Kamis, 23 Januari 2014

UPACARA MAPANDES ( POTONG GIGI )

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Upacara adalah lapisan paling luar dari Agama, karena upacara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu kesatauan agama secara utuh. Secara etimologi kata upacara berasal dari kata Sansekerta yaitu “Upa” (dekat) dan “Cara” (jalan). Jadi Upacara berarti jalan untuk mendekatkan diri / jalan untuk melaksanakan upacara dalam upaya untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa, yang dilakukan dengan sungguh-sungguh atas dasar ketulus ikhlasan. Kitab suci dan sastra-sastra yang di bentangkan dalam berbagai pustaka.  Tiga aspek yang menjadi dasar pelaksanaan upacara yaitu 3 kerangka Dasar Agama Hindu adalah, Tattwa (Filsafat), Susila (Etika), Upakara (Upacara).
Manusia itu lahir di Bhuvana Alit dan terus lahir lahir di Bhuvana Agung. Bhuava Alit itu adalah kandungan ibunya sendiri. Di dalam kandungan ibunya manusia yang masih berbentuk janin itu oleh alam melalui Catur Sanaknya seperti darah, yeh nyom, lamas dan Ari-ari. Lewat Catur Sanak itulah janin itu semakin dimanusiakan dalam kandungan ibunya. Setelah ia lahir ke dunia atau Bhuvana Agung ia dimanusiakan oleh lingkungannya baik itu lingkungan alam aupun oleh lingkungan sesama manusia. Manusia itu dimanusiakan dengan berbagai jalan. Salah satu jalan yang ditempuh adalah ritual Agama. Ritual Agama dalam tradisi Hindu di Bali disebut Upacara Manusa Yajna. Dari bayi itu baru lahir sampai ia melangsungkan upacara perkawinan (Wiana, 2002:239).
Manusa yadnya adalah suatu korban suci atau pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaan upacara manusa yadnya masalah tempat, keadaan dan waktu sangat penting. Secara umum upacara itu dilaksanakan  pada saat anak mengalami masa peralihan, hal ini dilatar belakangi oleh adanya suatu anggapan bahwa pada saat-saat itulah seorang anak dalam keadaaan kritis, sehingga perlu dilaksanakan suatu upacara atau selamatan. Dalam menyenglenggarakan segala usaha serta kegiatan dalam bentuk yang lain nyata demi kemajuan pendidikan, kesehatan dan lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan sehari-hari. Demikianlah pengertian manusa yajna jika dilihat secara umum.
Namun dalam konsep Sastra Agamanya rumusan Manusa yajña agak berbeda dengan pengertian secara umum dewasa ini di Bali. Sumber sastra agama yang berbahasa sansekerta maupun bahasa kawi merumuskan manusia yajña itu adalah sebagai ritual untuk melayani Atithi Yajña dan menjamu masyarakat dengan makanan dan minuman sesuai dengan kemampuan. Di dalam kitab Sathapata Brahman dari Rg weda bahwa “manusa yajña itu adalah persembahan berupa makanan kepada orang lain”. Di dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 70 Manusa Yajña bahwa “dengan istilah Nara Yajña yang penerimaan tamu dengan ramah tamah atau Atihti Puja. Nara Yajña Atithi Pujanam”. Sedangkan dalam sloka 81 disebutkan bahwa “Nara Yajña itu adalah mempersembahkan makanan kepada masyarakat”. Pengertian manusa yajna di dalam sumber bahasa sansekerta itu sejalan dengan pengertian Manusia Yajna yang dirumuskan dalam sumber – sumber Sastra Agama yang berbahasa Jawa kuna. Didalam kitab Korawa Asrama yang berbahasa jawa kuna manusa yajna itu disebutkan bahwa “memberikan makanan kepeda masyarakat”. Didalam Lontar Agastia Parwa juga berbahasa jawa kuna disebutkan bahwa “Manusa Yajna itu adalah mempersembahkan makanan kepada masyarakat”. 
Nampaknya mempersembahkan makanan inilah wujud Manusa Yajna sebagaimana dirumuskan dalam sastra agama yang ada. Sedangkan upacara untuk menyucikan manusia dari ia baru lahir sampai ia kawin dalam sumber sastra agama disebut Sarira Samskara atau disebut Samskara saja. Hal ini ditegaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra II, 26. Dalam sloka – sloka diuraikan nama dan tata penyelenggaraan upacara Sarira Samskara tersebut. Proses penyucian inilah dalam tradisi Hindu di Bali disebut manusa yajna. Kalau kita renungkan landasan filosofinya tidaklah salah kalau upacara Sarira Samskara itu disebut Manusa Yajna. Upacara Manusa Yajna itu menganisiasi manusia dari satu tahapan hidup sampai menuju tingkatan yang lebih tinggi status kesuciannya begitu juga Sarira Samskara (Wiana :2002 :240). 
Upacara dengan upakara manusa yadnya memvisualisasikan secara ritual agama, cita-cita menyucikan manusia agar menjadi manusia sebagai manusia sebagaiman mestinya. Manusia dalam hidupnya perlu disucikan dari tiga bentuk kekotoran. Setiap gerakan alam dan manusia selalu menimbulkan dua aspek, yaitu aspek yang positif dan negatif. Usaha-usaha manusia tentunya harus berusaha untuk menanggulangi akibat negatif tersebut agar pengaruhnya sekecil mungkin (Tinggen, 2002:3). Berikut beberapa proses upacara Manusa Yadnya seperti :

1. Upacara Magedong- gedongan (bayi dalam kandungan).
2. Upacara Kelahiran (bayi lahir).
3. Upacara Kepus Puser.
4. Upacara 12 hari (ngelepas hawon).
5. Upacara Tutug Kambuhan (bayi umur 42 hari).
6. Upacara Nyambutin (tiga bulanan/bayi umur 105 hari).
7. Upacara Satu Oton Ngotonin (bayi umur 210 hari).
8. Upacara Tumbuh Gigi (Ngempugin).
9. Upacara Tanggal Gigi Pertama (Makupak).
10. Upacara Munggah Deha (menek bajang/dewasa).
11.Upacara Mepandes (potong gigi).
12. Upacara Wiwaha (perkawinan).
13. Upacara Mewinten (upanayana).

Setiap manusia dipenuhi dengan banyak ritual dalam hidupnya. Umat Hindu khususnya berbagai upacara/ritual dilakukan mulai dari dalam kandungan hingga ia meninggal dunia. Dan salah satu yang harus dilaluinya adalah Upacara Mepandes (Potong Gigi). Upacara Mepandes merupakan salah satu ritual yang terpenting bagi setiap individu manusia umat Hindu. Upacara ini menandai satu babak hidup memasuki usia dewasa secara niskala. Upacāra Mepandes disebut pula Metatah, dan Mesangih.
Bila kita mengkaji lebih jauh, upacāra Mapandes dengan berbagai istilah atau nama seperti tersebut di atas, merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Widhi Wasa, Dewata dan Leluhur. Di Bali upacāra Mapandes, dapatlah dipahami bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya.


1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam pembuatan makalah ini diantaranya :
1.2.1 Apa pengertian Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi)?
1.2.2 Apa tujuan pelaksanaan Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi)?
1.2.3 Apa sarana yang digunakan dalam pelaksanaan Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi)?
1.2.4 Bagaimana tata cara pelaksanaan Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi)?


1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi).
1.3.2 Untuk mengetahui tujuan pelaksanaan Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi).
1.3.3 Untuk mengetahui sarana yang digunakan dalam pelaksanaan Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi).
1.3.4  Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan Upacara Mapandes (Upacara Potong Gigi). 




BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Upacara Mapandes (Potong Gigi)
Upacara Mapandes atau upacara potong gigi juga dikenal dengan nama metatah atau mesangih, upacara ini merupakan salah satu rangkaian dari upacara manusa yajnya yang patut dilaksanakan oleh setiap umat Hindu. Upacara ini mengandung pengertian yang mendalam bagi kehidupan umat Hindu yaitu :
1. Pergantian prilaku untuk menjadi manusia sejati yang telah dapat mengendalikan diri dari godaan pengaruh Sad Ripu (enam musuh dalam diri pribadi).
2. Memenuhi kewajiban orang tua terhadap anak untuk menemukan hakikat manusia sejati.
3. Untuk dapat bertemu kembali kelak disurga antara anak dengan orang tua setelah sama-sama meninggal dunia.
Upacara potong gigi dilaksanakan segera setelah meningkat dewasa atau sebelum upacara wiwaha (kawin), sehingga apabila kemudian mereka kawin akan terjadi pertemuan sukla-swanita (sel telur dengan sperma) yang telah disucikan. Namun banyak juga pelaksanaan upacara mapandes ini dilaksanakan bersamaan dengan upacara wiwaha. Hal ini dilakukan karena ada upacara yang lainya belum sempat dilakukan termasuk potong gigi, namun sudah terburu cepat mawiwaha. Juga dimaksudkan untuk menghemat biaya, sehingga beberapa tingkatan upacara manusa yajnya dilakukan sekalian. Demi menghemat biaya terkadang juga melaksanakannya pada saat memukur (rangkaian upacara pitra yajnya), namun juga tak jarang dilakukan secara kolektif (bersama-sama).
Upacara mapandes ini dilakukan terhadap anak laki-laki yang telah meningkat dewasa serta anak perempuan jika telah datang bulan. Dalam upacara ini gigi yang dipotong berjumlah enam buah, pada bagian atas yang terdiri dari empat buah gigi seri dan dua buah gigi taring, secara rohaniah dipotongnya gigi bagian atas berjumlah enam buah dapat bermakna untuk mengurangi kekotoran dan musuh dalam diri (Sad Ripu), yaitu :
1. Kama (keinginan)
2. Krodha (kemarahan)
3. Lobha (ketamakan)
4. Moha (kemabukan)
5. Mada (congkak)
6. Matsarya (iri hati).
Keenam sifat Sad Ripu itu sering menyesatkan dan menjerumuskan manusia kelembah kesengsaraan di dunia dan akhirat. Tetapi secara lahiriniah pemotongan gigi itu dapat pula dianggap untuk mencapai keindahan, kecantikan, dll. Oleh karena itu kewajiban bagi setiap orang tua untuk dapat memberi nasehat, bimbingan serta permohonan doa kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha ) agar anak mereka terhindar dari 6 pengaruh sifat buruk yang sudah ada sejak manusia di lahirkan di dunia. Upacāra ini merupakan sebagai wujud bhakti orang tua (ibu-bapa) kepada leluhurnya yang telah menjelma sebagai anaknya, untuk ditumbuh-kembangkan kepribadiannya, dengan harapkan menjadi putra yang suputra sesuai dengan kitab Nitiśāstra.
Sumber sastra mengenai upacara potong gigi adalah Lontar Kala Pati, Kala Tattwa, Semaradhana, dan Sang Hyang Yama. Dalam Lontar Kala Pati disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda perubahan status seseorang menjadi manusia sejati yaitu manusia yang berbudi dan suci sehingga kelak di kemudian hari bila meniggal dunia sang roh dapat bertemu dengan para leluhur di Sorga Loka. Lontar Kala Tattwa menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa dengan Dewi Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum taringnya dipotong. Oleh karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak Bathara Kala agar rohnya dapat bertemu dengan roh leluhur di sorga. dalam Lontar Semaradhana disebutkan bahwa Bhatara Gana sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka yang menyerang sorga loka dengan menggunakan potongan taringnya.
Selain itu disebutkan bahwa Bhatara Gana lahir dari Dewi Uma setelah Dewa Siwa dibangunkan dari tapa Samadhinya oleh Dewa Semara (Asmara) namun kemudian Dewa Siwa menghukum Dewa Semara bersama istrinya, Dewi Ratih, dengan membakarnya sampai menjadi abu. Kemudian menyebarkan abu tersebut ke dunia dan mengutuk manusia agar tidak bisa hidup tanpa berpasangan (laki-perempuan) dalam suami istri. Dalam Lontar Sang Hyang Yama disebutkan bahwa upacara potong gigi boleh dilaksanakan bila anak sudah menginjak dewasa, ditandai dengan menstruasi untuk wanita dan suara yang membesar untuk pria. Biasanya hal ini muncul di kala usia 14 tahun. Dalam Lontar Atmaprasangsa menyebutkan bahwa, apabila tidak melakukan upacara potong gigi maka rohya akan mendapat hukuman dari Bhatara Yamadipati di dalam Neraka (Kawah Candragomuka ) yaitu mengigit pangkal bambu petung. Terlaksananya upacara ini merupakan kewajiban orang tua terhadap anaknya, sehingga anaknya menjadi manusia sejati yang di sebut dengan Dharmaning Darma-Rena Ring Putra. Maka itulah orang tua di kalangan umat Hindu berusaha semasa hidupnya menunaikan kewajiban terhadap anaknya dengan melaksanakan upacara potong gigi. Guna membalas jasa orang tuanya maka anak berkewajiban upacara Pitra Yadnya atau Ngaben saat orang tuanya meninggal dunia, sesuai dengan Dharmaning Putra Ring Rama Rena. Berbakti kepada orang tuanya sesuai ajara Putra Sesana.

Adapun makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, Kala Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di kemudian hari rohnya yang suci dapat mencapai Suarga Loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi). Dalam pergaulan muda-mudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan.
Bila kita mengkaji lebih jauh, Upacāra Mapandes dengan berbagai istilah, merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para Dewata dan Leluhur. Di Bali upacāra ini dikelompokkan dalam upacāra Manusa Yajña. Makna yang dikandung dalam upacara Mapandes ini adalah :
1. Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi Sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgītā.
2. Memenuhi kewajiban orang tua (ibu-bapa), karena telah memperoleh kesempatan untuk beryajña, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat manusia.
3. Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa, para Dewata dan Leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Ātma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Piṭṛaloka).
Berdasarkan pengertian dan makna upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya.


2.2 Tujuan Upacara Mapandes (Potong Gigi)
Tujuan dari upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil balig menuju ke alam dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka upacāra Mapandes mengandung tujuan, sebagai berikut:
1. Melenyapkan kotoran diri dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dalam arti jiwa  dan raga diliputi oleh watak Sad Ripu, sehingga dapat menemukan hakekat manusia yang sejati.
2. Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para Dewata dan Leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan Bhakti kepada-Nya.
3. Menghindarkan diri dari kepapaan, menghindarkan diri dari hukuman di alam neraka nanti, yang dijatuhkan oleh Bhatara Yamadhipati berupa menggigit pangkal bambu petung.
4. Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajña dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.


2.3 Sarana yang Digunakan dalam Pelaksanaan Upacara Mapandes (Potong  Gigi)
Pelaksanaan upacara mapandes ini pemujaan ditujukan ke hadapan Hyang Samara Ratih (Dewa Kama) sebagai lambang cinta kasih. Dewa Kama dalam wujudnya sebagai Ardhanareswari mempunyai nama yang banyak seperti : Dewa Anangga dengan saktinya Dewi Kamini, Hyang Smara dengan saktinya Dewi Svetari, dan Dewa Kamadewa dengan saktinya Dewi Ratih. Dalam pelaksanaannya upacara Mapandes ini biasanya dibuatkan Bale Gading yang dihias dengan bunga-bungaan yang berwarna serba kuning sebagai berstananya Dewa Kama beserta kekuatannya Dewi Ratih. Berikut sarana dan perlengkapan yang digunakan dalam upacara Mapandes :
1. Upakara yang kecil : banten pabyakala, prayascita, panglukatan, canang daksina dan tataban seadanya.
2. Upakara yang lebih besar : tatabannya memakai Pulagembal.

Disamping sarana upakara tersebut ada juga perlengkapan yang lain, yaitu :
1. Upacara dilakukan pada sebuah bangunan (bale) yang masih sukla (baru), dilengkapi dengan kasur, bantal, seprai, tikar bergambar Smara Ratih, dilengkapi dengan selimut (rurub).
2. Bale gading, dibuat dari bambu gading (yang lain), dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta didalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah suci), canang burat wangi, canangsari, raka-raka  kekiping pisang mas, nyanyah gula kelapa dan periuk/sangku berisi air dan bunga 11 jenis. Bale Gading tempat bersemayamnya Sanghyang Smara Ratih.
3. Kelapa Gading yang dikasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan Aksara Ardhanareswari. Kelapa gading ini akan dipakai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai, yang nantinya usai upacara kelapa gading ini ditanam di belakang Sanggah Kemulan. 
4. Untuk singgang gigi (padangal) terbuat dari 3 potong cabang dadap dan 3 potong tebu malem/tebu ratu (panjangnya kira-kira 1 cm/1,5 cm).
5. Pangilap dari cincin berwarna mirah, kikir, pahat, dan cermin.
6. Pangurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.
7. Sebuah bokor berisi : pengilap dan pengurip-urip.
8. Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, gambir, dan kapur.
9. Kain penutup dada secukupnya.
10. Banten tetingkeb yang ditaruh di belakang depan yang akan diinjak waktu turun, setelah selesai matatah (dapat diganti dengan segehan agung).
11. Sajen untuk pemimpin yaitu peras, daksina, jauman, dan punia/sesari.


2.4 Tata Cara Pelaksanaan Upacara Mapandes (Potong Gigi)
Pada hari baik yang sudah ditentukan, peserta potong gigi sejak pagi hari sudah melakukan yang namanya mabersih ring raga. Mereka dimandikan secara adat dengan air kembang 7 rupa. Ada mawar, kenanga, cempaka, pacah, dan bunga lain yang harumnya alami. Setelah itu mereka yang akan potong gigi dirias dengan pakaian adat kebesaran, namanya payas agung matatah. Untuk pria terdiri dari bagian atasnya destar dengan motif prada keemasan, sedangkan wanitanya gelung juga dengan bunga emas betulan. Pakaiannya bagi peserta metatah pria mengenakan baju putih terbuat dari kain sutra dengan torehan prada bermotif aneka macam bunga dan satwa langka. Destar bermotif prada maknanya, adalah mereka yang potong gigi diharapkan bisa mengendalikan fikirannya sehingga senantiasa bening dan bersih. Adapun urutan di dalam proses pelaksanaan upacara potong gigi / mapandes adalah sebagai berikut :

1. Ngekeb, yang artinya disini tidak boleh keluar meten atau di gedong sampai menjelang upacara potong gigi keesokan harinya.
2. Pada saat yang tepat, biasanya sebelum tengah hari, ketika pemimpin upacara potong gigi sudah mempersiapkan banten dan perlengkapan lainnya, peserta potong gigi akan dituntun oleh orang tuanya menuju bale adat. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.Ditempat itu seluruh sanak keluarga dan kerabat sudah menanti dengan perasaan terharu. Hari itu mereka akan menjadi saksi akan berakhirnya masa kanak-kanak bagi salah satu keluarga mereka.
3. Naik ke bale tempat mepandes mengarah ke hulu dengan terlebih dahulu menginjak caru sebagai lambang keharmonisan, mengetukkan linggis tiga kali (Ang, Ung, Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk mewaspadai sad ripu. Setelah melakukan sembah sebanyak 3 kali, dan memakai sarana kwangen pada sembah yang kedua, mereka yang akan potong gigi memulai ritual sakral itu. Direbahkan diatas kasur masih lengkap dengan pakaian adat kebesaran. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirtha pesangihan. Kemudian yang pertama dilakukan adalah, menggigit tebu untuk mengganjal rahang sehingga tidak tertutup selama proses pengikiran gigi. Selanjutnya adalah secara simbolis memahat dengan pahat kecil 6 gigi bagian atas, 2 taring, 2 gigi depan dan 2 gigi sebelahnya. Ini simbolis bahwa 6 musuh dalam diri akan segera disingkirkan. Dia terdiri dari keinginan untuk main judi, mencuri, main perempuan, minum, mabuk dan madat.
4. Kemudian dengan penuh konsentrasi sangging atau ahli potong gigi secara adat akan menyucikan peralatannya dan melakukan tugasnya. Gigi taring dan 4 gigi bagian atas akan dikikir secara perlahan untuk membuatnya rata. Ini berlangsung beberapa menit saja, kemudian mereka yang potong gigi akan diberi cermin untuk melihat apakah giginya sudah rata, taringnya sudah tidak lancip lagi. Ketika itulah keluarga yang berada di sekitar bale adat akan memberi komentar apakah giginya sudah bagus atau belum. 
5. Selanjutnya dilakukan kumur suci, dengan menggunakan tirta yang dibuat dengan doa tertentu. Dilanjutkan dengan membung air kumuran itu ke dalam kelapa gading yang sudah dikasturi. Kasturi maksudnya dilubangi dengan pisau tajam yang sudah disucikan dengan simetres berbentuk segi enam dan sudah ditulisi aksara Ardhanareswari yang nantinya akan di pendem/ditanam di belakang Sanggah Kemulan.
6. Selanjutnya peserta potong gigi diberikan sirih yang sudah diberikan mantra suci, mereka harus menggigitnya sebanyak 3 kali, maknanya setelah potong gigi mereka memulai sesuatu dengan pandangan baru yang lebih pragmatis, tidak lagi membawa masa kanak-kanak yang melenakan dan kadang menjengkelkan. 
7. Barulah kemudian mereka boleh turun kehalaman, tapi sebelumnya menginjak dulu banten pengelukatan sebanyak tiga kali, mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai menjadi dewasa secara spiritual sudah selesai, makna lainnya adalah ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah memelihara dengan baik, serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan anak terhadap orang tua, juga mohon doa restu agar selamat dalam menempuh kehidupan di masa yang akan datang. 
8. Dilanjutkan dengan mebyakala sebagai sarana penyucian serta menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja. Mabyakala Sembahyang kepada : Bhatara Surya, Leluhur dan Bhatara Samadaya. Selanjutnya menuju ke hadapan Sang Muput Upacara, disini dilakukan meeteh-eteh persediaan, yaitu : Maprascita, Matirtha penglukatan, Pebersihan dan Pekuluh, Mejaya – jaya, Ngayab banten oton, Ngayab banten pawinten dan dilanjutkan dengan Mapedamel. 
Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana. Tujuan mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana, yaitu tahap menghadapi suka duka kehidupan, selalu berpegang pada ajaran agama Hindu (dharma), mempunyai pandangan luas, dan dapat menentukan sikap yang baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang disebut adharma. Secara simbolis ketika mepadamel, dilakukan sebagai berikut :
1).Mengenakan kain putih, kampuh kuning, dan selempang samara ratih sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih.
2).Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah, putih, hitam) sebagai symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
3).Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa kehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, rasa sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri, dan rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia. 
9. Kemudian dilanjutkan dengan mapinton ke Pura Khayangan Tiga, ke Pura Kawitan dan ke Pura lainnya yang menjadi pujaannya yang bermakna tidak lain guna membimbing umat manusia lebih meningkatkan bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, dan menjaga agar hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan, yang dijaga secara harmonis, serasi, seimbang dan selaras.





Kutipan Mantra-mantra Untuk Upacara Mapandes :

1. Mantra Prayascita dan Bhyakala :
Om Hrim, Srim, Mam, Sam, Warn, Sarwa rogha satru winasa ya hrah phat.
Om Hrim. Srim. Am. Tam. Sam. Bam. Im, sarwa danda mala papa klesa, winasaya hrah, hum, phat.

Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa papa petaka winasaya hrah, hum phat,
Om Siddhir guru shrom, Sarwasat.
Om sarwa wighna winasaya, sarwa papa winasaya namah swaha.

Artinya :
Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan, bencana dan  lain-lain   menjadi   sirna.


2. Mantra Mohon Persaksian :
Om adityasya parantyotih rakta tejo nama stute, sweta pangkaja mandhyasta Bhaskara ya namostute, Om pranamya bhaskara dewam, sarwa klesa winasanam, pranamya  aditya   siwartham  bhukti  mukti    warapradam.

Om  hrang  hring  sah  paramasiva  raditya  ya   namah  swaha.

Artinya :
Om Hyang Widhi Wasa, semoga hamba mendapat perkenanMu, untuk melalui tahapan hidup ini dalam jalanMu dengan pertolongan hanya dariMu.
Om  dimulyakanlah    Engkau     ya   Tuhan.


3. Mantra Alat Pengasah / Kikir :
Om Sang perigi manik,
Aja sira geger lungha,
Antinen kakang nira Sang Kanaka,
Teka kekeh pageh,
Tan katekaning lara wigena,
Teka awet awet awet.
Artinya :
Om Hyang Widhi Wasa,
Semoga alat-alat ini dapat memberikan kekuatan.



4. Mantra Pemotongan Gigi Pertama :
OM lungha ayu,
Teka ayu (3 kali).

Artinya :



5. Mantram Pengurip-urip :
Om urip-uriping bhayu,
Sabda, idep, teka urip, Ang Ah.

Artinya:
Om Sang Hyang Widhi Wasa,
Dalam wujud Brahma Maha Sakti, semoga tenaga, ucapan dan pikiran hamba memberikan kekuatan terhadap alat-alat ini.


6. Mantram Mejaya-jaya :
Om Dirgayur Astu tat astu,
Om Subham astu tat astu,
Om Sukham bhawantu,
Om Purnam bhawantu,
Om Sreyam bhawantu,
Om Sapta wrddhin astu tat astu astu swaha.

Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa,
Semoga kami dianugrahi kesejahteraan, kebahagiaan, dan panjang umur.







BAB III
PENUTUP



3.1 Simpulan
Upacara Mapandes mengandung pengertian bagi kehidupan umat Hindu yaitu : Pergantian prilaku untuk menjadi manusia sejati yang telah dapat mengendalikan diri dari godaan pengaruh Sad Ripu (enam musuh dalam diri pribadi). Memenuhi kewajiban orang tua terhadap anak untuk menemukan hakikat manusia sejati. Dan untuk dapat bertemu kembali disurga antara anak dengan orang tua setelah sama-sama meninggal dunia.
Makna yang dikandung dalam upacara Mapandes ini adalah : Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, memenuhi kewajiban orang tua (ibu-bapa), dan secara spiritual seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa para Dewata dan Leluhur kemudian kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia Ātma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Piṭṛaloka).
Berdasarkan lontar Puja Kalapati dan Ātmaprasangsa, upacāra Mapandes mengandung tujuan : Melenyapkan kotoran diri pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dalam arti jiwa  dan raga diliputi oleh watak Sad Ripu. Seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan Bhakti kepada-Nya. Menghindarkan diri dari kepapaan. Menghindarkan diri dari hukuman di alam neraka dan Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.
Sarana dan perlengkapan yang digunakan dalam upacara Mapandes : Upakara yang kecil : banten pabyakala, prayascita, panglukatan, canang daksina dan tataban seadanya. Dan Upakara yang lebih besar : tatabannya memakai Pulagembal. Kemudian tata cara pelaksanaannya ada 9 urutan, dimulai dari yang pertama Ngekeb hingga yang terakhir yaitu Mapinton ke Kahyangan tiga dan Kawitan dan Pura lainnya yang menjadi pujaanya.
3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini, saya menemukan banyak masalah dan kendala, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat saya perlukan demi kesempurnaan penyusunan makalah ini, dimasa yang akan datang. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar