang tidak akan menampilkan pemikiran – pemikiran yang dapat mengakibatkan kekerasan. Tuhan adalah kasih sayang, Tuhan kedamaian, Tuhan adalah kekuatan ( Maswinara :2000 :53-54). Bhagavan satya Narayana dalam ajarannya yang menyiratkan bahwa hanya kasih sayanglah yang dapat menyatukan seluruh keberadaan di alam semesta raya ini dalam persaudaraan semesta karena sumber dari padanya adalah Tuhan itu sendiri sebagai pengejawantahan kasih sayang atau prema svarupa. Svami Vivekananda dalam menyampaikan ajaran vedanta kepada orang – orang barat mengatakan bahwa “Kasih sayang ilahi ibarat segitiga yang setiap sudutnya melambangkan tiga kondisi yang mendasarinya, yaitu : kasih sayang tak mengenal tawar menawar, kasih sayang tak mengenal rasa takut dan kasih sayang tak menginginkan adanya persaingan” (Maswinara : 2000 :49). Sehingga dapat dikatakan bahwa kasih yang universal merupakan tali-temali yang erat terhadap segala bentuk kehidupan di dunia, baik hubungan erat manusia dengan Tuhan, hubungan erat manusia dengan manusia dan juga hubungan erat manusia dengan lingkungan dalam ajaran Tri Hita Karana. Kasih menciptakan komunikasi yang jauh dari perkataan bohong, fitnah, keji, kasar dan kemunafikan karena monabrata mengajarkan mengatakan sesuatu yang menyenangkan diri sendiri dan orang lain. Jagrabrata senantiasa mendorong kesadaran manusia pada setiap kesempatan dalam puncaknya untuk tidak berlaku semena – mena terhadap sesama. Sebagai juga implementasi ajaran weda tentang sifat Tuhan berada dimana-mana yang secara logis dapat diartikan bahwa manusia itu adalah Tuhan, binatang adalah Tuhan hingga pada akhirnya semua isi alam semesta juga adalah Tuhan. Filsafat Vasistadvaita menurut Sri Ramanuja juga mengajarkan bahwa alam beserta isinya berawal dan berakhir dari, kepada Tuhan. Dalam upawasa memberikan landasan untuk tidak mementingkan diri sendiri dan tiadanya pamrih pribadi dalam setiap tindakan. Mengingat baik habitus (proses persepsi sosial), habitat (kondisi sosial) maupun habit (kebiasaan bertindak) telah berada dalam lingkup kasih bersama Brata Siwaratri. Dengan demikian pengaruh negatif perkembangan iptek pada eglo (era globalisasi) dapat dihindari (Yasa, dkk, 2008 :127).

GAYATRI DAN JAPA YOGA
2.1 Pengertian Japa
Japa adalah pengulangan setiap mantra atau nama tuhan dengan terus-menerus ( Sivananda, 1998 : 3 ).  Japa berasal dari dua kata yaitu: Ja yang artinya menghancurkan siklus kelahiran dan kematian atau samsara atau punarbawa. Pa artinya menghancurkan segala dosa ( Putra, 2010 : 9 ). Selain itu Japa juga dapat berarti mengucapakan nama Tuhan dengan Genetri yang terdiri dari 108 butiran yang terbuat dari rudsaka, aksamala, buah tulasi,  kayu cendana, emas, rumput kusa (ambengan,alang-alang) yang dirangkai dengan benang katun (kapas) .
Ada dua macam japa yakni: vacika (oral) dan manasika ( mental/pikiran ). Vacika dibagi menjadi 2 macam yakni: 1) upamsu ( mantra yang di ulang-ulang dengan gerakan bibir tanpa mengeluarkan suara),   2) Oral ( gerakan bibir disertai dengan suara ) ( Keshavadas, 1999 : 12 ).
Jumlah 108 butir Genitri merupakan jumlah yang unik. 108 jika dijumlahkan (1+0+8) akan berjumlah 9. Angka 9 merupakan angka tertingi dan menunjukan kedudukan Hyang Widhi disembilan penjuru mata angin. Secara mithologi genitri yang berjumlah 108 dikaitkan dengan cerita Bhagawan Walmiki yang semasa walaka bernama Ratnakara pernah merampok 108 pendeta, namun ketika akan  membunuh pendeta yang ke 108 yang ternyata penjelmaan dewa Siva. Ratnakara menjadi sadar dan bertobat kemudian ia disuruh ber-Japa selama 100 tahun dan akhirnya Ratnakara berhasil menjadi Bhagawan Valmiki.
2.2 Pengertian Mantra
Mantra adalah  Nyasa atau sadana dalam laku spiritual Hindu. Kata mantra terdiri dari akar kata man dan Trana. Dari akar kata man muncul kata manana yang artinya pikiran atau berpikir. Sedangkan Trana artinya mengendalikan atau pembebasan dari iktan sengsara. Dengan demikian secara etimologis Mantra berate alat untuk mngendalikan yang dapat menyebabkan orang bebas dari kesengsaraan ( Dahyanashakti dalam Yasa, dkk, 2006 : 46 ).
Secara spiritual mantra di identikan dengan sabda Brahman. Walau semua Bunyi, kata-kata, dan aksara berasal dari tuhan namun tidak semua bunyi dapat dikatakan suatu Mantra. Mantra merupakan kumpulan kata-kata dan nada terpilih. Untuk mendapatkan manfaat religus magisnya yang maksimal maka mantra dengan cara yang tepat sehingga dapat mewujudkan istadewata atau kekuatan tertentu yang menjadi roh mantra yang dirafal.
Menurut Keshavadas arti lain mantra adalah rumus okultis untuk mengusir berbagai macam gangguan atupun bertujuan untuk menjadi jalan bagi memenuhi beberapa keinginan duniawi, tergantung dari motif untuk apa mantra diucapkan. Mantra adalah jampi yang kalau diucapkan dengan tekanan yang benar akan memberikan hasil melalui kekuatan alam, dewata atau bidadari yang dipuja seseorang, yang tembangnya diucapkan seseorang. Matra adalah kekuatan kata yang bisa dipakai untuk realisasi rohani atau keinginan keduniawian; bisa digunakan untuk kesejahteraan maupun kehancuran seseorang ( Keshavadas, 1999 : 5 ).
Ada beberapa macam mantra. Secara umum mantra dapat dibagi  menjadi mantra veda, mantra tantrika dan mantra purana. Dari ketiga jenis mantra terkantung sifat mantra yakni :
1. Satwika Mantra yang diucapkan untuk penyinaran, kebijakan, kasih sayang yang tertinggi dan realisasi Tuhan.
2. Rajasika Mantra adalah mantra yang diucapkan untuk memperoleh keturunan dan kesejahteraan duniawi.
3. Tamasika mantra yang diucapkan untuk menyenangkan roh jahat guna kepentingan menghancurkan orang lain atau tindakan buruk lainnya adalah mantra tamasika ( Keshavadas, 1999 : 8 )
Dalam tradisi Hindu bali dikenal istilah Dharmagita atau nyanyian-nyayian suci. Bagi penekun yoga di Bali dia anjurkan untuk belajar mengucapkan mantra melalui metoda Dharmagita, asumsinya adalah dengan belajar Dharmagita maka seseorang secara tidak langsung belajar mengkondisikan suaranya, sehingga mempermudah ketika kita belajar melagukan mantra.
Selain dengan pengucapan dan nada yang tepat, perlu diperhatikan sebelum mengucapkan mantra sebaiknya didahului dengan mencuci mulut, menyiapkan mental dengan membayangkan istadewata yang akan kita puja, dan dalam pengucapanya haruslah dengan penuh rasa bakti.

2.3 Pengertian Gayatri
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan pengetian dari Japa yakni: pengulangan setiap mantra atau nama tuhan dengan terus-menerus. Yang ditekankan disini adalah mantra. Lalu mantra apakah yang dipilih? Gayatri mantra adalah jawabannya. Dalam memilih mantra dalam ber-Japa apalagi untuk tujuan mencapai Samadhi hendaknya memilih mantra yang berasal dari Veda, dan bersifat satvika dan Gayatri mantra memenuhi semua persyaratan itu.
Gayatri adalah mantra yang terdapat dalam Rg. Weda  sebagai mantra yang ke-10 dalam sukta yang ke-62 pada mandala ketiga. Gayatri Mantra adalah ibu dari segala mantra hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Atharvaveda sebagai berikut:
Stuta maya varada vedamanta pracodayantam pawamani dvijanam.
Ayuh Pranam Prajanam pasum kirtim dravinam brahmavarcasam, mahyam dattva vrajata brahmalokam.
(Atharvaveda: 19.71.1)

Terjemahannya:
Gayatri Mantra yang diakhiri kata pracodayat ( pra codayantam ) adalah ‘ ibunya’ seluruh Veda (veda mata) dan menyucikan (pavamanim) segala dosa para dvija (dvijanam). Untuk itu saya selalu (maya) memuja (stuta) Gayatri Mantra tersebut. Karena Gayatri Mantra memberikan panjang umur (ayuh), napas, (pranam), keluarga yang mempunyai keturunan baik-baik (prajanam), selalu melindungi binatang kami (pasum) memberikan kemasyuran (kirtim), memberikan kekayaan (dravinam), teja dai cahaya Tuhan (brahmavarcasam). Oh Tuhan, berikanlah (dattva) jalan moksa (vrajata brahmalokam) padaku (mahyam) ( Somvir,2001:1 ).

Dalam mantra ini dijelaskan bahwa Gayatri Mantra yang diakhiri  dengan kata pracodayat adalah ibunya empat Veda (Rg veda, Yajurveda, Samaveda, Atharvaveda) dan yang menyucikan segala dosa pada dvija. Oleh karena itu saya (manusia) selalu mengucapkan dan memuja mantra tersebut. Gayatri Mantra ini pemberi panjang umur, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, dan pemberi cahaya yang sempurna. Dan semoga Tuhan berikanlah jalan moksa manusia. 
Selain itu Gayatri Mantra juga disebut Guru Mantra , Savita Mantra, dan Maha Mantra. Selain Atharvaveda,  Upanisad, Purana, dan Bhagavadgita juga selalu mengatakan bahwa Gayatri Mantra adalah paling suci dan penting. Mantra ini perlu dan harus diucapkap setiap orang yang ingin mendapatkan kebahagiaan dunia dan moksa. Begitu pentingnya Gayatri mantra, sehingga Tuhan sendiri menurunkan mantra dalam Atharvaveda untuk penjelasan Gayatri.
Gayatri Mantra itu terdiri atas lima baris sebagi berikut:
Om Pranawa Mantra, yakni suku kata inti ( simbol ) Brahman. Di dalam pranawa Om ini terkandung tiga kekuatan ilahi yakni Brahma sebagai pencipta , Wisnu sebagai pemelihara, dan Rudra sebagai pelebur.
Bhur Alam bawah, bumi, yakni alam yang bersifat ragawati yang tersusun atas lima unsur Prakrti yang lebih  kasar yang disebut panca mahabhuta.
Bhuwah Alam tengah, langit, yakni alam prana “daya vital”.
Swah Alam atas yakni alam ilahi atau alam para dewa.
Tat Itu, paramatma, Tuhan atau Brahman
Savitur Savita, Tuhan, dialah itu dari mana semua ini lahir
Varenyam Yang amat  mulia, maka pantas untuk dipuja
Bhargo Devasya Sinar, cahaya cermelang, cahaya spiritual, cahaya kebijaksanaan, realitas ilahi dewa
Dhimahi (Kepadanyalah kita) bermeditasi mari memusatkan dhi “pikiran”
Dhiyo Yo (Semoga) budi, inteleks, pikiran
Yo Ia, yang
Nah kita punya 
Pracodayat mendapat pencerahan; semoga ia memberi semangat
( Diadaptasi dari Yasa, 2006 : 54 )

2.4 Samadhi
2.4.1 Pengertian Samadhi
Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Rsi Patanjali dalam Yogasutra yang dimaksud Samadhi adalah:
Tadevartha matra nirbhanam svarupa sunyam iva Samadhi
( Yogasutra, III: 3 )
Terjemahan:
Renungan mendalam itu sesunguhnya samadhi 
Adapun yang dimaksud disini adalah suatu keadaan bilamana seseorang yang bermeditasi telah terserap kedalam pikirannya. Antara orang yang merenung ( pemikir ), aktivitas merenungnya ( pemikirannya ), dan yang direnungkan ( Objek yang dipikirkan ) telah menjadi satu terserap secara sempurna ( Saraswati dalam Yasa, dkk, 2006 : 28 ).
Samadhi adalah tahap tertinggi di dalam tangga kerohanian. Samadhi membawa kita kepada pengetahuan, pengetahuan membawa kita kepada kasih sayang, kasih sayang membawa kita bersatu dengan Tuhan ( Keshavadas, 1999 : 30 ).
Samadhi (konsentrasi) ialah terus menerus merenungkan-Nya sebagai yang mutlak, tidak dapat dijelaskan, tanpa nafsu, tenang, tak berubah dan tanpa ciri. Jnana (pengetahuan) itu mutlak, tak dapat dijelaskan, tanpa nafsu, tanpa tujuan, suci, tak berselubung, dan tidak terbinasakan.Cetana ini tidak bertujuan.Ia tidak memiliki kesadaran fisik. Ia bebas dari catur kalpana. Catur  kalpana artinya pengetahuan dan yang diketahui, sarana untuk mengetahui dan orang yang mengetahui. Itulah keempat kalpana.Semua ini tidak ada pada yogisvara. Inilah yang dinamakan samadhiyoga. Sadangayoga ini harus dimiliki oleh seorang pandita. Dengan demikian orang akan mencapai visesa. Sifat yogisvara ini harus ditunjang oleh kesepuluh kebajikan (Putra, dkk, 1998 : 63).
Samadhi sangat berbeda dengan meditasi, meditasi berasal dari bahsa inggris ( meditation ) yang dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan meditasi. Dalam bahasa sansekerta padana istilah ini adalah Dhyana yakni pemusatan terus menerus pada suatu objek. Sedangkan istilah Samadhi berasal dari Bahasa sansekerta dari urat kata Sam yang berate kumpulan, persamaan, gundukan, timbunan, dan dhi yang berarti pikiran, ide-ide, budi, dengan demikian secar etimologi kata samadhii berarti pemusatan atau kumpulan pikiran yang ditujukan pada suatu objek tertentu. Dalam konteks yoga objek sasaranya adalah Tuhan ( Jendra, 2003 : 4 ).

2.4.2 Tahapan Samadhi
2.4.2.1 Tahapan Samadhi dari Perspektif Yoga Sutra
Menurut Rsi patanjali dalam Yoga Sutra II:29 menjelaskan delapan tahapan untuk mencapai Samadhi yaitu:
1) Yama adalah pengendalian diri yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam usaha meningkatkan kualitasa hidup yang lebih baik. 
2) Nyama adalah pengendalian rohani dengan tujuan agar rohani menjadi suci dan bersih sehingga membantu mempermudah dalam melaukan Samadhi atau pemujaan kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa.
3) Asana adalah sikap duduk yang sempurna menurut system yoga
4) Pranayama adalah latihan system pernafasan meliputi Puraka (menarik nafas), kumbhaka menahan nafas dan recaka menghembuskan nafas.
5) Pratyahara (penarikan diri) artinya indriya dari obyeknya, dengan upaya dan pikiran yang tenang. 
6) Dharanayoga artinya menguasai indria dibawah pengawasan manah ‘pikiran’ dan memusatkan pikiran pada objek meditasi
7) Dhyana (meditasi) adalah yoga yang terus menerus memusatkan pikiran kepada suatu bentuk yang tak berpasangan, tak berubah damai dan tidak bergerak. 
8) Samadhi (konsentrasi) ialah terus menerus merenungkan-Nya sebagai yang mutlak, tidak dapat dijelaskan, tanpa nafsu, tenang, tak berubah dan tanpa ciri.

2.4.2.2 Samadhi dari Perspektif Keabstrakan Objek Sasaran
Umumnya objek pemusatan Samadhi adalah tuhan namun karna pengaruh awidya, karma wasana, dan jnana maka objek Samadhi dibedakan menjadi 2 yaitu:
1) Pemusatan kepada Tuhan yang bersifat Nirguna, Acintya, atau Tuhan yang tanpa sifat.
2) Pemusatan kepada Tuhan yang bersifat Saguna, Sakara Brahman atau Tuhan yang bersifat, biasanya di puja dalam bentuk ista dewata.
Dimasyarakat pemusatan pikiran kepad Tuhan yang bersifat saguna jarang dilakukan karena tinggkat kesulitannya yang tinggi.

2.4.2.2 Samadhi dari Perspektif Media Objek Sasaran
1) Samadhi Svarupa adalah Samadhi yang memakai rupa Tuhan sebagi objek sasaranya. Di depan bhakta yang akn melakukan Samadhi telah terpasang salah satu rupa dari istadewata yang di pujanya.
2) Samadhi Nama dalam Samadhi Nama yang dijadikan objek sasaran adalah nama-nama Tuhan, tanpa memakai Swarupa. Bhakta dalam tahapan Dharana dan Dhyana berulang-ulang menyebutkan salah satu nama suci Tuhan atau mantra yang mengangungkan Tuhan.
3) Samadhi Sinar atau Jyotir adalah Samadhi dengan menggunakan bantuan sinar, kemudian sinar tersebut di pusatkan pada cakra-cakara yang ada pada tubuh manusia.

2.5 Persiapan Melaksanakan Japa Gayatri Mantra
2.5.1 Pembersihan Diri
Persiapan awal ini sama seperti layaknya kita melakukan persembahyangan puja Trisandhya: mandi membasuh muka, berkumur, siapkan kembang dan dupa untuk membantu menciptakan suasana yang nyaman, siapkan genitri. Selain itu kita juga mempersiapkan mental dengan cara memulai perlahan-lahan memusatkan perhatian kepada Istadewata. Kemudian lanjutkan dengan Trisandhya.

2.5.2 Waktu dan Tempat yang Nyaman
Waktu yang dianjurkan untuk bersamahii adalah saat Brahmamurta yakni dari waktu di sekitar pukul 03.00 sampai pukul 06.00 atau 08.00. adapun alasan waktu ini dikarenakan pada saat itu kondisi fisik manusia masih segar dan keadaan masih dalam keadaan tenang, sehingga sangat membantu dalam pemusatan pikiran ( Jendra, 2003 : 22 ).
Menurut tantrasara, japa pikiran bisa dilakukan di mana saja sedangkan Lingga purana menekankan pentingnya lingkungan tertentu untuk memberikan manfaat yang besar: apabila melakukan japa dirumah manfaatnya hanya akan sama dengan jumlah 108. Apabila melakukan japa di kandang sapi maka manfaatnya 100 kali lebih besar. Jika japa dilakukan di pinggir sungai suci maka pahalanya akan menjadi seratus ribu kali dibandingkan kedua hal yang pertama.  Jika japa yang sama dilakukan di depan pratimanya dewata maka pahalanya sudah tidak bisa dihitung lagi ( Keshavadas, 1999:14 ).
Di dalam bhagawad Gita, Sri Krisna mewejangkan aturan-aturan berikut untuk meditasi: 
Suchau dese pratishthapya,
Stiram asanam atmanah,
Na tyuchhhritam na tinicham,
Chailajina kusottaram
( Bhagavadgita, VI.II )
Terjemahan:
Dengan duduk teguh di tempat yang bersih, tidak tinggi tidak juga rendah ditumbuhi oleh rumput suci kusa, diatasnya kulit rusa dan kain silih berganti ( Jendra, 2003 : 9-10 ).
Yang dimaksud disini adalah tempat yang bersih di atas tempat duduk yang kukuh dengan rumput kusa (dharbasana), kulit menjangan dan kain yang di tempatkan tersusun satu di atas yang lainnya kusa yang dibawah, kulit menjangan yang di tengah dan kain yang paling atas), jangan terlalu tinggi dan jangan terlalu rendah, seorang seharusnya duduk.
Guna  alas dalam melakukan Samadhi adalah mengurangi gaya gravitasi bumi yang dapat menyerap energi yang ada pada tubuh kita. 
Tempat untuk melakukan japa hendaknya ditempat yang bersih, nyaman, jauh dari gangguan-gangguan, seperti gangguan binatang-binatang. tidak bising oleh suara binatang atau suara lainnya. Duduk pada tempat yang sama setiap hari akan memberikan ketenangan sehingga membantu menenangkan pikiran dan pemusatan pikiran pada suatu objek. 

2.5.3 Sikap Tubuh
Untuk pemilihan sikap tubuh sebenar dapat dilakukan oleh seseorang berdasarkan dari kenyamanan seseorang yang melaksanakanya ( Sukhasana ). Sebab Samadhi dapat dilakukan dalam dalam sikap apa saja semisal sambil tidur, sambil santai, sampai bergelayutan di pohon seperti kelelawar.  Namun untuk pemula para yogi menganjurkan mempergunakan padmasana untuk meditasi. Duduklah dilantai, tempatkanlah kaki di atas paha kiri dan kaki kiri di atas paha kanan. Kedua tumit harus menekan ke arah bagian bawah perut. Inilah yang disebut asana teratai (padmasana) jagalah supaya punggung, kepala, leher tetap tagak dan tetaplah demikian. Ambillah napas panjang dan tetaplah waspada untuk tidak tegak. Asana dalam samadhi memiliki peranan penting, sebab hal ini yang menyebabkan kekuatan dan ketekunan. Selain mudra atau postur dari tubuh dan lambang-lambang membawa keteguhan hati. Disamping hanya melakukan latihan ini, kita harus memahami arti asana-asana ini yang akan secara cepat memberikan kekuatan pikiran, penyinaran dan ketenangan. Didalam melaksanakan japa hendaknya punggung, kepala, dan leher dan tetap seperti itu serta menatap ujung hidung dan tidak melihat kejurusan yang lain.
Sikap tangan ditaruh sejajar dengan badan dan meletaknya di atas lutut. Tangan kanan diatas lutut kanan dan tangan kiri diatas lutut kiri. Tangan dan kanan dalam keadaan tenggadah, ibu jari dan jari telunjuk saling bersentuhan. Jika memakai genitri maka genitri dipegang oleh tangan kanan, kemudian genitri diletakan melingkari jari tengah, manis dan kelingking dan di putar kearah dalam dengan ibu jari.
Adapun makna filosofis dari sikap jari-jari ini adalah: Ibu jari sebagai Paramaatman ( Tuhan ) harus senantiasa dekat dengan jari telunjuk sebagai symbol atman. Selain itu telunjuk dilambangkan sebagai ahamkara ( ego ) yang tinggi karena itu ego harus ditekan. Kemudian ketiga jari lainya adalah sebagi lambing Triguna. Ketiga guna tersebut harus dipisahkan dari atman dan paraatman oleh sebab itulah antar ibu jari, telunjuk, jari tengah, manis dan kelingking tidak disatukan ( Jendra, 2003 : 14-16 ).

2.5.4 Mantra Pembuka
Adapun mantra pembukaan sebelum melakukan Gayatri Mantram adalah sebagai berikut: Setelah sembahyang Trisadya masih dalam sikap padmasana diteruskan ber-japa. Sebelum ber-japa dalam sikap asana mengucapkan mantra pembukaan sebagai berikut:
Om sandya mandalagata, Trimurti svarupini, 
Sarasvati ya savitri, tan vande Veda mataram.

Terjemahannya:
Ya dewi Gayatri yang berada pada lingkaran sinarnya matahari
Engkau yang diberi gelar Trimurti 
Engkau pula yang disebut dengan sarasvati dan savitri
Engkau yang dipuja sebagai Dewi Gayatri ibu dari segala Veda.

Makna mantra ini menjelaskan bahwa Dewi Gayatri yang berada pada lingkaran sinarnya matahari atau “Surya” dimana di dalam Veda “Surya” adalah Brahman, sedangkan dalam Purana “Surya” disebutkan sebagai Siva sebagai Deva dari segala Deva. Di dalam Gayatri-lah ada Tri-murti atau Tri-murti ada di dalam Brahman = Tuhan. Didalam Gayatri ada Sarasvati sebagai Dewi Kebijaksanaan dan Savitri sebagai sumber dari segala cahaya yang pada akhirnya memberikan kehidupan maka Savitri menjadilah Devi kemakmuran.

2.5.3 Tehnik Membangkitkan Kundalini Melalui Gayatri Mantra
Ada tujuh vyahrti atau wirama dalam gayatri-mantra. Ketujuhnya adalah: Om. Bhuh, om. Bhuva, om. Maha, om janah, om tapah, om satyam. Penyembah harus menjalankan disiplin berikut untuk membangunkan sakti: duduklah dalam posisi padmasana atau siddhasana menghadap ketimur atau ke utara.
1. Tutuplah mata dan semedhi kepada muladhara cakra pada dasar tulang belakang dan tariklah napas. Bayangkan teratai berdaun empat ketika anda menahan napas. Ketika anda mengeluarkan napas, ucapkanlah om bhuh.
2. Rasakanlah bahwa sakti talah terbangun dan mencapai svadhisthana cakra, pada pusat kemaluan. Tariklah napas dan ketika anda menahan napas di dalam, semedhilah pada teratai berdaun enam. Ketika anda mengeluarkan napas, ucapkanlah om bhuvah
3. Sekarang rasakanlah bahwa sakti telah memasuki manipura cakra, pada pusar. Ketika anda menarik nafas dan kemudian menahannya, pusatkanlah pikiran pada teratai dengan sepuluh daun. Dan ketika anda mengeluarkan napas ucapkan om svah.
4. Sekarang skti itu menembus cakra keempat yang bernama anahata cakra, pada pusat jantung. Tariklah napas dalam dan pusatkanlah pikiran atas teratai berdaun dua belas ketika anda menahan napas dan ucapkanlah om mahah ketika napas keluar.
5. Ketika sakti memasuki visudha cakra yang terdiri dari enam belas daun, tariklah napas dan semedhi kepada cakra tersebut ketika sedang menahan napas dan ucapkanlah om janah ketika mengeluarkan napas.
6. Sekarang pusatkanlah pikiran anda ada pada pertemuan kedua alias yang disebut ajna cakra, teratai dengan dua buah daun. Dialah pusat dari mata yang ketiga. pusatkanlah pikiran kepada sakti pada cakra ini ketika anda menarik napas dan menahannya. Ketika mengeluarkan napas ucapkan om tapah.
7. Tarik dan tahanlah napas pusatkanlah pikiran seperti di atas dan ketika anda mengeluarkan napas, ucapkanlah dhiyo yo nah procodayat (sinarilah buddhi ku).
Duduklah dengan diam didalam meditasi untuk beberapa waktu, kemudian rasakanlah bahwa Anda membawa kembali sakti dewi kembali ke tempat persemayamannya yaitu pada dasar tulang belakang. Ucapkanlah Om dan rasakanlah bahwa dia kembali kepada pertemuan kedua alis dari cakra seribu daun. Sekarang ucapkanlah ham dan rasakan kembali ke cakra di leher. Yam adalah mantra yang harus anda ucapkan ketika dia kembali ke anahata cakra. Dengan mantra ram, anda harus mengembalikinnya ke manipura cakra. Sakti devi memercikkan amerta keseluruh tubuh ketika dia kembali kepersemayamannya. Ucapkanklah vam ketika dia kembali ke svaddhisthana cakra. Akhirnya ucapkanlah lam ketika dia kembali ke muladhara cakra.

2.5.4 Mantra Penutup
Setelah selesai berjapa maka ucapkanlah mantra penutup yang di ambil dari sloka: Bharadaranyaka Upanisad 1.3.28 sebagai mantra untuk memohon bimbingan spiritual yang isinya sebagai berikut:
Om asato ma sad gamaya,
 tamaso ma jyoitir gamaya, 
martyor ma amrtam gamaya,
Om Santih, Santih, Santih Om

Terjemahanya : 
Ya tuhan, bimbinglah kami menuju kebenaran,
Bimbinglah kami dari kegelapan ( pikiran ) menuju cahaya terang, 
Bimbinglah kami dari kematian menuju kehidupan yang abadi,
Semoga tercipta kedamaian di ketiga dunia.
Gayatri mantra yang dilaksanakan dengan tekun penuh keyakinan dan kedisiplinan yang dilandasi dengan hati tulus iklas, dan jiwa yang suci akan membakar semua pikiran-pikiran kotor, memusnahkan semua perbuatan-perbuatan tidak baik, menuntun kejalan yang benar memberikan lindungan agar tidak terjatuh dalam perbuatan-perbuatan tidak baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar